Mampukah KPU Lakukan Perhitungan Suara Elektronik pada Pilkada 2020?

KPU didesak memastikan e-rekap bebas cacat agar sistem ini tidak menjadi blunder dan memicu gugatan perhitungan suara. - ANTARAFOTO
Sumber :
  • bbc

Komisi Pemilihan Umum atau KPU berniat menerapkan sistem rekapitulasi suara elektronik (e-rekap) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, demi memotong proses perhitungan hasil pencoblosan yang memerlukan banyak tenaga dan waktu.

Namun KPU diminta lebih dahulu menggelar beberapa uji coba agar e-rekap tak menjadi blunder. Jelang tahapan pilkada di 270 daerah yang segera bergulir, kesiapan dasar hukum sistem itu pun dipertanyakan.

Rekapitulasi elektronik disebut KPU sebagai solusi atas keluhan publik terhadap perhitungan suara pemilu yang berbelit dan berminggu-minggu.

Pada Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden 2019 lalu misalnya, rekapitulasi suara dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga ke KPU Pusat dilakukan selama 36 hari.

Komisioner KPU, Pramono Ubaid, menyebut sistem e-rekap yang terkomputerisasi juga dapat mencegah kekeliruan dan kecurangan dalam proses perhitungan suara.

"Setelah isu transparansi pemilu 2019 yang marak, muncul desakan memperpendek rekapitulasi manual yang lama sekaligus meminimalisir penyimpangan. Lalu muncul ide tentang e-rekap," kata Pramono via telepon, Selasa (09/07).

"Rekap berjenjang dianggap terlalu lama sehingga kepastian hasil pemilu pun dinilai terhambat," ujar Pramono.

Pramono menjelaskan e-rekap bakal dibuat serupa dengan Situng atau portal penyaji data hasil rekapitulasi berjenjang pada pemilu 2019. Bedanya, proses memasukkan suara ke e-rekap nantinya wajib bersifat partisipatoris alias diverifikasi peserta dan pengawas pemilu.

Dalam proses entry data ke Situng, verifikasi selama ini dilakukan secara internal oleh staf dan pejabat KPU setempat.

Keberadaan e-rekap diwacanakan meniadakan perhitungan suara berjenjang manual berbasis lembar C1 yang bergulir dari tempat pencoblosan, kecamatan, hingga KPU kota atau kabupaten, provinsi, dan pusat.

"Prinsip dasarnya sebenarnya dari Situng, tapi dengan perbaikan di sana-sini," kata Pramono.

"Situng selama ini hanya untuk kebutuhan informasi, di luar proses resmi perhitungan suara. Sementara setelah penerapan e-rekap, tidak ada lagi rekapitulasi manual," ujarnya.

Namun, sebelum wacana perhitungan suara secara elektronik direalisasikan, KPU didesak membuat dasar hukum yang kuat. Tujuannya, kata peneliti pemilu di lembaga Perludem, Fadli Ramadhanil, tak muncul gugatan saat tahapan pilkada 2020 telah dimulai.

Fadil mengatakan penggunaan e-rekap semestinya dipertegas melalui revisi UU Pilkada. Tak hanya itu, ia menyebut KPU seharusnya juga menerbitkan aturan peralihan.

"Pada pemilu kemarin ada perdebatan platform berbasis teknologi, salah satunya pendaftaran online partai politik yang tidak diatur UU Pemilu, dibatalkan Bawaslu dan menimbulkan kisruh berkepanjangan. Kita tidak mau itu terjadi lagi di pilkada," tuturnya.

Sementara itu, uji coba yang matang disebut vital untuk memastikan sistem e-rekap bebas cacat. Apalagi dalam rekapitulasi manual pada pemilu 2019, hampir sebagian besar partai politik menolak perhitungan suara, baik di tingkat lokal maupun pusat.

Proyek percontohan, kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Lukman Edy, penting untuk sistem elektronik yang digadang-gadang bakal berlaku pula untuk pemilu nasional berikutnya.

"KPU harus siapkan perangkat untuk menguji sekaligus sertifikasi pada perangkat elektronik yang akan digunakan. Pilkada mendatang kami dorong menjadi pilot project pemilu 2024," kata Lukman.

Bagaimanapun, kata Pramono Ubaid, saat ini e-rekap saat ini masih dalam tahap sosialisasi. KPU masih berkonsultasi dan meminta rekomendasi para pihak yang berkepentingan dengan pemilu.

Pramono berkata, sistem e-rekap baru akan disempurnakan setelah muncul kesepakatan antarpihak, terutama DPR dan pemerintah.

Uji coba perhitungan suara elektronik juga akan terus berlangsung, menyusul percobaan sistem serupa bernama seven segment dalam Pilkada 2017 di dua kecamatan di Tangerang dan Jakarta.

"Sebelum betul-betul kami terapkan, KPU tentu akan berkali-kali uji coba. Ketika uji coba ada kendala, kamu punya waktu untuk memperbaiki. Tidak boleh ada kesalahan sama sekali."

"Mudah-mudahan ini sudah bisa diterapkan tahun 2020, tapi mungkin tidak di semua daerah karena tantangannya besar sekali, dari sistem, sumber daya manusia, daya dukung listrik dan jaringan internet, serta masalah geografis," kata Pramono.