Jokowi-Prabowo Adem Kok Media Sosial Masih Panas, Ini Analisisnya

Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA Foto/Wahyu Putro

VIVA – Pemilihan presiden 2019 sudah selesai dengan penetapan Jokowi sebagai presiden terpilih. Prabowo Subianto dan Jokowi sudah bertemu pada Sabtu 13 Juli 2019 untuk menurunkan tensi yang meninggi selama pilpres lalu.

Meski simbol elite kedua kubu bertemu dan berkomitmen menyudahi polarisasi, namun tidak demikian di arus bawah media sosial. Sampai hari ini, media sosial masih panas. Sebagian masih terus menyindir Jokowi dan tak rela Prabowo bertemu dengan kompetitornya di pilpres tersebut.  

Pendiri Media Kernels dan analis Drone Emprit, Ismail Fahmi menilai, panasnya media sosial setelah pertemuan Jokowi dan Prabowo tak lepas dari kepentingan dan eksistensi. 

Ismail mengatakan, saat ini sudah banyak warganet yang menyudahi tensi pilpres. Namun sebagian masih terbawa arus polarisasi.

"Yang move on sudah banyak. Di Facebook itu yang enggak aktif itu sudah move on. Yang aktif itu yang terus membuat tagar menolak (rekonsiliasi). Kan yang punya agenda menyuarakan kepentingan mereka," ujarnya kepada VIVA, Kamis, 18 Juli 2019. 

Ismail menduga, mereka yang di media sosial gencar menyuarakan penolakan rekonsiliasi merupakan kelompok yang ingin terus merawat eksistensi mereka. Dia mengatakan ada manuver menyambung momentum untuk kepentingan politik 2020.

Dia mengatakan, pada pilkada tahun depan, kedua kubu politik baik yang nantinya berada di oposisi dan pemerintahan, berkepentingan menggaet suara jagoannya masing-masing.

Khusus bagi oposisi yang calonnya maju dalam pilkada tahun depan jika tidak memiliki isu yang bisa diangkat, menurut Ismail, maka bakal berat memulai pertempuran pemilu regional. 

"Suara akan mudah terbangun dengan meneruskan polarisasi pilpres, kalau dijaga terus pada 2020. Tinggal lanjutkan saja. Kalau mau memulai lagi (isu) kan berat," katanya. 

Menurutnya, panasnya arus bawah media sosial yang masih menolak Jokowi dan pemerintahan, merupakan kepentingan untuk terus menjaga maupun merawat isu supaya Pilkada 2020 polarisasi bisa terus berjalan.

Panas di bawah

Ismail menilai kondisi elite dan arus bawah memang berbeda. Jika pada tingkat elite sudah baik-baik saja dengan pertemuan Jokowi dan Prabowo, namun arus bawah media sosial punya kondisi yang berbeda. 

Jika elite politik sudah mengarah damai, namun arus bawah media sosial merespons dengan ragam reaksi. Ada yang mulai menerima namun tak sedikit yang melawan. 

Ismail mengatakan, kondisi arus bawah media sosial bermacam-macam meliputi pendukung organisasi dan elemen simpatisan yang lain. Malahan arus bawah media sosial siap melawan siapa saja yang bergabung ke kubu pemerintah. Taruhlah Partai Gerindra nantinya masuk ke pemerintah, arus bawah ini siap melawannya dan mencari 'kendaraan' politik lainnya.

"Ini artinya bukan soal kekuasaan dan resources (sumber daya kekuasaan). Di bawah ada kepentingan lain, bukan kekuasaan tapi legitimasi," katanya. 

Ismail menyebutkan salah satu kelompok arus bawah yang dalam posisi sikap seperti ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). 

Organisasi yang dilabeli terlarang ini punya kepentingan untuk diakui kembali. Makanya, pilihan untuk mengakui pemerintahan Jokowi sangat tidak memungkinkan untuk mewujudkan kepentingan mereka.

"Jelas dengan mendukung pemerintah enggak akan dapat. Wong dia sudah dihajar terus dengan narasi. Sementara enggak ada, maka menolak rekonsiliasi. Selain HTI kan ada unsur lainnya yang ingin untuk lebih eksis sebagai kelompok," jelasnya. (ase)