DPR Minta Kominfo Tegas Pada Operator Arab Saudi Zain

Ilustrasi simcard.
Sumber :
  • ANTARA/Prasetyo Utomo

VIVA – Persoalan penjualan kartu perdana operator Arab Saudi, Zain, rupanya masih bergulir. Bahkan anggota DPR Komisi I pun turut memberikan pendapat mereka. 

Anggota DPR Komisi I, Evita Nursanty menganggap jika apa yang dilakukan oleh Zain merupakan hal yang melanggar UU. Dia pun melontarkan keberatannya tersebut saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI beberapa waktu lalu.

"Seharusnya Kominfo dan BRTI sudah melakukan penghentian peredaran kartu Zain di seluruh embarkasi haji. Yang dilakukan Zain di Indonesia sudah nyata melanggar UU Telekomunikasi no 36 tahun 1999 beserta turunannya," ujar anggota dari fraksi PDI Perjuangan tersebut.

Selain itu, kata Evita, distribusi dan penjualan kartu Zain di Indonesia untuk jemaah haji dinilai tidak baik untuk keadilan usaha di tanah air. Pasalnya, belum ada izin dari perusahaan telekomunikasi asing itu. 

Kominfo pun dinilai terlambat mengambil sikap. Apalagi sampai saat ini masih ada lempar tanggung jawab antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, BRTI, serta Kementerian Perdagangan dalam peredaran kartu Zain. Komisi 1 berharap Kominfo dapat berlaku adil dalam mengawasi kegiatan usaha operator telekomunikasi seperti Zain dan bisa lebih melindungi serta berpihak kepada operator telekomunikasi nasional yang telah memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan di Indonesia. 

"Sebab operator telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia sudah melakukan kewajibannya seperti membayar, membayar USO dan membayar PNBP lainnya. Kontribusinya sudah pasti," ujarnya.

Praktik distribusi sim card dan penjualan paket yang dilakukan Zain, operator asing asal Saudi Arabia di Indonesia jelas-jelas melanggar UU 36 tahun 1999. Dalam pasal 1 butir 12 Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi disebutkan, penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. Sehingga dalam hal ini Kartu perdana (sim card) yang dijual Zain di Indonesia merupakan bagian dari media atau alat dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Juga pasal 4 UU yang sama.

Kegiatan perdagangan yang dilakukan Zain tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Sebagaimana diketahui dalam pasal 24 Undang-undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan bahwa pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memiliki perizinan perdagangan. Lebih lanjut lagi dalam pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 289/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan.

Penjualan kartu perdana Zain kepada calon jemaah haji Indonesia yang mayoritas tidak memahami bahasa Arab berpotensi merugikan masyarakat Indonesia sebagai konsumen karena penyampaian informasi produk dan tata cara penggunaannya tidak terkomunikasi dengan baik sehingga hak-hak konsumen sesuai pasal 4 jo. pasal 7 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tidak terpenuhi.

Hilangnya potensi peluang pasar akibat persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh operator Zain dapat berpotensi pada berkurangnya pendapatan negara melalui PNBP dan pajak. Hal ini bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 9 tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) jo. pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi dan Informatika.