Mencari Model Bisnis Media di Era Digital

Ilustrasi menghasilkan uang dari Youtube.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Peneliti dan dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Albertus Magnus Prestianta mengatakan, potensi platform Youtube sebagai sumber pendapatan media. Analisa ini merujuk pada penelitian berbasis data, yaitu hasil treking atas 250 Top Youtubers melalui NoxInfluencer. Hasil scraping yang dia lakukan pada 30 Juli 2019 lalu, memunculkan kesimpulan yang didasarkan atas tiga variabel; jumlah subscriber atau pelanggan, total views (pengunjung), dan pendapatan potensial dari mengunggah konten.

Menurut dia, ada keterkaitan potensial earning yaitu total views dan subscriber. Dari tools Noc influencer dan social build bisa dilihat potensi youtuber di Indonesia atau bahkan di dunia. Lebel paling banyak dilihat ialah entertainment, yakni sepertiga dari semua label. Sementara konten news dan politik hanya delapan. 

“Kalau saya bicara media posisi perusahaan media kita dari 250 ada 14 kanal youtube. Mayoritas perusahaan media kita berafiliasi pada broadcasting tapi siber belum banyak masuk. Di dalam 250 yang punya pengaruh besar hanya 14. Ini saya sebagai peneliti harus kembali memikirkan kenapa bisa demikian,” ujarnya dalam Konferensi Nasional AJI bertajuk “Mencari Model Bisnis Media di Indonesia.”

Sementara Sapto, Pemimpin Redaksi Tirto mengungkapkan, sebagian besar media online di Indonesia dikenal istilah trend start up dan “anak kandung”. Namun, paling penting menurutnya apapun model  bisnisnya media haruslah segmented dan punya demografi. 

“DNA harus jelas karakter medianya. DNA itu harus sampai pada seluruh karyawan dalam hal me-manage tidak hanya visi dan misi kalau perlu office boy tahu. Demografi penting dalam anda menjual apapun termasuk di sosial media,” katanya.

Dia sepakat dengan pemaparan Albert tentang potensi Youtube yang sebagian besar ada di segmen hiburan. Namun menentukan suatu karakter media juga penting untuk bisa menjualnya dengan jelas.  Sapto mengutip data, ada sekitar 13 miliar US Dollar atau sekitar 15 triliun rupiah yang akan beredar untuk digital pada tahun 2021. Dari total belanja digital itu, di Indonesia sebesar 60-80 dikuasai oleh google group.

Pemimpin Redaksi CNN Indonesia Titin Rosmasari menuturkan, industri televisi yang dinakhodainya seolah bermain di dua kaki, yaitu di era konvensional dan era new media atau digital. “Konvensional dan offline dan bagaimana berkomunikasi dengan media. Ada tv yang sudah heavy dari awal di digital akhir ini mengalami dilema finansial. Apakah benar kita ada di dua kaki di dua dunia, mereka jawab iya. Yang kita sampaikan kita semua percaya internet things sudah dua dekade masuk masih ada yang tergagap,” ungkapnya.

Dia menyitir analisa Nielsen yang menunjukkan penurunan penonton TV konvensional, namun realitas revenue atau pendapatannya relatif belum turun. Karena itu yang penting disasar saat ini adalah generasi Y, mengincar potensi spending money dari kalangan ini.

“Kebiasaan konsumsi media yang berubah, harus disikapi dengan perubahan model bisnis media itu sendiri. Kaitan internet, TV masih ditonton tapi internet semua orang hadir. Bisnis kita mau tidak mau akan kesitu. Juga isu lain  bahwa konvergensi antar sektor sedang terjadi, termasuk di media terus tejadi,” katanya. 

Selain itu, Titin juga masih percaya bahwa kemampuan menjaga pangsa pasar membuat industri media konvensional tidak serta merta akan rontok. Dia menyebut sejumlah brand media cetak yang tetap memiliki pangsa pasar dan stabil, yang tidak cuma bergantung dari oplah tetapi juga menggarap kegiatan offline seperti kerja sama event.

Topik mencari model bisnis media ini merupakan salah satu sesi Konferensi Nasional yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI).  Konferensi yang mengusung tema “Mencari Model Bisnis Media di Indonesia” ini menghadirkan sejumlah narasumber yakni, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia TV Titin Rosmasari, Pengurus Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) yang juga Pemimpin Redaksi Tirto.id, Sapto Anggoro dan Albert M Prostianta, dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang merupakan pemenang Call Paper AJI.