Pemprov Papua Minta Blokir Internet Dibuka, Kominfo Kok Bilang Tidak?

Sejumlah mahasiswa asal Papua melakukan unjuk rasa di Jalan Kusumanegara, DI Yogyakarta, Selasa (20/8/2019). Aksi tersebut merupakan aksi solidaritas dan bentuk protes terhadap dugaan kekerasan serta diskriminasi rasial terhadap warga Papua. - ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Pemerintah Provinsi Papua meminta agar pemblokiran layanan internet dicabut karena mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Namun demikian, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak akan mencabut selama tidak ada rekomendasi "kondusif" dari aparat keamanan dan masih bertebarannya konten-konten video yang diklaim provokatif di media sosial.

Pelambatan disusul pemblokiran akses internet untuk layanan seluler di Papua dan Papua Barat, dilakukan sejak Senin (21/08) menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Fakfak.

Demonstrasi dilakukan untuk memprotes insiden penangkapan dan dugaan ucapan rasial kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat (16/08).

Kabag Protokol Biro Humas dan Protokol Pemprov Papua, Gilbert Yakwar, mengatakan birokrasi di Papua lumpuh gara-gara terputusnya akses internet.

Itu terlihat dari sulitnya komunikasi gubernur ke jajarannya dan juga ke pemerintah pusat, serta mandeknya urusan administrasi.

"Kami sangat tergganggu dari jalur komunikasi dengan daerah dan pusat. Administrasi yang bersifat elektronik yang biasa masuk setiap hari semua terganggu," ujar Gilbert kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (25/08).

Gilbert menuturkan, jika akses internet tak kunjung normal maka akan menimbulkan kemarahan di masyarakat, sebab masyarakat menganggap ada diskiriminasi. Itu mengapa ia berharap, pada Senin (26/08) internet sudah pulih.

"Jangan sampai sepekan lebih. Jangan nanti masyarakat berpolemik ada diskriminasi dengan internet. Cukup diskriminasi yang kemarin dibilang monyet. Jangan lagi komunikasi internet didiskriminasi," pungkasnya.

"Jadi komunikasi jangan dianggap sepele. Internet sudah maju, masyarakat dan pemda sangat butuh akses internet. Indonesia maju dengan internet ya maju untuk semua," sambungnya.

Di sisi lain Pemprov Papua, kata dia, kecewa dengan pernyataan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menyepelekan keluhan masyarakat atas padamnya akses internet di sana.

"Kami kesal dengan statement pemerintah pusat yang menyampaikan, ini karena kepentingan keamanan negara, tidak ada internet juga bisa hidup. Kami kecewa juga."

Suara serupa juga disampaikan seorang warga Jayapura, Ibiroma. Kata dia, pemblokiran internet menyulitkan dirinya berkomunikasi dengan keluarga. Sebab, mayoritas masyarakat sangat bergantung pada pesan aplikasi WhatsApp.

Persoalan lain, kondisi seperti ini menyulitkan warga mengonfirmasi kebenaran isu yang diembuskan pihak lain.

"Kerugian lain ya, seperti ada isu-isu tidak bisa dikonfirmasi atau memberi tahu bahwa isu-isu tidak benar," ujarnya.

"Membuat informasi jadi kacau. Jika besok masyarakat banyak yang turun dan terjadi chaos, yang disalahkan masyarakat bukan orang-orang yang memainkan isu itu," tukasnya.

Tunggu rekomendasi aparat keamanan

Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto, menyebut pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat dilakukan dengan dalih kondisi yang "sudah tidak kondusif" dan "atas nama keamanan".

Pasalnya, aksi unjuk rasa itu berubah menjadi pengrusakan toko, mobil, dan gedung DPRD.

Namun hampir sepekan setelah pemblokiran itu, Kemenkominfo menyatakan tidak akan mencabutnya selama belum ada rekomendasi dari aparat keamanan yang melapor ke Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan terkait situasi di Papua dan Papua Barat.

"Ya nanti dilihat, kalau sudah reda, masyarakat tidak emosi, tidak ada gerakan-gerakan yang... ya BIN, Polri, Kodam, aparat keamanan akan pantau kalau dikatakan aman, hidup sudah normal, pasti akan dibuka (akses internet)," ujar Henri Subiakto.

"Jadi mohon maaf ada masyarakat yang tidak nyaman dengan komunikasi yang agak lambat itu, tapi itu untuk upaya besar kepentingan NKRI," sambungnya.

Dari pantauan Kemenkominfo pula, konten-konten video yang diklaim berisi provokasi masih beredar luas di media sosial seperti Facebook maupun aplikasi pesan WhatsApp. Pemilik akun yang membagikan konten tersebut, kata Henri, sebagian besar orang Papua yang menetap di luar negeri.

"Isinya membodoh-bodohkan orang Papua bahwa kenapa diam saja. Orang Papua tidak akan sejahtera sampai kapan pun selama di bawah Indonesia. Papua itu setengah dijajah. Jadi seakan-akan begitu," ujar Henri.

Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Kemenkoinfo, jumlah konten seperti itu ada 849 yang disebarkan ke ratusan ribu pemilik akun media sosial Facebook, Instagram, Twitter dan Youtube.

Sementara itu, juru bicara Polda Papua, Ahmad Mustofa Kamal, menyatakan kondisi di seluruh wilayah di Papua cukup kondusif, kendati aparat polisi masih melakukan patroli ke kampung-kampung warga. Kata dia, komunikasi yang baik menjadi peran penting saat ini.

"Kami selalu beri penjelasan ke masyarakat bahwa setiap warga agar mengamankan lingkungannya. Partisipasi aktif, sehingga dari waktu ke waktu situasi akan lebih cair. Karena komunikasi yang penting dibangun antara polisi dan warga Papua," ujar Mustofa Kamal.

Patroli, kata dia, tidak hanya terjun ke kampung-kampung warga, tapi juga di dunia maya. Dari pantauannya, selama internet di Papua diblokir, tak ada konten-konten berupa "provokasi" yang bertebaran di media sosial. Namun demikian, ia khawatir situasi akan berubah jika akses internet dibuka kembali.

"Karena ini kan masalahnya belum tuntas seluruhnya baik yang di Papua dan luar Papua. Jadi begitu ada hal-hal di Papua yang dikirim ke luar Papua dan informasi yang tidak benar di luar Papua dikirim ke sini, akan bias. Maka itu, apakah setiap orang bisa jamin postingannya akan bermanfaat atau sebaliknya?" tuturnya.