Angin Kencang Berdebu 'Ngamuk' di Jawa, Ini 3 Penyebabnya

Satu kawasan porak-poranda setelah diterjang angin kencang dan banjir di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber :
  • VIVA/Daru Waskita

VIVA – Dua hari terakhir banyak orang menanyakan dan membagi berita kejadian dan video yang menggambarkan angin  kencang membawa material debu dan asap kecokelatan di beberapa tempat di Pulau Jawa. 

Laporan yang masuk ke Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), angin kencang berdebu terjadi di Batu Malang, Merapi Yogyakarta, Merbabu, Kopeng Semarang, Salatiga dan lain-lainnya. Warga di Jakarta, Pantura dan Pansela. 

Pemerhati Cuaca dan Iklim BMKG, Siswanto menjelaskan, dari tinjauan meteorologis, setidaknya terdapat 3 faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut

Kuatnya angin timuran monsun Australia 

Monsun Australia terjadi di atas Laut Jawa dan Samudera Hindia bagian selatan Jawa. Siswanto mengatakan kehadiran iklim yang lebih kering dan terlambat datangnya awal musim hujan salah satunya disebabkan masih aktifnya angin monsun Australia yang dominan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. 

Namun dalam beberapa hari terakhir, terpantau terjadi penguatan kecepatan angin tersebut di lapisan troposfer bawah sekitar ketinggian 850 milibar (1,5 km di atas permukaan) hingga mencapai 70 km/jam di atas Laut Jawa. 

Penguatan kecepatan angin atas itu dipengaruhi oleh kuatnya pusaran tekanan tinggi di Samudera Hindia tengah bagian selatan sekitar Kepulauan Mascarene yang dikenal sebagai fenomena Mascarene High (MH). Keberadaan MH biasanya muncul pada masa peralihan monsun di sekitar April dan Oktober, dan berkaitan erat dengan sistem monsun Afrika dan Australia.

Kulminasi Matahari masih berada di sekitar Jawa

Faktor lain yang turut berperan terjadinya peningkatan kecepatan angin pada beberapa wilayah di Pulau Jawa adalah  pergerakan semu matahari secara tegak lurus dengan permukaan bumi (kulminasi) yang saat ini masih berada tidak jauh dari Wilayah Selatan Jawa.

Sebagaimana di ketahui, pada 10-16 Oktober, Jakarta, Semarang, Cilacap, Yogyakarta, Denpasar, dan kota kota di Indonesia bagian selatan lainnya, umumnya mengalami fenomena kulminasi Matahari. 

Ditambah kondisi kering kemarau, beberapa kota mencatat suhu udara permukaan yang cukup tinggi. Pada Senin 21 Oktober di Jakarta dan Semarang, mencatat suhu maksimum siang hari hampir tembus 37°C dan 36°C. 

Dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan. Suhu yang lebih panas akibat  akan mampu menurunkan tekanan udara permukaan sehingga udara mengalir ke wilayah dengan suhu yang lebih panas tersebut. 

Respon cuaca lokal

Kondisi cuaca lokal terutama daerah pegunungan terhadap peningkatan kecepatan angin regional tersebut. 

Kecepatan angin yang lebih kuat pada lapisan troposfer, selain dapat dirasakan dengan penguatan angin permukaan di banyak tempat, juga memicu penguatan sirkulasi lokal berupa angin gunung dan angin lembah di daerah dengan kontur topografi berbukit bukit.