Saham Dikuasai Asing, Begini Nasib Pendiri Startup Unicorn

Ilustrasi startup.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Ignatius Untung mengatakan, meski saham empat perusahaan rintisan atau startup bergelar unicorn asal Indonesia dimiliki asing, para pendirinya masih bisa mengendalikan perusahaan.

Ia memperkirakan, saat ini saham yang dimiliki para pendiri startup unicorn sekitar 10 persen. "Kalau perusahaan pada umumnya itu yang mengendalikan yang memiliki saham besar. Kalau di startup, pendirinya itu tetap punya kuasa, berapa pun besaran saham yang mereka miliki," ungkapnya kepada VIVA di Jakarta, Selasa, 19 Februari 2019.

Ignatius mengatakan, para pendiri startup juga memiliki saham khusus sehingga mereka masih dapat mengelola perusahaannya. Ia lalu memberi contoh Alibaba, di mana saham mayoritas milik SoftBank dari Jepang.

"Sistem seperti ini memang menguntungkan Jepang, tapi Jack Ma (pendiri Alibaba) tetap mendapat keuntungan yang besar juga. Jadi ini bukan masalah," papar Ignatius.

Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi Yustinus Prastowo mengatakan bahwa saat ini mayoritas startup e-commerce masih berstatus subsidi. Artinya, belum ada keuntungan yang dihasilkan.

Namun, Yustinus melihat ada perbedaan jika e-commerce berlaku sebagai reseller. Misalnya, barang yang dijual langsung dari China, maka itu tidak bisa dilarang untuk tidak membelinya.

"Ya, tidak salah ketika itu ditawarkan lalu ada yang beli. Enggak bisa dilarang yang penting bayar pajak, PPn dan bea masuk. Dalam konteks ini saya juga masih rancu apanya yang bocor," kata Yustinus.

Mengenai perkembangan ekonomi digital yang merupakan bagian dari program pemerintah, Yustinus mengemukakan ada perubahan. Mulai dari dasarnya yang hampir semua pihak membicarakan mengenai program tersebut.

Akan tetapi, ia menyoroti bahwa praktiknya masih tertinggal, sehingga visi pemerintah belum mencerminkan tujuan yang jelas akan dibawa ke mana ekonomi digital Indonesia.

"Karena, semua pihak yang terkait masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jadi, kalau bicara ekonomi digital semuanya menjawab secara parsial. Contohnya, BI seolah-olah hanya berkewajiban soal payment gateway. Kominfo pada registrasi teknologi. Kemenkeu soal pajak. Ini harus duduk bersama dan bikin masterplan," tuturnya. (art)