Jika Ojol Bermasalah, Pemerintah Perlu 'Jewer' Perusahaan Aplikasi

Pengemudi Gojek dan Grab di Kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Sumber :
  • Bayu Nugraha/VIVA.co.id

VIVA – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI pernah melakukan survei tentang pelanggaran hak konsumen. Survei ini dilakukan pada 2017 terhadap 4.900 responden dimana menghimpun data tentang aplikator yang paling banyak dikeluhkan. 

Dalam studi tersebut, grafik terbagi menjadi empat, aplikator 1, aplikator 2, aplikator 3 dan aplikator lainnya.

Tanpa menyebutkan nama, aplikator 1 mendapat persentase sebesar 37,10 persen, aplikator 2 sebesar 34 persen, aplikator 3 26,20 persen dan aplikator lainnya mendapat persentase 2,50 persen. Hasil survei ini menunjukan bahwa kesalahan tidak hanya terletak di mitra pengemudi maupun penumpang.

"Satu hal yang kita cermati. Kalau ada yang salah, yang disalahkan kalau tidak driver, ya konsumen. Padahal ada faktor yang bisa mengharuskan pemerintah menjewer aplikator," kata Pengurus Harian YLKI, Agus Sujatno di Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019.

Diskusi membahas pengaturan tarif transportasi online

Sementara itu, Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, mengatakan seharusnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meminta bisnis proses ke perusahaan rintisan yang melakukan pendaftaran.

"Saya melihat di sana mereka hanya disuruh mendaftar, sangat terbuka. Tapi bisnis prosesnya tidak diminta. Makanya saya minta ke mereka bisnis prosesnya diperiksa, supaya tidak menimbulkan dampak sosial," ujarnya.

Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan konsumen adalah pembatalan order sepihak, sulit mendapat pengemudi, aplikasi error, kendaraan tidak sesuai dengan aplikasi, driver lama datang dan kondisi kendaraan tidak sesuai standar.

Poin lainnya adalah karena aplikasi sudah memulai perjalanan sebelum mitra bertemu penumpang, melanggar lalu lintas, tidak mau ditegur dan pengemudi merokok. [mus]