Pendiri Drone Emprit: Polarisasi Harus Berkualitas, Bahaya Kalau SARA

Pertemuan Jokowi-Prabowo Usai Pilpres 2019
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Salah satu yang mencolok dari dinamika sepanjang Pilpres 2019 adalah polarisasi. Artinya, sepanjang perhelatan pesta demokrasi ini, masyarakat terbelah menjadi dua kutub. Nah, pascapilpres, polarisasi ternyata belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Pendiri Media Kernels dan analis Drone Emprit, Ismail Fahmi, berpandangan bahwa polarisasi bukanlah sesuatu yang buruk. Karena, polarisasi bukan hanya terjadi di Indonesia saja.

Dia mengatakan dinamika politik di Amerika Serikat juga melahirkan polarisasi. Apalagi, di negeri Paman Sam itu hanya ‘dihuni’ oleh dua partai politik, Partai Demokrat dan Partai Republik.

"Di AS sejak zaman dulu partainya cuma dua. Sejak itulah ada polarisasi. Sekarang di media sosial (polarisasi) makin tergambarkan lewat SNA (social network analysis). Polarisasi itu ada dan enggak ada masalah,"  ujarnya kepada VIVA, Kamis 18 Juli 2019.

Dalam konteks dinamika politik di Indonesia, Ismail berpandangan, polarisasi tidak akan berakhir dengan selesainya Pilpres 2019. Justru dia meyakini polarisasi Pilpres bakal mewujud menjadi kubu di dalam dan di luar pemerintahan.

Ismail mengidamkan bahwa nantinya polarisasi di Indonesia bisa membangun bangsa dengan caranya masing-masing.

"Di Indonesia tentunya juga sama tidak akan hilang (polarisasi). Ada pemerintah, ada oposisi. Saya berharap polarisasi itu berkualitas, baik dari pemerintah maupun oposisi,” tuturnya. 

Pendiri Drone Emprit itu menilai kualitas polarisasi politik di Indonesia saat ini belum memuaskan. Beberapa peran oposisi selama lima tahun ini memang terlihat namun perlu ditingkatkan lagi.  

"Kalau sekarang belum. Sifatnya pada hate speech, kritikan memang ada misalnya ekonomi gagal naik, keberpihakan kurang. Karenanya kritik program itu tetap harus ada. Tanpa itu demokrasi akan pincang," katanya. 

Menurutnya, polarisasi yang perlu diwaspadai adalah yang menggunakan isu-isu sensitif di Indonesia. 

"Sekarang ini yang paling mudah polarisasi yang bisa menyentuh perasaan. Urusannya soal SARA. Kalau sudah kena itu, berbahaya polarisasinya," kata dia. (dhi)