Apollo 11, Kisah Proyek Luar Angkasa Satukan Umat Manusia

Presiden AS Richard Nixon berbicara pada tiga astronot Apollo 11 di atas kapal USS Hornet, 24 Juli 1969. - CCI ARCHIVES/SCIENCE PHOTO LIBRARY
Sumber :
  • bbc

Seolah-olah diterangi cahaya Ilahi, roket Saturn V berkilauan saat berada di papan luncur di Cape Canaveral, Florida. Dihiasi simbol bintang serta garis, diselubungi cahaya subuh berwarna emas dan merah tua, roket itu terlihat ibarat lagu kebangsaan Amerika Serikat.

Dalam pakaian luar angkasa mereka, tiga astronaut bersiap menjalani misi yang akan membawa mereka dan seluruh umat manusia ke sebuah peradaban baru.

Usaha keras yang muncul dalam konflik menegangkan ini diakhiri dengan menyatukan seluruh warga dunia, setidaknya untuk sesaat.

Perlombaan berangkat ke bulan mulai terjadi pada 4 Oktober 1957, ketika Uni Soviet mengirim satelit buatan pertama ke jalur orbit bumi. Gelora bunyi satelit bernama Sputnik 1 itu menyebar teror ke seluruh penjuru Amerika Serikat.

Ada kekhawatiran musuh AS dalam Perang Dingin itu bakal segera menjatuhkan bom atom dari luar angkasa.

Ancaman terhadap eksistensi

Ketika Soviet mengirim astronaut pertama untuk mengorbit Bumi dan menjejakkan kaki di luar angkasa, pemerintahan AS takut dominasi teknologi negara komunis akan menunjukkan keunggulan ideologi itu.

AS kala itu menghadapi ancaman nyata atas prinsip dasar kehidupan mereka.

Pada 1961, Presiden AS John F Kennedy merespons Soviet dengan mengumumkan rencananya mengirim astronaut ke Bulan.

Setahun kemudian, di Universitas Rice, Houston, dengan gemilang dan gagah berani seperti dewa matahari, nama Apollo disematkan pada program luar angkasa itu.

Kennedy membakar semangat bangsanya

"Kita memutuskan untuk pergi ke Bulan dalam dekade ini dan melakukan hal-hal lain, bukan karena itu mudah, melainkan karena itu pekerjaan berat. Karena cita-cita itu akan mendorong kita mengelola dan mengukur daya dan keterampilan terbaik kita. Karena tantangan itu adalah yang kita terima, yang tidak ingin kita tunda, yang ingin kita menangkan, dan oleh manusia-manusia lainnya," kata Kennedy dalam pidatonya.

Tujuh tahun setelah itu, Neil Armstrong, Edwin `Buzz` Aldrin, dan Mike Collins duduk di kursi mereka menuju Bulan.

Roket Saturn V membawa mereka ke langit, menukik indah menuju langit pada suatu hari yang begitu cerah di musim panas.

Setelah tiba dengan aman di orbit, Buzz Aldrin mengambil kamera video berwarna generasi pertama untuk merekam bumi yang terlihat biru muda. Ia mengabadikan momen itu secara kilat melalui jendela pesawat ulang alik.

Aldrin lalu memutar arah kameranya ke dalam pesawat. Dalam rekaman yang setelahnya kita saksikan, Neil Armstrong terlihat bahagia. Ia berputar naik-turun di ruang hampa.

Empat hari setelah itu, mereka tiba pada titik paling berbahaya dalam misi tersebut.

Batuan besar berbahaya

Di tengah persoalan komputer dalam pesawat, Armstrong mengendalikan Eagle secara manual. Kapal kecil untuk pendaratan di bulan itu disetirnya dengan tenang untuk menghindari bebatuan dan kawah besar di permukaan bulan.

Buzz Aldrin lalu mengucapkan kalimat pertama yang dituturkan manusia di dunia yang lain.

"Lampu kontak. Oke, mesin berhenti..."

Armstrong mengonfirmasi kegelisahan yang ingin didengar orang-orang di ruang kontrol Badan Antariksa AS (NASA).

"Houston, di sini Tranquility Base (suatu kawasan pendaratan mereka di bulan). Eagle telah mendarat."

Apa pun zona waktunya, seluruh warga dunia kagum menyaksikan peristiwa itu. Sekitar 600 juta orang menonton gambar gelap yang kabur yang disiarkan secara langsung tersebut.

Di Inggris, pagi-pagi betul anak-anak bangun untuk melihat Armstrong muncul dari pesawat kecil yang baru saja mendarat di Bulan. Setelah beberapa saat, dia melangkah keluar sambil mengucapkan kata-kata yang akan bergema sepanjang sejarah.

"Ini adalah langkah kecil bagi seorang laki-laki, tapi lompatan besar bagi umat manusia," ujarnya.

Tiga astronaut itu lalu menancapkan bendera AS. Saat Armstrong membaca pelat yang dia tanamkan di permukaan Bulan, jelas sudah pencapaian umat manusia.

"Kami datang dalam damai untuk semua manusia," kata Armstrong.

Kalimat tersebut merupakan sentimen yang diekspresikan Presiden AS kala itu, Richard Nixon, saat ia berbicara kepada tiga awak Apollo 11 di ruang kerjanya di White House.

"Untuk satu momen tak ternilai dalam sejarah manusia, semua orang di dunia sebenarnya sepakat, bangga atas apa yang kalian sudah lakukan, dan berdoa kalian dapat kembali ke Bumi dengan selamat," kata Nixon.

Tatkala pidato Kennedy terus bergelora jelas, pesan yang disampaikan Nixon secara kilat dilupakan. Pemirsa televisi bosan dengan pendaratan Bulan dan program Apollo pun dihapus.

Peluncuran terakhir pesawat ulang alik terjadi tahun 1972.

Saat itu, Presiden Nixon tengah menyiapkan kampanye besar-besaran pada hari Natal tentang perang di Vietnam utara. Pemerintahannya juga terlibat dalam pembobolan kantor Komite Demokratik Nasional di kompleks Watergate, Washington, D.C.

Kala itu, AS terpecah akibat konflik dan unjuk rasa.

Kembalinya kegelapan

Misi terakhir Apollo adalah malam pertama peluncuran roket Saturn V. Seolah merefleksikan 10 tahun era Apollo dalam beberapa menit, malam berganti pagi ketika kobaran api dari mesin Saturn V membanjiri Cape Canaveral dengan cahaya megah.

Setelah Apollo 17 melesat ke langit seperti malaikat berapi, gelap kembali menyelimuti angkasa.

Era Apollo adalah saat-saat ketika semua hal terlihat masuk akal dan bisa digapai. Bintang di langit seolah dalam genggaman.

Sejarawan luar angkasa, Chris Riley dari Brunel University, yakin pendaratan di Bulan mendorong perubahan kultur umat manusia.

Dalam bukunya yang berjudul Where We Once Stood, tentang misi Apollo untuk anak-anak dan remaja, Riley menyebutkan semangat ekspedisi ke Bulan itu tidak pernah serelevan saat ini.

"Misi itu adalah inspirasi tanpa akhir tentang apa yang dapat dilakukan manusia ketika kita harus bangkit dari suatu hambatan besar. Saat ini, menghentikan dampak perubahan iklim tampak seperti hal yang mustahil. Ada beragam opsi untuk memecahkan persoalan itu dari segi ilmu pengetahuan, tapi upaya itu juga membutuhkan usaha manusia secara bersama-sama. Dan pesan moral dari misi Apollo adalah, keinginan dan harapan itu sangat mungkin kita capai," kata Riley.