Sebelum Budaya Cuci Tangan, RS di Abad 19 Bagai Rumah Kematian

This oil is The Agnew Clinic (1889), by Thomas Eakins, which is compared to The Clinic of Gross because it represents a cleaner operating room, with participants in "white coats." Later, hygienic measures would become more drastic - Getty Images
Sumber :
  • bbc

Pernah ada suatu masa ketika membawa orang sakit ke rumah sakit sama sekali bukanlah hal terbaik untuk dilakukan.

Rumah sakit pada era itu merupakan tempat berkembang biaknya infeksi. Mereka pun hanya menyediakan fasilitas medis paling primitif untuk menangani orang sakit dan sekarat.

Kala itu muncul anggapan bahwa opsi yang lebih masuk akal adalah merawat orang sakit di rumah. Kematian di rumah sakit pada abad ke-19 mencapai tiga hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan di tingkat domestik atau rumah tangga.

Rumah kematian

Rumah sakit pada masa itu berbau urin, muntahan dan cairan tubuh lainnya. Bau itu sangat menyengat sehingga para petugas medis terkadang menutup hidung mereka dengan sapu tangan.

Dokter pun jarang mencuci tangan dan peralatan medis mereka. Ruang operasi tempat para ahli bedah bekerja juga kotor.

Situasi itu membuat rumah sakit dikenal sebagai `Rumah Kematian`.


Lukisan berjudul The Gross Clinic (1875) karya American Thomas Eakins dibuat tepat sebelum aturan bedah higienis diterapkan. Lukisan ini kerap dibandingkan dengan lukisan Eakins lainnya, The Agnew Clinic (1889). - Getty Images

Di era ketika masyarakat dunia belum memahami kuman, seorang pria berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk menghentikan penyebaran infeksi.

Nama pria itu adalah Ignaz Semmelweis.

Dokter berkebangsaan Hongaria ini berusaha menerapkan prosedur cuci tangan di kota Wina pada dekade 1840-an. Ia yakin, metode itu ampuh mengurangi angka kematian di ruang persalinan.

Upaya Semmelweis berfaedah tapi gagal karena dia dikecam rekan-rekannya. Namun belakangan, ia dikenal sebagai `penyelamat para ibu`.

Dunia tanpa kuman

Semmelweis bekerja di Rumah Sakit Umum Wina, di mana kematian terus mengintai kamar pasien, persis seperti di rumah sakit lainnya pada saat itu.

Sebelum berkembangnya teori kuman pada paruh kedua abad ke-19, mayoritas dokter meragukan gagasan bahwa kondisi tidak higienis di rumah sakit berperan dalam penyebaran infeksi.


Rumah sakit pada abad ke-19 seperti St. George`s di London dikenal sebagai `rumah kematian`. - Getty Images

"Sulit membayangkan sebuah dunia yang tidak menyadari eksistensi kuman atau bakteri," kata Barron Lerner kepada BBC.

Lerner merupakan ahli sejarah kedokteran di Universitas New York, Amerika Serikat.

"Pada pertengahan abad ke-19, penyakit diyakini menyebar melalui uap beracun, yang mengangkut beragam partikel materi peluruhan berbahaya," ujarnya.

Ketidakseimbangan besar

Mereka yang paling berisiko terinfeksi bakteri adalah para ibu, terutama yang vaginanya sobek dalam persalinan. Luka menganga merupakan habitat ideal bagi bakteri yang dibawa dokter maupun bidan.

Hal pertama yang diperhatikan Semmelweis adalah perbedaan antara dua klinik kebidanan di Rumah Sakit Umum Wina. Dua klinik itu memiliki fasilitasnya yang identik.

Perbedaannya, salah satu klinik dikelola mahasiswa kedokteran pria, sedangkan yang lain berada di bawah asuhan bidan.


Lukisan berjudul The Agnew Clinic (1889)menunjukkan ruang operasi yang lebih bersih, dan memperlihatkan para petugas medis mengenakan jas putih. - Getty Images

Temuannya, klinik yang dikelola mahasiswa kedokteran memiliki tingkat kematian ibu sebesar 98,4 per 1.000 kelahiran pada tahun 1847.

Sementara itu, tingkat kematian di klinik yang dioperasikan bidan ada di angka 36,2 per 1.000 kelahiran.

Ketidakseimbangan angka ini sebelumnya dikaitkan kecenderungan mahasiswa kedokteran pria yang lebih kasar ketimbang bidan saat menangani pasien.

Kematian dini?

Saat itu ada argumentasi yang diyakini, bahwa tindakan medis yang kasar membuat para ibu lebih rentan terhadap demam puerperal. Ini adalah infeksi rahim yang terjadi setelah melahirkan dan penyebab hampir semua kematian ibu di rumah sakit.

Namun Semmelweis tidak yakin dengan penjelasan resmi soal fenomena kematian ibu pascapersalinan itu.

Pada tahun yang sama, kematian salah seorang kawan sejawatnya yang mengalami luka di tangannya selama pemeriksaan post-mortem, memberi petunjuk pada Semmelweis.


Ini adalah penyebab kematian yang pada awal abad ke-19 tidak dapat dilihat manusia: bakteri Streptococcus pyogenes. - Getty Images

Membuka bagian tubuh dalam proses medis pada masa itu dapat menimbulkan risiko yang berakibat fatal.

Setiap luka kulit yang disebabkan pisau bedah, tak peduli seberapa kecil, dikategorikan kondisi bahaya, termasuk untuk para ahli anatomi berpengalaman.

Salah satu contohnya, paman Charles Darwin, juga bernama Charles Darwin, meninggal pada 1778 setelah tersayat saat membedah tubuh seorang anak.

Semmelweis akhirnya melihat bahwa kematian kawannya di Wina diawali gejalanya yang sangat mirip dengan kematian para wanita pascapersalinan.

Pertanyaannya dalam benaknya, mungkinkah para dokter bedah membawa `partikel jahat` jenazah ke ruang bersalin?


Seperti tampak dalam lukisan bertajuk Nouvelles demonstrations d`accouchements karya Jacques-Pierre Maygrier tahun 1840, dokter menggunakan tangan terbuka dalam proses persalinan. Faktanya, tangan mereka tidak sebersih dalam ilustrasi ini. - Getty Images

Semmelweis mengamati, banyak mahasiswa kedokteran keluar-masuk ruang otopsi dan ruang persalinan.

Karena saat itu tak ada yang mengenakan sarung tangan atau pelindung lainnya selama pembedahan, bukan hal biasa melihat mahasiswa kedokteran muncul di bangsal dengan potongan tubuh dan tisu pada pakaian mereka setelah kelas berakhir.

Merobohkan rumah sakit

Bidan tidak melakukan otopsi. Apakah fakta itu bakal menjadi kunci misteri yang selalu menghantui Semmelweis?

Sebelum perihal kuman dipahami secara baik, sulit menemukan jalan keluar atas ketidaksterilan di rumah sakit.


James Simpson menilai rumah sakit yang terjangkit kuman harus dihancurkan dan dibangun kembali. - Getty Images

Terkait isu ini, ahli kebidanan James Young Simpson (1811-1870) memiliki pendapat khusus. Ia adalah dokter pertama yang menunjukkan sifat anestesi kloroform pada manusia.

Menurut Simpson, jika kontaminasi silang tidak dapat dikendalikan, rumah sakit secara berkala harus dihancurkan dan dibangun kembali.

John Eric Erichsen, penulis buku The Science and Art of Surgery (1853) dan salah satu ahli bedah paling terkenal pada abad ke-19, sependapat dengan Simpson.

"Begitu sebuah rumah sakit terserang pyaemia yang tak tersembuhkan (terinfeksi bakteri peracunan darah), mustahil untuk mendisinfeksinya dengan cara higienis apa pun."

"Pendekatan itu seperti membersihkan dinding yang dihancurkan semut atau keju basi yang telah melahirkan belatung," begitu tulis Erichsen.

Namun Semmelweiss tak percaya tindakan drastis seperti itu diperlukan.

Setelah menyimpulkan bahwa demam puerperal disebabkan partikel infeksi dari jenazah, ia menyediakan baskom penuh larutan kapur diklorinasi di rumah sakit.


Ignaz Semmelweis menyarankan petugas medis mencuci tangan dengan air kapur terklorinasi sebelum menjalankan operasi. - Getty Images

Sejak saat itu, dokter yang beranjak dari ruang bedah ke ruang bersalin wajib menggunakan antiseptik sebelum merawat pasien.

Tahun 1848, angka kematian di klinik ibu dan anak yang dikelola mahasiswa kedokteran merosot menjadi 12,7 per seribu persalinan.

Kemenangan tanpa penghargaan

Bagaimanapun, Semmelweis tetap tak dapat meyakinkan dunia kedokteran bahwa demam puerperal berhubungan dengan kontaminasi yang disebabkan kontak fisik dengan jenazah.

Mereka yang bersedia menguji metode medis kerap melakukannya secara tidak tepat, sehingga hasil yang muncul selalu mengecewakan.

"Anda harus ingat yang Semmelweis katakan, meski tidak secara terang-benderang, bahwa mahasiswa kedokteran membunuh para ibu hamil. Itu sangat sulit diterima," kata Lerner.

Faktanya, penggunaan antiseptik baru diperkenalkan ke dalam dunia kebidanan pada dekade 1880-an.

Buku yang diterbitkan Semmelweis terkait fenomena ini mendapat beragam ulasan negatif. Ia balik mengecam kritik itu dan menuding para dokter yang tidak mencuci tangan sebagai pembunuh.

Saat kontrak kerjanya di Rumah Sakit Wina tak diperpanjang, Semmelweis kembali ke Hongaria.

Di kampung halamannya itu, ia bekerja sukarela sebagai dokter kehormatan di klinik kebidanan kecil di Rumah Sakit Szent Rokus, Budapest.

Baik di rumah sakit itu maupun di klinik bersalin di University of Pest, tempat dia kemudian mengajar, penyebaran demam puerperal terus merajalela. Situasi itu berangsur pulih sampai Semmelweis benar-benar memusnahkannya.

Namun kritik terhadap teorinya belum sirna. Kemarahan Semmelweis pada keengganan rekan-rekannya untuk mengadopsi metodenya pun terus tumbuh.


Setelah kematiannya, Semmelweis mendapatkan pengakuan dari dunia kedokteran. - Getty Images

Tahun 1861, perilaku Semmelweis menjadi tidak menentu. Empat tahun kemudian, ia mendekam di rumah sakit jiwa.

Seorang kawannya mengantar Semmelweis ke Rumah Sakit Wina dengan dalih mengunjungi lembaga medis baru.

Saat Semmelweis menyadari apa yang sebenarnya terjadi dan berusaha kabur, para penjaga rumah sakit itu memukulinya secara kejam.

Mereka memasangkan baju pengekang ke tubuh Semmelweis, lalu menguncinya di sebuah sel gelap.

Dua pekan setelah kejadian itu, Semmelweis meninggal karena luka infeksi di lengan kanannya. Kala itu, ia berusia 47 tahun.

Semmelweis tidak akan memainkan peran apa pun dalam perubahan yang belakangan digerakkan para perintis seperti Louis Pasteur, Joseph Lister dan Robert Koch.

Namun, nama baik Semmelweis akhirnya direhabilitasi. Saat ini kebersihan tangan secara luas diakui sebagai salah satu elemen terpenting untuk mencegah infeksi di rumah sakit.