Miss Grand Malaysia 2018 Tak Masalah Pakai Batik, Asal...

Miss Grand Malaysia 2018, Debra Jeanne Poh.
Sumber :
  • Instagram Debra Jeanne Poh

VIVA – Penampilan Miss Grand Malaysia 2018 dalam ajang Miss Grand International saat masa karantina mendapat sorotan. Itu karena Debra Jeanne Poh mengenakan batik motif parang yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.

Kejadian ini pun mengundang perdebatan di dunia maya. Banyak netizen mempertanyakan alasan wakil Malaysia itu memilih mengenakan batik motif Indonesia dibanding busana khas negaranya. Lantas, etis-kah seorang perwakilan dari suatu negara mempromosikan budayanya dengan hasil budaya negara lain?

"Sebetulnya begitu kita memproklamirkan batik ke dunia berarti itu milik dunia, bukan hanya milik Indonesia," kata Pudentia MPPS, salah satu Tim Ahli Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2016 kepada VIVA, Senin, 15 Oktober 2018.

Menurutnya, ketika batik diakui sebagai warisan budaya dunia, siapap un berhak untuk mengenakannya. Hal ini menjadi masalah, menurut Pudentia, lantaran finalis asal Malaysia mengenakan batik dalam mempromosikan diri sebagai perwakilan dari Malaysia di dunia internasional.

"Kalau dalam konteks ramah tamah dan nonformal mungkin tidak apa. Masalahnya kalau dalam konteks dan promosi pariwisata yang ada kaitan sama bisnis, kode etiknya harusnya dilihat," kata dia.

Baca juga:

Sebelum Batik, Miss Grand Malaysia Pun Bikin Geger karena Kuda Lumping

Miss Grand Malaysia Buka Suara Soal Batik yang Dikenakan

Jika tetap memaksakan untuk menggunakan sebagai sarana promosi, Pudentia berpendapat bahwa hal itu justru akan menjadi bumerang tersendiri bagi Malaysia. Karena mereka juga harus menjelaskan asal-usul dari batik parang, yang merupakan hasil budaya dari bangsawan Jawa.

"Kan aneh ketika mereka menyebutkan itu produk Indonesia saat sedang mempromosikan negaranya sendiri," ucap dia.

Oleh karena itu, Pudentia menyarankan untuk kembali dibentuk Eminent Persons Group (EPG) antara Indonesia dan Malaysia. Tujuannya, agar hal semacam ini tidak kembali terulang.

"Dulu kan sempat dibentuk waktu kasus Reog yang dikepalai Tri Sutrisno, dan berhenti karena dianggap sudah selesai. Jadi perlu ada grup person to person secara rutin, jadi ada program bersama sehingga bisa menghindari hal seperti ini agar tidak muncul lagi," kata dia.