Fesyen Ternama Australia Pakai Produk Hasil Eksploitasi Muslim Uighur

Dilnur Abdurehim memegang pesan yang meminta bantuan selama berlangsungnya percakapan di telepon dengan saudarinya.
Sumber :
  • abc

Sejumlah merek fesyen ternama di Australia diduga mendapat pasokan benang kapas dari pabrik di China yang mempekerjakan secara paksa warga Muslim Uighur. Merek itu termasuk Target, Cotton On, Jeanswest, Dangerfield, Ikea dan H&M.

Produk Kerja Paksa Muslim Uighur:

- Bahan baku fesyen terkenal Australia ternyata dipasok dari pabrik di China yang mempekerjakan secara paksa warga muslim Uighur

- Merek itu di antaranya Target, Cotton On, Jeanswest, Dangerfield, Ikea dan H&M

- Pihak perusahaan mengaku tengah menyelidiki isu kerja paksa yang melibatkan rantai pasok mereka

Program Four Corners ABC menelusuri laporan Dilnur, seorang perempuan Uighur di Urumqi, yang mengaku dipekerjakan secara paksa di kamp tahanan di Provinsi Xinjiang, China. Dilnur sebelumnya meminta pertolongan pada saudarinya yang bermukim di Melbourne, Australia, Gulnur Idreis.

Perempuan berusia 38 tahun itu sebelumnya bekerja di rumah sakit yang berafiliasi dengan Sekolah Kedokteran Xinjiang. Lewat percakapan telepon, Dilnur pada Februari 2017 mengaku, ia dan suaminya ditangkap dan dikirim ke sejumlah kamp tahanan.

"Sebanyak 660 orang dibawa ke kamp tahanan dalam kondisi tangan diborgol. Kami tidak kuasa berbicara, karena akan dipenjarakan jika mengungkapkan hal ini. Sudah dua tahun berlalu dan kami belum juga dilepaskan," tutur Dilnur.

Pesan yang ditulis Dilnur kepada saudarinya di Melbourne lewat percakapan telepon.

Supplied

Dilnur mengirimkan sejumlah pesan mengenai kondisinya dan ratusan warga Uighur dalam kamp tahanan dan dipaksa bekerja secara tidak manusiawi. Dilnur mengaku dirinya tidur di asrama pabrik dan hanya dibolehkan pulang seminggu sekali untuk bertemu anak-anak dan orangtuanya.

Dia mengaku daya penglihatannya sangat buruk dan jika dia tidak bisa membuat sulaman rumit yang diperintahkan, dia akan dihukum menyapu pabrik.

"Saudari saya seorang perawat, dia tidak tahu bagaimana caranya membuat pakaian," tutur Gulnur.

Dilnur meminta saudarinya di Melbourne menyuarakan kondisinya kepada media dan khalayak luas.

"Dia minta tolong, katanya jika tidak bisa keluar dari tempat itu, kabarkan kepada masyarakat internasional, pemerintah, apa saja yang bisa saya lakukan," tutur Gulnurs Idreis.

Pabrik tekstil di China Four Corners menggunakan ID Dilnur untuk melacak pabrik yang menggunakan sistem kerja paksa di China.

Four Corners

Berbekal kartu identitas yang sempat diberikan lewat foto dari Dilnur, Four Corners kemudian menelusuri keberadaan lokasi pabrik yang disebut Dilnur itu.

Ternyata lokasi tersebut adalah perusahaan tekstil bernama Urumqi Shengshi Huaer Culture Technology Co, berlokasi 30 kilometer sebelah utara ibukota Xinjiang, Urumqi. Penelusuran lebih lanjut oleh Four Corners mendapati pabrik ini sebagai pemasok bahan kain katun untuk sejumlah merek fesyen Australia.

Kepada Four Corners, pihak Cotton On dan Target Australia mengaku sedang menyelidiki relasi mereka dengan pemasok di Xinjiang. Cotton On Group mengaku mendapat pasokan kain dari subkontraktor berbasis di Xinjiang, Litai Tekstil. Perusahaan ini mengoperasikan dua pabrik di kota Korla dan Kuytun.

Dokumen Pemerintah China yang diperoleh Four Corners menunjukan pabrik Litai Textil di Kuytun bekerja sama dengan pemerintah untuk melatih dan merekrut pekerja pertanian yang untuk bekerja di pabrik-pabrik. Ketika ditanya apakah Cotton On bisa menjamin kalau benang tekstil yang digunakannya tidak diproduksi para pekerja paksa, mereka berdalih tidak mengetahui isu ini dan sedang melakukan penyelidikan.

Perusahaan ini membenarkan seorang stafnya tahun lalu mengunjungi pabrik milik Litai Textile di Korla, yang berloksi 6 kilometer dari kamp pelatihan di Urumqi.

Alamat pabrik yang disebut Dilnur merujuk ke gedung ini, yang terletak di utara Urumqi.

Baidu Maps

Sementara Target Australia menjelaskan salah satu pemasok langsungnya menggunakan kapas dari pabrik yang dimiliki perusahaan bernama Huafu Fashion Co di Xinjiang. Pada bulan Mei, seorang pekerja di pabrik Huafu di Aksu dikutip media Wall Street Journal bahwa dia bekerja di pabrik itu dari program pelatihan rahasia untuk menghilangkan "pikiran ekstremisnya".

Manajer pabrik Huafu menyangkal kepada Four Corners bahwa perusahaannya menggunakan sistem kerja paksa.

Merek internasional Citra satelit menunjukkan pabrik yang diduga dibangun tepat di sebelah fasilitas pendidikan ulang di Hotan.

Google Earth

Sejumlah merek internasional seperti H&M, Adidas dan Esprit dilaporkan juga menyelidiki atau telah menangguhkan hubungan mereka dengan pabrik yang mempekerjakan secara paksa warga Muslim Uighur Huafu.

UNIQLO, Nike, dan PVH Corp - perusahaan di belakang Calvin Klein dan Tommy Hilfiger - mengatakan mereka sedang menyelidiki isu kerja paksa di Xinjiang. Nike misalnya mengaku sedang meninjau apakah rantai pasoknya mengambil bahan dari wilayah tersebut.

Ikea mengakui sekitar 15 persen kapasnya berasal dari Xinjiang, tetapi tidak mengetahui adanya kerja paksa. Merek fesyen Australia Dangerfield mengatakan 7 persen kapas yang mereka gunakan dipasok dari Xinjiang, tapi telah memeriksa pabrik-pabrik mitranya dan pemasoknya menandatangani perjanjian untuk tidak membeli kapas dari kamp-kamp kerja paksa.

Sedangkan Woolworths mengatakan, pemasok kapas mereka yang dijual dengan merek Big W kemungkinan berasal dari Xinjiang.

Seorang pria Uighur menyaksikan sebuah truk yang mengakut polisi militer di Xinjiang.

Reuters

Sedangkan sejumlah merek terkenal Australia juga masih dipertanyakan sumber pasokan bahan baku mereka. Just Group, yang memiliki merek fesyen Just Jeans, Dotti, Jacqui E, Peter Alexander, Portmans dan Jay Jays, mengaku 84 persen rantai pemasok dari produk mereka berasal dari China.

Demikian pula kelompok Noni B, yang memiliki merek seperti Rockmans, Katies, Liz Jordan, W.Lane, Table Eight, Rivers, Millers, Crossroads and Autograph, mengatakan China adalah salah satu dari empat pemasok utama dan tidak mengesampingkan produk mereka berasal dari Xinjiang .

Ikuti berita selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini.