Alasan Orang Zaman Dulu Murung Saat Difoto

Summer Days oleh Julia Margaret Cameron
Sumber :
  • Stapleton Collection/Corbis

VIVA – Jika Anda jeli memperhatikan, senyuman menjadi hal yang hampir tidak terlihat di foto-foto zaman dulu. Di tahun 1852 misalnya, seorang gadis berpose untuk Daguerreotype, kepalanya sedikit dimiringkan, memberikan lensa penampilan yang stabil, percaya diri, dan tanpa senyuman. Dia selamanya tersimpan sebagai gadis yang sangat serius.

Hal semacam itu ditemukan di mana pun di foto-foto era Victoria. Charles Darwin, seorang yang berkarakter hangat dan penuh kasih sayang, orang tua yang menyenangkan, terlihat kaku dalam kemuraman di foto. Kenapa nenek moyang kita, mulai dari orang tak dikenal dalam foto keluarga hingga tokoh terkenal menjadi sangat murung di hadapan kamera?

Anda tak perlu menatap lama foto-foto tanpa senyum itu untuk mengetahui jawabannya. Mereka berpose dingin agar tetap awet dalam jangka waktu yang lama. Dalam potret Tennyson oleh Julia Margaret, wajahnya dibayangi topeng jenius. Ini bukan sekadar kekhasan teknis, tapi sebuah pilihan estetik dan emosional.

Dikutip dari laman Guardian, orang-orang di masa lampau tidak lebih suram dari kita saat ini. Mereka tidak berkeliaran dalam kemuraman abadi meski bisa saja melakukan itu, karena mereka berada di masa tingkat kematian yang tinggi dan teknologi pengobatan yang masih di bawah standar saat ini. Kenyataannya, bangsa Victoria memiliki selera humor juga bahkan terhadap hal paling gelap dari lingkungan mereka.

Jadi, kemuraman orang-orang dalam foto di abad ke-19 bukanlah bukti kemurungan dan depresi yang digeneralisir. Ini bukanlah masyarakat yang berada dalam kesedihan permanen. Melainkan, jawaban sebenarnya berkaitan dengan sikap terhadap potret itu sendiri.

Orang yang berpose di masa awal fotografi, mulai dari keluarga kelas menengah yang ingin merekam status mereka hingga para selebriti yang tertangkap kamera, memahaminya sebagai momen berharga. Fotografi masih sangat jarang. Berfoto bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan setiap hari. Bagi kebanyakan orang, itu bisa jadi pengalaman sekali seumur hidup.

Bergaya di depan kamera, dengan kata lain, tidak berbeda dengan mengabadikan gambar Anda dalam lukisan. Foto lebih murah, cepat, dan berarti bagi mereka yang tidak pernah berkesempatan dilukis. Tapi, orang-orang nampaknya menganggapnya sesuatu yang serius sama halnya dengan melukis diri.  Seperti lukisan diri, foto bertujuan untuk merekam seseorang yang tak lekang waktu.

Lukisan seseorang juga tidak dihiasi senyuman. Potret Rembrandt's akan terlihat berbeda jika semua orang di dalamnya tersenyum. Pada kenyataannya, foto itu penuh dengan kesadaran akan mortalitas dan misteri keberadaan, tidak ada yang patut disenyumi di sana.

Saat ini, kita mengambil banyak jepretan dengan senyuman. Foto adalah mengenai menjadi sosial. Kita ingin mengomunikasikan diri kita sebagai orang sosial yang bahagia. Jadi kita tersenyum, tertawa, dan melonjak-lonjak dalam swafoto yang tanpa henti.

Foto tersenyum berlawanan dengan potret serius. Itu hanya penampilan sementara akan kebahagiaan. Foto itu memiliki kedalaman yang kosong dan karenanya tidak memiliki nilai artistik.

Foto-foto tanpa senyum itu mungkin memiliki kesenangan sama seperti kita. Tapi mereka tidak punya kebutuhan histeris untuk membuktikannya dalam foto. Tapi, ketika mereka berpose untuk sebuah foto, mereka memikirkan mengenai waktu, kematian, dan kenangan.

Adanya realita suram di foto kuno membuatnya jauh lebih bernilai daripada jepretan penuh senyuman di Instagram.