Kisah Seniman Madura Berhasil Mendunia Lewat Lukisan

Suvi Wahyudianto
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA – Kasar dan suka kekerasan. Dua streotipe itu yang seringkali dilekatkan oleh masyarakat kepada setiap orang yang berasal dari Madura.

Mereka kerap kali dianggap mudah marah hingga tak segan-segan melakukan kekerasan jika harga diri dan keluarganya direndahkan. Namun, tentu saja semua itu hanyalah streotipe yang sengaja dibentuk untuk memecah belah bangsa Indonesia. Hal itulah diungkapkan oleh Suvi Wahyudianto, seorang seniman muda asal Madura.

"Kalau kita membaca sejarah, stereotipe itu produk kolonialisme, bagaimana para penjajah itu menerapkan politik devide et impera (politik pecah belah) orang Madura selalu disandingkan dengan saudara terdekatnya, yaitu Jawa," ungkap Suvi kepada VIVA, Jumat, 17 Mei 2019

Ia melanjutkan, selama ini masyarakat selalu menganggap bahwa orang Jawa lebih lemah lembut, sedangkan Madura terkenal dengan wataknya yang kasar dan juga keras. Semua hal itulah yang banyak melatarbelakangi karya-karya seni yang ia buat.

"Jadi aku sebagai seorang seniman berusaha membongkar stigma dan stereotipe itu mengurutkannya dan menyusunnya kembali dalam sebuah karya seni," kata Suvi.

Sejak kecil, pemuda kelahiran Bangkalan, 22 April 1992 itu memang telah bercita-cita menjadi seorang seniman. Bahkan, ia masih ingat betul ketika banyak teman seusianya dahulu bercita-cita menjadi dokter atau guru, saat itu ia hanya ingin menjadi seniman.

"Saya masih ingat sampul buku cokelat ketika kanak-kanak itu bertuliskan cita-cita sebagai seniman. Karena bapak saya waktu saya kecil itu dekat dengan kesenian tapi karena kita hidup di desa, bapak saya mengumpulkan batu-batu yang bagus dan dibuat asbak diukir dan dibuat pot. Jadi kesenian dimulai dari rumah," tuturnya.

Dari situ ia terus mengasah kemampuannya dalam berkesenian. Hingga akhirnya pada tahun lalu, ia berhasil memenangkan UOB South-east Asian Painting of the Year 2018. Lewat karyanya yang berjudul Angst, ia berhasil memenangkan kompetisi yang sempat digelar di Singapura.

Suvi mengungkapkan, Angst sendiri berusaha menceritakan tentang sentimen konflik primordial yang seringkali masih terjadi di Masyarakat Indonesia. Karya ini terinspirasi dari seorang temannya, yang merupakan korban dari konflik antar etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, yang pecah pada tahun 2001.

Ide ini berawal ketika ia kembali bertemu dengan kawan lama yang terakhir ia jumpai saat masih di bangku Sekolah Dasar. Banyak hal berubah dari temannya tadi. Namun, satu hal yang tidak berubah, ialah bekas luka yang dialaminya.

"Dia itu seorang yang diungsikan ketika ada peristiwa Sampit, saya melihat bekas luka itu dan masih ada. Poinnya bahwa peperangan atau konflik itu yang ditinggalkan hanya bekas luka, tidak ada keuntungan yang kita dapatkan," kata dia.

Dari luka itu, dia melihat sisi paling puitis dan ketika luka itu robek dan memperlihatkan daging semua orang adalah sama di bawa permukaan kulit. Semua ini kemudian ia tuangkan dalam sebuah karya seni abstrak berukuran 1,5x1 meter itu.

Dalam karya itu, ia menggunakan plastik, enamel dan resin yang kemudian dibuat seperti sebuah bekas luka yang terbakar berwarna merah kehitaman. "Saya ingin menggambarkan sebuah daging robek dan terbakar sebagai wujud dari sejarah yang tertinggal dari sebuah perang itu hanyalah luka," kata dia. (mus)