Dewi Lestari Beberkan Tantangan Jadi Penulis di Indonesia Saat Ini

Dewi Lestari dan Prof Ariel Heryanto di Herb Feith Indonesian Engagement Centre
Sumber :
  • abc

Suasana kehidupan sosial politik di Indonesia yang saat ini terpolarisasi juga berpengaruh terhadap proses kreatif pekerja seni, termasuk para penulis.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dewi Lestari, salah seorang penulis buku yang populer di Indonesia dalam sebuah perbincangan di Monash University di Melbourne, Australia, Kamis, 13 Juni 2019.

Ia hadir dalam acara bulanan yang diselenggarakan oleh Herb Feith Engagement Centre milik universitas yang dibentuk untuk meningkatkan interaksi antara Indonesia dan Australia di berbagai bidang.

Dewi yang juga dikenal dengan nama Dee Lestari sudah menerbitkan beberapa novel dan cerita pendek yang mendapat sambutan hangat dari para pembaca di Indonesia. Salah satu kumpulan cerita yang terkenal adalah seri Super Nova.

Didampingi oleh Direktur Herb Feith Centre, Profesor Ariel Heryanto, Dewi membeberkan apa yang dirasakannya di dunia industri kreatif Indonesia saat ini, khususnya di bidang penulisan buku.

Menurutnya, walau seringkali disebut bahwa tingkat literalisasi di Indonesia merupakan salah satu yang terendah di dunia, Dewi yang lahir di Bandung mengatakan bahwa dia melihat suasana di bidang penulisan saat ini justru sangat bergairah.

"Saya melihat bahwa ada beberapa penulis yang bisa hidup sepenuhnya dari kegiatan tulis menulis saja." katanya dalam acara yang dihadiri oleh sekitar 50 orang dari berbagai kalangan tersebut.

Menurut Dewi, sejak Indonesia menjadi tema utama di pameran buku paling bergengsi dunia, Frankfurt Book Fair, di tahun 2015 dan juga menjadi tamu di London Book Fair tahun 2018, kegairahan tulis menulis di Indonesia semakin terlihat.

Secara pribadi, Dewi mengatakan, tidak sepakat bahwa sebagian orang Indonesia yang disebut tidak suka membaca.

"Memang ada permintaan dari penerbit, kalau bisa buku yang dianggap laku itu jika jumlah halamannya cuma 150-200 halaman." katanya.

Namun ketika dia menulis buku Aroma Karsa di tahun 2018, buku itu tebalnya 600 halaman lebih berisi lebih dari 100 ribu kata.

"Nyatanya, pemesanan sebelum penerbitan luar biasa banyak." katanya.

Melakukan sensor sendiri

Namun dalam proses kreatif penulisan di Indonesia, menurutnya, para penulis harus "berhati-hati" dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikan dalam tulisan.

Ini disebabkan karena semakin banyak kelompok dalam masyarakat yang mempersoalkan hal yang ditulis dalam buku. Dewi Lestari mencontohkan hal yang pernah dialaminya sendiri.

Sebelum sebuah buku resmi diterbitkan biasanya naskah dari seorang penulis akan dibaca oleh kalangan terdekat yang disebut first readers (pembaca pertama), yang akan memberikan masukan mengenai skrip yang ada.

"Pernah dalam salah satu buku saya, ada bagian yang saya tulis berisi ucapan "Dasar Santri lu". Nah beberapa orang yang membaca awal kemudian memberikan saran apakah kata-kata itu mutlak harus masuk dalam buku."

Dewi kemudian memberikan beberapa contoh lainya yang membuatnya harus berpikir ulang apakah harus mengganti kalimat yang sudah ditulisnya atau tidak.

Kepada wartawan ABC Sastra Wijaya usai acara selesai, Dewi mengatakan, dengan dunia media sosial sekarang ini, mereka yang mau mempersoalkan hal-hal yang ditulis oleh seorang pengarang bisa menyebarkan ketidaksukaan mereka sendiri.

"Dari pengamatan saya dibandingkan kelompok etnis, mereka yang berpotensi mempersoalkan tulisan atau tema yang kita angkat dalam sebuah buku adalah dari kalangan kelompok agama." katanya.

Dewi sendiri pernah mengalami gugatan dari kelompok warga Hindu ketika dia menerbitkan novel kedua dari seri Super Nova berjudul Akar di tahun 2002.

Sampul muka bukunya adalah lambang Omkara yang merupakan aksara suci agama Hindu.

Dewi digugat karena dianggap hanya mereka yang beragama Hindu saja yang boleh menggunakan aksara tersebut, dan lambang Omkara tidak lagi digunakan dalam cetakan kedua dan seterusnya dari buku tersebut.

Selain masalah kemungkinan gugatan dari kelompok masyarakat, yang menjadi masalah lain di Indonesia adalah bahwa harga buku yang masih mahal, karena adanya pajak yang harus dibayar untuk penerbitan buku.

"Kalau saya punya kuasa, saya putuskan untuk menghapus pajak untuk buku sehingga harga buku bisa lebih murah, sehingga terjangkau bagi mereka yang mau membeli," katanya.

Dewi Lestari dengan suaminya Reza Gunawan

Foto: Sastra Wijaya

Pertunjukkan musik bercerita

Acara tadi malam yang berlangsung sekitar dua jam diakhiri dengan penampilan Dewi membacakan beberapa bagian dari bukunya Aroma Karsa.

Dewi tidak hanya membaca saja, namun juga menyelingi dengan nyanyian beberapa lagu yang dikarangnya sendiri, dengan latar belakang piano yang dimainkan oleh suaminya, Reza Gunawan.

Sebelum menjadi penulis terkenal di Indonesia, Dewi Lestari juga sudah terlibat dalam dunia tarik suara, dengan antara lain pernah menjadi penyanyi latar belakang untuk bintang Indonesia seperti Chrisye.

Bersama dengan Rida Farida dan Indah Sita Nursanti, mereka pernah membentuk trio RSD, Rida Sita Dewi dan menerbitkan beberapa album rekaman.

Menurutnya, membacakan cuplikan buku disertai nyanyian dan piano merupakan satu-satunya yang pernah dilakukan oleh penulis asal Indonesia.

"Ya, karena kalau membaca saja membosankan. Kebetulan saya punya latar belakang penyanyi, dan suami bisa main piano." katanya.

Hadirin yang hadir memberikan sambutan hangat atas pertunjukkan yang unik tersebut yang semuanya disampaikan dalam bahasa Inggris.

Dewi Lestari membaca dan menyanyi dengan suaminya Reza Gunawan memainkan piano.

Foto: Sastra Wijaya

Simak berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini