Ungkapan Hati Keluarga yang Gelar Kebaktian Tutup Peti di Depan Masjid

Kebaktian tutup peti di depan halaman Masjid Darussalam Cempaka Baru, Jakarta.
Sumber :
  • Facebook/Jefferson Goeltom

VIVA – Di balik duka yang dialami keluarga Ninggor Gultom, ada cerita menyentuh yang menggugah hati banyak orang di Indonesia. Prosesi kebaktian tutup peti jenazah istrinya, Parludjiati, dilaksanakan di halaman sebuah masjid di Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Kisah nyata kentalnya toleransi beragama ini terungkap melalui sebuah unggahan di laman Facebook milik Jefferson Goeltom, yang merupakan kerabat dari Ninggor Gultom. Tak lama, beberapa foto yang menggambarkan prosesi kebaktian viral di media sosial.

Menurut penuturan Retta Putri, anak kedua Ninggor, kebaktian di halaman masjid itu bukan yang pertama kali dilakukan. Beberapa tahun silam, saat nenek Retta meninggal dunia, mereka juga melaksanakan kebaktian di halaman masjid yang sama.

Saat itu bahkan pihak pengurus masjid mempersilakan keluarga memutar musik Batak. Bahkan, masjid juga tidak mengumandangkan adzan dari dalam karena kebaktian yang sedang berlangsung.

Keluarga Ninggor Gultom terpaksa menggunakan halaman masjid, mengingat akses jalan menuju rumahnya adalah gang sempit. Belum lagi pintu rumah yang lebih kecil dari ukuran peti, sehingga tak memungkinkan membawa jenazah dengan peti ke dalam rumah.

"Papa mau berangkatkan mama dari rumah. Pas malam peti sampai, ternyata enggak muat, itu yang tidak terpikir oleh kita," ujar Retta kepada VIVA.co.id.

Keluarga pun berdiskusi dan memutuskan meminta izin kepada pengurus masjid untuk melaksanakan kebaktian dan prosesi pindah jenazah dari ranjang ke peti di halaman masjid. Karena ini bukan yang pertama, keluarga yakin bakal diberi izin.

Pengurus masjid tak sekadar memberi izin, mereka juga dengan sukarela memberi bantuan tenaga. Mereka membantu memblokir jalan dan menyiapkan kursi-kursi untuk para pelayat.

Bahkan, mereka juga membatalkan agenda pengajian yang seharusnya dilaksanakan pada hari Senin karena per persemayaman jenazah yang berlangsung hingga dua hari. Jemaah pengajian yang terlanjur datang pun akhirnya ikut melayat dan mengucapkan belasungkawa.

Hal menyentuh lain bagi keluarga Gultom adalah ketika halaman masjid sudah kembali bersih ketika mereka selesai melakukan pemakaman. Padahal saat masih disemayamkan, kondisi halaman banyak berserakan sampah dari para tamu.

Menurut Retta, inilah toleransi yang memang benar-benar nyata di Indonesia. Bukan sekadar omongan atau semboyan semata. Apalagi ia juga merasakan sendiri bagaimana warga di tempat tinggalnya begitu rukun satu sama lain meski mereka beda keyakinan.

"Warga di sini memang toleransinya tinggi, seperti Lebaran atau Natal selalu datang ke rumah, kasih ketupat," ungkap Retta.

Ia pun merasa bersyukur bisa tinggal di lingkungan yang kental rasa toleransi. Semua warga dengan agama apapun bisa saling berbaur. Ia juga berharap masyarakat Indonesia bisa mencontoh toleransi ini.