Dampak Kabut Asap, Terumbu Karang di Sungai Pinang Sumbar Memutih

Kondisi Terumbu Karang yang mati di kawasan Pantai manjuto, Nagari Sungai Pinang
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Terumbu karang yang tumbuh secara alami di kawasan Pantai Manjuto, Nagari Sungai Pinang Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengalami proses bleaching (pemutihan) yang berujung mati dan berdampak terhadap keberlangsungan hidup ekosistem lainnya.

Menurut laporan Ketua Anak Desa Sungai Pinang (Andespin), David, berdasarkan perkiraan sementara, terumbu karang yang mengalami proses bleaching ini berada di area seluas 0,5 hektare. Bahkan, saat ini bisa dipastikan mati. 

Akibatnya, selain berkurangnya jumlah ikan yang bergantung hidup dengan terumbu karang, tentu juga merusak sistem pertahanan pesisir pantai. Ancaman abrasi salah satunya.

Bleaching ini, terpantau hari ini pada saat pasang surut. Luasnya, kita perkirakan 0,5 hektare. Ini dapat berakibat kurangnya jumlah ikan dan merusak sistem pertahanan pesisir pantai. Ini kejadian pertama yang kita temui di lokasi ini. Sudah kita laporkan ke DKP Provinsi. Ini terumbu karang yang tumbuh secara alami,” kata David, Jumat, 18 Oktober 2019.

Terkait langkah berikutnya, David belum bisa memastikan upaya apa yang akan diambil. Yang jelas, pihaknya sampai saat ini masih memantau dan memastikan berapa luas area yang terdampak. Proses bleaching, kata David, dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kerusakan hutan, aktivitas wisata, sampah, dan pengaruh kabut asap.

Akibat Kabut Asap

Penyelam senior sekaligus peneliti terumbu karang dari Universitas Bung Hatta Padang, Indrawadi Mantari menyebutkan, proses bleaching (pemutihan) terhadap terumbu karang di Nagari Sungai Pinang saat ini, kemungkinan besar disebabkan oleh paparan kabut asap kiriman yang melanda wilayah Sumatera Barat.

Menurut Indrawadi, meski kabut asap di udara dan terumbu karang berada di dasar laut, namun keduanya akan saling memengaruhi dalam proses kehidupan. Ancaman kabut asap semakin parah menyelimuti sebagian Pulau Sumatera, tidak terkecuali pesisir pantai sepanjang pantai barat Sumatera.

“Kondisi itu dikhawatirkan dapat mematikan ekosistem terumbu karang di pantai barat Sumatra. Terumbu karang adalah hewan yang berasosiasi dengan tumbuhan, untuk pertumbuhannya terumbu karang melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tersedianya cahaya matahari yang cukup sebagai "pembakar" atau energi,” kata Indrawadi Mantari.

Dijelaskan Indrawadi, dalam hal ini, diambil perumpamaan misalnya, kawasan perairan Kota Padang, ditutupi oleh asap di atasnya sehingga sinar matahari tidak dapat menembus perairan. Dengan tidak bisanya cahaya matahari menembus perairan, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu proses fotosintesis terumbu karang. 

“Pada kondisi yang lebih parah lagi adalah ketika bencana asap disertai dengan kondisi kemarau yang berkepanjangan akibat El Nino, suhu peraiaran menjadi naik. Dan akibat kenaikan suhu yang cepat ini, maka terumbu karang mengalami pemutihan (bleaching) dan akhirnya mati,” ujarnya.

Lebih lanjut, jika terumbu karang mati, maka sumber daya lain yang berkaitan dengannya juga akan terganggu. Seperti halnya ikan karang. Berdasarkan catatan yang ada, pada akhir tahun 2000, terjadi kematian massal terumbu karang di kawasan pantai Sumbar. Penyebabnya juga kabut asap.

Kabut asap yang menutupi sinar matahari ke dalam laut, kata Indrawadi, dapat memicu berkembangnya fitoplankton alga merah. Biota tersebut dikenal berbahaya karena dapat mematikan spesies lain, termasuk terumbu karang. Blooming fitoplankton itu telah mematikan seluruh terumbu karang di laut Sumbar hingga Sumut. 

“Butuh waktu bertahun-tahun untuk recovery-nya. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, pertumbuhan terumbu karang baru sekitar 35 persen. Jika terjadi blooming lagi, kondisinya akan kembali nol. Pertumbuhan terumbu karang itu sangat lambat. Hanya 2,5 sentimeter per tahun, dan kita harus menunggu paling cepat 20 tahun untuk dapat melihatnya kembali,” katanya.

Indrawadi memastikan, pertumbuhan kembali atau recovery itu terjadi baik secara alamiah maupun ilmiah (bantuan manusia). Alamiah karena terjadi transplantasi alami yang kemudian tumbuh tunas-tunas baru dalam jangka waktu cukup panjang untuk menjadi dewasa. Oleh karenanya, jika kabut asap terus berlanjut hingga tiga bulan ke depan, blooming fitoplankton dikhawatirkan dapat terjadi lagi. 

“Kita tidak tahu, kapan kabut asap kiriman itu akan berakhir, tergantung dari upaya pemerintah provinsi tetangga untuk menyelesaikan penyebab kebakaran hutan di daerah mereka,” tutup Indrawadi.