Kondom, Seks Bebas dan Simbol Ketidaksetiaan

Ilustrasi kondom/alat kontrasepsi.
Sumber :
  • Pixabay/Anqa

VIVA – Gerak-geriknya mencurigakan, seorang pria rasanya di usia awal 30-an terlihat mondar-mandir di antara rak-rak minimart malam itu. Begitu melihat kasir sepi, dengan gerak cepat pria tersebut mengambil barang dan langsung memberikannya pada kasir. Bahkan dia terlihat enggan berlama-lama dengan kasir yang tengah menawarkan promo ini itu. Ternyata sebuah kondom dan beberapa camilan dibeli pria tersebut.

Kejadian seperti itu pasti dialami hampir sebagian besar pria di Indonesia. Mereka akan memiliki seribu satu cara untuk mengatasi rasa malu saat akan membeli alat pengaman, kondom. Dari yang membeli bersamaan barang lain seperti tisu, makanan, minuman, bahkan popok untuk menyamar, hingga cara gercep atau gerak cepat menunggu kasir kosong dan langsung kabur.

Tak hanya anak muda, banyak juga orang dewasa yang bahkan malu saat membeli kondom di minimarket ataupun apotek. Apakah benar budaya yang membuat masyarakat malu saat membeli kondom, meskipun sadar akan perlindungan ganda yang diberikan kondom?

Peneliti Senior di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP Universitas Indonesia, Irwan Hidayana, mengatakan bahwa selama ini rasa malu muncul karena stigma masyarakat umum yang terus berkembang bahwa mereka yang membeli kondom akan berbuat 'nakal.'

"Rasa malu berhubungan dengan pandangan bahwa kondom identik dengan 'perilaku seksual bebas'. Namun kita juga tahu, bahwa di pasar swalayan kondom diletakkan di counter kasir, bukan diletakkan di tempat yang lebih tersembunyi," ujar Profesor di Departemen Antropologi Universitas Indonesia ini ketika dihubungi VIVA.co.id.

Lebih lanjut Irwan mengatakan anggapan tabu tentang kondom itu sendiri tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa sebagian masyarakat masih mengasosiasikan kondom dengan hubungan seksual, khususnya hubungan seksual di luar perkawinan.

Tabu

Promosi kondom sebagai pencegah IMS (Infeksi Menular Seksual) mengundang reaksi masyarakat bahwa kondom mendorong perilaku promiskuitas yang dianggap bertentangan dengan moralitas seksual.

"Oleh karena itu, banyak istri yang juga enggan untuk meminta suaminya pakai kondom sekalipun mereka curiga suaminya berhubungan seksual di luar perkawinan. Kondom dianggap simbol ketidaksetiaan."

Pandangan tersebut juga dibenarkan oleh Psikolog Elizabeth Santoso atau biasa dikenal dengan Psikolog Lizzie. Menurutnya hal-hal berbau seks, alat kontrasepsi, masih menjadi hal tabu untuk dibicarakan di depan umum, sehingga masyarakat cenderung menekan hal-hal berbau seks.

"Stigma saja sih. Kalau kita lihat orang beli kondom pasti pikirannya mau melakukan atau apa, jadi pikirannya sudah negatif dan itu hal yang enggak lumrah di masyarakat kita."

Rasa malu saat membeli kondom tak hanya dirasakan mereka yang masih muda tapi bahkan yang sudah menikah sekalipun merasa malu saat membeli alat pengaman tersebut. Seperti diceritakan beberapa orang yang ditemui VIVA di tempat berbeda berikut.

"Ya kalau beli lihat dahulu sepi enggak kasirnya, kalau belum sepi ya mondar-mandir di sekitar situ. Itu juga pas bayar suka masih dilihatin," kata Alfons, 31 tahun, seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan di Jakarta.

Bahkan Alfons yang telah menikah dan memiliki anak satu tersebut cenderung memilih setia dengan kondom pilihannya daripada harus berlama-lama di depan rak dan memilih kondom berbeda.

"Cari yang biasa dipakai saja meski banyak pilihan, malu kalau harus berdiri lama-lama depan rak berisi kondom," katanya.

Menurut Psikolog Lizzie, kebiasaan masyarakat untuk bergerak cepat saat membeli, atau menutupinya dengan membeli barang lain merupakan hal yang wajar. Apalagi dengan budaya masyarakat Indonesia saat ini yang menganggap kondom masih sebagai hal tabu.

"Sebagai kamuflase, trik saja. Meminimalisasi rasa malu karena dalam budaya kita masih rada tabu, semudah itu. Makanya beli kondom sama rokok, permen, popok, kenapa? Karena dipikirnya biar enggak punya anak lagi. Cari alasan, buat nutupin, menurut saya normal. Di mana kita dibesarkan ada budaya sendiri."

Kondom dan pencegahan HIV/AIDS

Meski sadar betul akan pentingnya perlindungan ganda yang diberikan oleh kondom, yaitu tak hanya sebagai alat kontrasepsi, tapi juga sebagai alat untuk melindungi dari penularan HIV/AIDS, masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung menolak fakta-fakta tersebut.

"Intinya, 'Saya enggak macam-macam, enggak bakalan kena penyakit ini itu'," kata Corporate Communication Manager DKT Indonesia, Pierre Frederick yang menyebut hal tersebut sebagai penyangkalan diri.

"Persepsi masyarakat terhadap self perceiveness (mengetahui bahwa dirinya berisiko) itu masih sangat rendah. Jadi bisa dibilang bahwa pengetahuan akan diri sendiri berisiko masih rendah. Penyangkalan bahwa orang-orang tersebut tidak akan terkena penyakit atau kehamilan yang tidak direncanakan," jelasnya.

Sebagai perusahaan yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1996, DKT Indonesia telah secara aktif melakukan berbagai penyuluhan terkait gaya hidup berisiko tersebut dengan sasaran yang berbeda setiap tahun, namun dengan tujuan sama yaitu untuk mensosialisasikan pentingnya melindungi diri sendiri dan keluarga.

"Kita penyuluhan ke 23 pelabuhan seluruh Indonesia, kerja sama dengan komisi Penanggulangan AIDS provinsi atau daerah, LSM, sosialisasi IMS, HIV, juga voluntary testing HIV. Tahun ini kita melihat daerah industri juga cukup rawan atau berisiko, sehingga kami fokus ke area industri," papar Pierre.

"(karena)Perkumpulan orang. Kalau pelabuhan salah satu high risk area, daerah industri juga merupakan salah satu mapping kita. Pekerja perlu diberi penyuluhan dan sosialisasi hidup bertanggung jawab."

Penerimaan kondom

Secara umum memang tidak bisa dikatakan masyarakat Indonesia masih tabu dalam menerima kondom, karena nyatanya untuk kota besar di Indonesia seperti Jakarta, masyarakatnya sebenarnya sudah mulai terbuka dengan kondom, karena ada banyak cara untuk membeli tanpa harus datang ke minimart, dan juga kehidupan mereka yang lebih individualistis.

"Sudah (terbuka) banget, karena mereka lebih terpapar teknologi, manusianya lebih individualistis, kita bertetangga tapi enggak peduli, lagian sekarang sudah enggak perlu lagi beli (langsung), bisa nitip OB, pembantu, karena banyak fasilitas yang membuat orang enggak perlu berhadapan langsung di convenience store," kata Lizzie.

Tidak seperti Indonesia atau negara Asia lain seperti Malaysia, Vietnam, negara seperti Filipina dan Thailand lebih mudah menerima kondom.

"Di Eropa dan Amerika, kondom bukan barang tabu. Seringkali disediakan gratis di toilet umum. Di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina juga relatif lebih mudah menerima kondom secara terbuka," kata Irwan.

Seolah sejalan dengan persepsi masyarakat terhadap kondom itu sendiri, penjualan alat pengaman ini juga bisa dibilang cukup kecil.

"Pasar kondom dari 2017 ke 2018 peningkatan hanya 2,7 persen," kata Pierre, lebih lanjut mengatakan,"Sangat kecil compare to populasi Indonesia."

Sementara untuk daerah yang paling tinggi menggunakan kondom, Pierre lebih menjelaskan hal itu tergantung pada jumlah populasi saja. Seperti daerah Jawa dan Bali yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak dibanding wilayah lain.

"Ngikutin yang besar, di mana populasi besar, contohnya kalau enggak salah Jawa Bali mewakili 66 persen populasi Indonesia, penjualan kondom juga sama sekitar 60 persen ada di Jawa Bali."

Sementara Papua, meski populasinya tidak sebanyak di Jawa dan Bali, jumlah penggunaan kondom bisa dibilang cukup tinggi jika dibandingkan dengan jumlah populasinya.

"Lumayan tinggi, karena kesadaran di Papua cukup tinggi. Banyak sekali program masuk di sana, jadi awareness mereka lama-lama meningkat," kata Pierre yang berharap tahun depan bisa mencapai target penjualan 5 persen.

Untuk mencapai harapan tersebut, DKT Indonesia terus berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat perlindungan ganda yang diberikan kondom.

"Kalau kita berhasil (meningkatkan kesadaran), berarti bisa menutup penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dan infeksi menular seksual lainnya tentu saja, itu yang jadi misi utama kita."

Kondom sejak pertama kali masuk di Indonesia tahun 1970an yang dibawa oleh BKKBN, hingga saat ini masih kental dengan stigma negatif. Dianggap sebagai bukti ketidaksetiaan atau berbuat nakal dengan pasangan atau pacar. Padahal bukan masalah itu, seharusnya masyarakat mulai sadar betul pentingnya kondom sebagai dual protection,  sebagai alat kontrasepsi dan juga pelindung dari tertular HIV/AIDS, jadi apa sulitnya melakukan pencegahan, terlebih dengan banyaknya pilihan jenis kondom di pasaran, hubungan seksual bisa dilakukan tanpa perlu waswas tertular penyakit dan tanpa harus meninggalkan kenyamanan dan kesenangan.