Rencana Penghapusan Jaminan Obat Kanker Kolorektal Tuai Kecaman

Ilustrasi obat.
Sumber :
  • pixabay/tlspamg

VIVA – Langkah yang diambil Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belakangan ini yang berencana menghapus penjaminan beberapa jenis obat dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kembali menuai kecaman.

Salah satu yang terbaru adalah rencana penghentian jaminan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terhadap dua obat targeted therapy (terapi target) bagi pasien kanker kolorektal stadium IV (kanker usus besar), yaitu bevacizumab dan cetuximab.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes mengonfirmasi ada rencana penghapusan obat yang selama ini dipakai untuk pengobatan pasien kanker kolorektal benar terjadi.

“Rencana itu ada, tetapi belum disosialisasikan. Saya tidak tahu apakah sudah ditandatangani oleh Ibu Menkes (Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek). Tapi yang saya tahu draft itu sudah ada di Kementerian Kesehatan,” kata Hamid di Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018.

Hamid menyatakan bahwa selama ini obat untuk penanganan kanker kolorektal yang akan dihapus ini terbukti cukup efektif membantu penanganan dan penyembuhan pasien kanker kolorektal.

Oleh karena itu, Hamid menyayangkan rencana untuk menghapus obat kanker kolorektal dari tanggungan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan karena hanya dilatarbelakangi masalah anggaran.

“Belum lama ini saya atas nama perhimpunan mengirimkan surat ke Kemenkes untuk mempertanyakan rencana penghapusan penjaminan obat kanker kolorektal ini. Kami lalu diundang oleh Kemenkes dan kami pun menjelaskan efektivitas obat yang selama ini dipakai untuk menangani pasien kanker kolorektal. Dari sana melihat intinya adalah keberatan dana,” kata Hamid.

Hamid sangat kecewa dengan pendekatan yang dipakai oleh Kemenkes ini. Menurutnya kalau memang keberatan, dana yang melatarbelakangi rencana kebijakan yang akan diambil, jangan justru menggunakan alasan bahwa obat itu tidak efektif.

“Alasan efektivitas itu yang kami complaint. Kita sebagai klinisi harus begitu dalam melihat masalahnya. Jangan menyampaikan informasi yang kurang tepat kepada pasien,” ucap Hamid.

Hamid menjelaskan bahwa obat yang direncanakan tidak lagi ditanggung dalam skema JKN ini hanya efektif untuk kanker kolorektal stadium IV pada grup tertentu, menurut ESMO guideline. Berdasarkan referensi tersebut setidaknya hanya 15-30 persen pasien kanker kolorektal stadium IV yang memerlukan obat yang sedang ramai dibahas ini.

“Sebagai contoh, misalnya dari semua pasien kanker kolorektal stadium IV, 15 persen mempunyai indikasi kuat untuk diberikan terapi target. Apakah yang 15 persen ini mereka yang berhak mendapatkan target terapi mau dihapus? Yang mendapatkan obat itu sedikit dan sangat selektif,” kata Hamid

Dokter bedah itu juga menjelaskan bahwa menghubungkan penanganan pasien kanker kolorektal dengan BPJS Kesehatan defisit kurang tepat. Menurutnya, biaya terapi target untuk kanker kolorektal itu dalam hal defisit anggaran BPJS tidak sampai 1 persen.

Curahan Pasien

Rencana penghapusan obat kanker kolorektal ini pun disayangkan oleh pasien kanker kolorektal yang telah mendapatkan manfaat salah satu obat kanker ini. Nyonya Hong sebagai penyintas kanker kolorektal sangat menyayangkan jika rencana BPJS Kesehatan untuk menghentikan penjaminan tersebut benar-benar dijalankan.

“Saya adalah contoh orang yang pulih dari kanker kolorektal karena ditunjang oleh penangan kesehatan yang tepat dan obat yang bagus,” kata Nyonya Hong.

“Saya melakukan 7 kali kemoterapi selama 7 bulan dan perkembangannya sangat bagus, dan saat ini saya mengonsumsi vitamin yang diberikan dokter dan tidak menjalani kemoterapi lagi karena kondisinya sudah baik,” tambahnya.

Wanita berusia 72 tahun ini menjelaskan bahwa pada tahun 2016, dia menunjukkan gejala yang oleh masyarakat awam dinilai sebagai gejala ambeien. Ternyata setelah diperiksakan dokter yang biasa menangani pasien ambeien, sang dokter mendiagnosis dirinya mengidap tumor di usus besarnya.

“Setelah melakukan cek laboratorium di rumah sakit, hasilnya mengatakan bahwa saya menderita kanker usus besar. Saat itu dokter bilang kankernya ada pada stadium 1,” ujarnya.

Nyonya Hong menceritakan setelah mendapatkan hasil laboratorium, keluarganya langsung mengurus proses operasi. Dia sangat berterima kasih karena hampir semua proses yang dijalaninya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sebagai bukti nyata bahwa kanker kolorektal bisa ditangani.

Wanita yang tinggal di Solo, Jawa Tengah ini sangat sedih ketika mendengarkan rencana bahwa pemerintah akan menghapus obat-obat kanker apalagi yang sudah lama dijamin BPJS Kesehatan.

“Kasihan kalau pasien kanker kolorektal obatnya dihapuskan oleh BPJS Kesehatan. Memang obatnya itu mahal, tapi jelas membunuh sel kankernya,” katanya.

Menurutnya, akan banyak pasien kanker yang menderita karena tidak akan sanggup membayar sendiri sehingga pemerintah harus membantu para pasien kanker dan tidak mencabut obat kanker kolorektal dari BPJS Kesehatan.

“Pemerintah harus bantu kami. Jangan disetop obatnya. Kalau dari keluarga kurang mampu dengan BPJS Kesehatan kan terbantu untuk obat kemoterapinya. Kalau dulu orang bilang kemoterapi itu kan mahal, ternyata dengan BPJS Kesehatan ini kami tidak mengalami mahalnya itu,” katanya.

Rencana tidak ditanggungnya obat kanker kolorektal jenis bevacizumab dan cevaxizumab oleh BPJS Kesehatan juga sangat disayangkan oleh Ketua Makassar Cancer Care Community (MCCC) Nurlina Subari.

“Dalam pengalaman saya sebagai sebagai orang yang berkecimpung di komunitas peduli pasien kanker, saya melihat bahwa obat itu efektif dan sangat dibutuhkan oleh pasien kanker kolorektal,” kata Nurlina.

Atas permasalahan itu, menurut Nurlina, pihaknya sudah berusaha menanyakan pada Kemenkes melalui surat dan sudah mendapat balasannya. Kemenkes menjelaskan, kedua obat itu tidak lagi masuk dalam tanggungan JKN karena menurut analisis dianggap tidak efektif secara pembiayaan.

"Tapi kami menilai itu merugikan pasien karena obat itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan kematian. Kami berharap JKN mengikuti standar pengobatan dokter dan pemerintah membuka akses obat tersebut melalui JKN. Kalau pasien, terutama kalangan tidak mampu harus membayar sendiri, tidak sanggup," ujarnya menambahkan. (rna)