Tren Traveling ke Luar Negeri Ternyata Picu Penyebaran DBD

Pengasapan (fogging) di daerah endemis Deman Berdarah Dengue (DBD)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

VIVA – Penyakit Demam Dengue (DBD) bisa dibilang penyakit langganan di Indonesia. Data Kemenkes 2019 mencatat ada 403 kabupaten dari 33 provinsi melaporkan kasus DBD.

Sejak Januari-Februari 2019, Kemenkes juga menyebut bahwa dari 6.692 kasus di Indonesia, ada 169 orang meninggal dunia karena DBD. Meskipun miris mendengarnya, namun kasus DBD ternyata bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Asia. Diketahui infeksi DBD tahun ini bahkan mencapai titik tertinggi.

Thailand misalnya, negeri gajah putih ini ternyata sudah mengalami epidemi DBD terbesar selama lebih dari dua dekade. Lalu Singapura dan Malaysia, mengalami 2-3 kali lipat kasus DBD dibandingkan tahun lalu.

Endemik DBD ternyata ada di 128 negara, di mana sekitar 4 miliar orang 55 persen populasi di dunia berisiko terinfeksi. Selama lebih dari lima dekade terakhir, insiden DBD juga meningkat 30 kali lipat secara global. Hal itu  menjadikan DBD sebagai penyakit paling mematikan yang ditularkan nyamuk.

Duane Gubler Emiritus, Profesor di Duke-NUS Medical School, Singapura mengatakan, ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap munculnya wabah DBD ini. Namun urbanisasi, globalisasi dan kurangnya pengendalian nyamuk menjadi faktor utama.

“Virus DBD telah sepenuhnya beradaptasi dengan siklus transmisi manusia-Aedes aegypti-manusia, di mana populasi manusia yang padat hidup dalam hubungan erat dengan populasi nyamuk yang sama besarnya, sehingga sulit untuk memerangi DBD,” ujarnya di acara konferensi pers ke-4 Dengue Summit di Double Tree Hilton Jakarta Pusat, Senin, 15 Juli 2019.

Profesor yang juga menjabat sebagai Ketua Global Dengue and Aedes – Transmitted Disease Consortium (GDAC) ini juga menyebut bahwa faktor-faktor eksternal seperti kemampuan penyebaran virus terjadi akibat meningkatnya jumlah 'turis' yang bepergian lintas dunia. Hal itu meyebabkan sulitnya pemberantasan endemi.

Padahal DBD cukup kompleks karena terdapat empat jenis virus dan vektor yang fleksibel sehingga perlu pendekatan yang inklusif dan kolaborasi antar negara.

Sementara itu, Dr Zulkifli Ismail selaku Wakil Ketua ADVA (Asia Dengue Voice & Action) dan Sekretaris Jenderal Asia Pacific Pediatric Assocation mengatakan bahwa koalisi ADVA akan memanfaatkan pengetahuan dan keahilannya dalam mendukung pemerintah di Asia mengatasi DBD. 

“Ketahanan masyarakat, edukasi, advdokasi dan mobilisasi tetap penting untuk terus meningkatkan langkah pengendalian dengan mengembangkan kapasitas dan mengenalkan vaksinasi," katanya. (rna)