Masker N95 Bagus, tapi Ada Kurangnya Juga

Masker N95
Sumber :
  • VIVA / Tasya

VIVA – Asap kebakaran hutan dan lahan di Riau, membuat pemerintah menetapkan kualitas udara dalam status berbahaya. Polusi udara tersebut telah menyebabkan Indeks Standar Pencemar Udara rata-rata di angka 300, pada Kamis 12 September 2019.

Penghitungan ISPU di dua titik, yakni Tenayan Raya dan pusat kota Pekanbaru menunjukkan angka 188 dan 123, atau masuk kategori tidak sehat. Sementara di daerah lain, ISPU menunjukkan angka di atas 300 atau kategori berbahaya.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah, adalah membagikan masker untuk masyarakat agar tetap bisa beraktivitas di luar ruangan. Menggunakan masker atau respirator dapat mengurangi masuknya partikel polusi udara ke dalam saluran napas dan paru. 

Masker yang ideal adalah tipe N95, yang efektif menangkal partikel PM2.5 hingga 95 persen, karena dilengkapi dengan lapisan penyaring khusus. Memakainya harus secara benar, agar fungsi perlindungannya optimal.

Baca juga: Liburan Anti Mainstream di Bali, ke Desa Kutuh Aja

"Masker yang paling efektif, yaitu yang dapat menyaring partikel polusi hingga 95 persen. Cari yang tulisannya N95. Tapi, kalau masker tersebut tidak digunakan secara benar, tak akan efektif juga," ujar Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr dr Agus Dwi Susanto SpP(K) beberapa waktu lalu.

Namun, ada keterbatasan penggunaan masker N95, yaitu rasa tidak nyaman bagi penggunanya, karena pemasangannya harus rapat. Sehingga, penggunaan untuk lanjut usia dan anak-anak tidak disarankan.

"Pakai masker yang sekali pakai, yang idealnya dipakai selama delapan jam. Kalau terlalu lama dipakai, bisa bahaya, karena partikel polusi menempel di masker lalu makin menumpuk," tuturnya.

Lantas, bagaimana jika masker yang digunakan bukan tipe N95? Agus tetap memperbolehkan, meski kemampuan saringnya hanya mencapai 30-50 persen.

"Lebih baik pakai masker, setidaknya bisa menyaring partikel udara yang buruk. Daripada tidak pakai masker sama sekali," jelasnya.