Pasien Hipertensi Harus Konsumsi Obat Seumur Hidup, Benarkah?

Ilustrasi hipertensi.
Sumber :
  • Pixabay/rawpixel

VIVA – Hipertensi hingga kini masih menjadi salah satu penyakit dengan tingkat prevalensi tertinggi di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar dari Kementerian Kesehatan RI (2018), prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 34,1 persen dari populasi usia dewasa dan menjadi penyebab utama gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah.

“Hipertensi merupakan penyebab kematian (mortality) dan kesakitan (morbidity) terbanyak di seluruh dunia, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara yang sudah maju," kata Ketua Umum InaSH, dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, dalam acara OMRON - InaSH Media Briefing, di Fairmont Hotel, Jakarta, Kamis, 19 September 2019.

Oleh karena itu, lanjut Tunggul, perlu upaya Gerakan Peduli Hipertensi (GPH) sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) dalam upaya pencegahan. Sayangnya, kesadaran masyarakat mengenai pencegahan dan pengobatan hipertensi masih sangat rendah.

Baca juga: Stres saat Hamil Picu Anak Temperamental, Ini Trik Mengatasinya

Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi pengobatan dan perawatan dari pasien hipertensi. Di masyarakat juga ada anggapan bahwa penderita hipertensi harus mengonsumsi obat seumur hidupnya. Benarkah?

"Hipertensi kalau seorang sudah terkena pengobatan memang harus seumur hidup. Cuma yang ingin saya sampaikan tidak semua hipertensi harus minum obat," ungkap Anggota Dewan Pembina dan Badan Pengawas InaSH, Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S. 

Untuk penderita hipertensi dengan grade awal, hal yang pertama kali dianjurkan ialah untuk melakukan perubahan pola hidup terlebih dahulu. Sedangkan untuk obat, baru akan diberikan ketika dinilai perubahan pola hidup masih kurang efektif.

Selain itu, di masyarakat juga ada anggapan bahwa mereka yang menjalani pengobatan cenderung akan mengalami kecanduan obat. Namun menurut Yuda, hal itu tidak tepat dan pola pikir yang demikian mesti diubah.

"Ini bukan kecanduan obat tapi ini kebutuhan, saya sering sampaikan sama seperti kencing manis, kita sebenarnya sulit membandingkan antara efek samping obat dan tidak minum obatnya, yang pasti obat hipertensi tidak menyebabkan gagal ginjal, tetapi kalau hipertensi memang menyebabkan gagal ginjal," kata Yuda.

Yuda juga menyampaikan bahwa saat ini ada paradigma baru dalam tatakelola hipertensi yang meliputi diagnosis, klasifikasi, pilihan obat-obatan dan target tekanan darah yang harus dicapai, yang telah disarikan dari berbagai panduan tentang hipertensi yang ada. 

Diagnosis hipertensi tidak lagi hanya didasarkan atas pengukuran tekanan darah di rumah sakit atau klinik praktik dokter, yang disebut dengan ‘Office Blood Pressure’. Tapi, dianjurkan untuk melakukan pengukuran tekanan darah di rumah atau disebut ‘Out of Office Blood Pressure’ di mana CERAMAH (Cek Tekanan Darah di Rumah) termasuk dalam kategori ini.

Kepatuhan makan obat dan perhatian atas kesehatan diri sendiri juga diharapkan akan meningkat dengan cara ini. Sehingga pencapaian target tekanan darah juga akan lebih mudah tercapai. Dampaknya, kerusakan organ vital seperti jantung, syaraf, ginjal, dan pembuluh darah, dapat dihindari.