Peneliti Sebut Kecanduan Belanja Sebagai Gangguan Mental

Ilustrasi belanja.
Sumber :
  • Freepik/rawpixel.com

VIVA – Membeli sesuatu barang di online shop di luar kendali ternyata bukan hanya karena kurangnya kontrol diri. Peneliti menyebut bahwa kecanduan belanja, atau dikenal sebagai "oniomania" atau "gangguan pembelian kompulsif" (CBD),  diakui sebagai penyakit mental.

Pernyataan ini dibuat setelah studi terbaru yang dilakukan oleh Sekolah Kedokteran Hannover. Studi itu mengungkapkan, hingga 7 persen orang dewasa menunjukkan beberapa bentuk masalah pembelian kompulsif, dengan jumlah di Amerika dan Eropa meningkat dalam dua dekade terakhir.

Profesor Astrid Mueller, seorang psikolog klinis dengan minat khusus dalam kecanduan di Hannover Medical School, Jerman, mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih besar dan pengakuan betapa berbahayanya kondisi tersebut.

"Sudah waktunya untuk mengenali gangguan belanja kompulsif sebagai kondisi kesehatan mental yang terpisah, yang akan membantu kami mengembangkan perawatan dan metode diagnosis yang lebih baik," katanya seperti dilansir The Independent.

Profesor Mark Griffiths, profesor kecanduan perilaku di Nottingham Trend University, setuju dengan hal tersebut. Ia menambahkan, sekarang ada bukti bagus bahwa sejumlah kecil orang terlibat dalam pembelian kompulsif.

“Walaupun ada bukti dari banyak negara bahwa gangguan tersebut ada, kualitas penelitiannya sangat bervariasi dan penelitian yang lebih berkualitas dan studi klinis perlu dilakukan sebelum dapat diberikan diagnosis resmi sebagai gangguan mental," kata Mark. 

Bisa dibilang, satu jenis pembelian kompulsif (yaitu gangguan judi) sudah diakui dan diterima sebagai gangguan mental oleh sebagian besar otoritas medis dan psikiatris arus utama. Sehingga, ada peluang bagus bahwa pembelian kompulsif yang lebih umum dapat dikenali di masa depan.

Menurut PsychGuides, mereka yang menderita kondisi tersebut sering menggambarkan keinginan yang meningkat untuk menghabiskan atau kegelisahan yang hanya dapat diredakan dengan melakukan pembelian. Mereka juga dapat menggunakan belanja sebagai cara untuk mengatasi emosi negatif dan berusaha keras untuk menyembunyikan pembelian mereka dari orang yang dicintai.

Gangguan ini dapat berkembang terlepas dari pendapatan dan barang yang dibeli oleh pembeli kompulsif tidak selalu mahal. Namun, banyak pembeli kompulsif membeli dalam jumlah banyak, dan banyak yang mengaku membeli produk ‘karena itu murah’.

Seruan agar kecanduan belanja diakui sebagai penyakit mental datang hanya beberapa minggu setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bermain video game secara obsesif sebagai kondisi kesehatan mental resmi.

Dr Shekhar Saxena, direktur departemen WHO untuk kesehatan mental dan penyalahgunaan zat mengatakan, organisasinya menerima proposal bahwa gangguan permainan harus didaftar sebagai masalah baru berdasarkan bukti ilmiah, di samping ‘kebutuhan dan permintaan untuk perawatan di banyak bagian dari dunia’.