Apa Itu Emotional Eating dan Hubungannya dengan Stres?

Ilustrasi makan.
Sumber :
  • Pixabay/bohed

VIVA – Faktor tekanan atau stres adalah hal yang kerap terjadi, terutama di kota-kota besar. Tidak heran jika berbagai macam cara dilakukan masyarakat untuk menghadapi stres, salah satunya adalah mengonsumsi makanan atau minuman yang dianggap sebagai comfort food.

Tanpa disadari, kebiasaan tersebut dapat memicu emotional eating, yang jika tidak dikendalikan dapat meningkatkan asupan gula garam lemak (GGL) yang mampu memicu penyakit tidak menular.

Menurut psikolog yang sering menangani stres emotional eating, Tara de Thouars, BA, M.Psi menyebut bahwa masalah emotional eating lebih besar dialami oleh wanita dibanding pria.

"30 persen perempuan dan 24 persen laki-laki yang datang ke klinik bahwa mereka ketika stres mengatasinya dengan makan. Meski kebanyakan perempuan yang datang, tapi laki-laki juga sekarang sudah mulai terbuka," kata dia di Blue Jasmine, Jakarta, Selasa, 18 Desember 2018.

Dia pun menjelaskan asal muasal terjadinya emotional eating pada setiap orang. Yang mana ketika fisik seseorang mengalami stres, terjadi perubahan kimiawi di otak.

"Di otak ada dua (hormon) yang memiliki peranan besar untuk mengatur mood kita, yakni dopamin dan serotonin. Saat stres, dua (hormon) ini turun, jadinya mood enggak oke, enggak happy, jadi malas ngapa-ngapain," ujarnya.

Di sisi lain, setiap orang, kata dia, secara psikologis memiliki insting jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, mereka akan berbuat sesuatu untuk mengubahnya menjadi seimbang.

"Biasanya gerak, cari sesuatu untuk buat seimbang. Kadang mereka carinya makanan buat itu," ucapnya.

"Jadi apa sih hubungan stres dengan makanan? Ada beberapa penelitian, makanan high fat, high calorie dan high sugar bisa meningkatkan serotonin dan dopamin. Secara psikologis makan enak bisa turunkan stres," ujarnya menambahkan.