Terlalu Stres Belajar Picu Anak Berani Lawan Orangtua dan Guru

Ilustrasi anak.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kekerasan anak masih mencatat angka yang sangat tinggi. Terutama di bidang pendidikan formal. Psikolog dan pemerhati anak Seto Mulyadi mengungkap, dari berbagai seminar dan pelatihan yang ia datangi, sebagian besar guru dan orangtua mengeluhkan mengenai kurikulum yang terlalu padat.

"Anak sekolah sekarang bukan lagi bawa tas tapi bawa koper, bawaannya banyak sekali, pulang sekolah sore, sampai di rumah masih harus kerjakan PR, anak jadi teler tidak ada waktu lagi buat bermain," ujar Seto saat media talk di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, Jumat, 15 Maret 2019.

Hal ini membuat anak menjadi stres, belajar tidak nyaman, pada akhirnya menimbulkan pemberontakan dalam diri anak. Tidak heran kasus bullying menjadi tinggi.

Seto melanjutkan, menurut sebuah penelitian yang dilakukan seorang kandidat doktoral Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menyebut bahwa di Provinsi Jawa Barat, 60-70 persen SD mengalami bullying. Namun, diduga angkanya masih lebih tinggi lagi termasuk di Jakarta.

Seringkali juga terjadi pembiaran oleh guru, Dinas Pendidikan, maupun orangtua terhadap kasus bullying. Ini membuat anak dilanggar haknya dalam pendidikan sehingga anak tidak bisa menciptakan prestasi yang gemilang.

Apalagi, anak juga banyak mengalami diskriminasi dalam hal kecerdasan. Hanya anak-anak yang pandai matematika atau biologi yang dianggap cerdas, sementara anak yang pandai menyanyi, menggambar, olahraga, tidak dianggap cerdas.

"Anak disudutkan oleh kecerdasan bidang akademik saja sehingga terjadi diskriminasi. Banyak anak yang akhirnya frustasi hingga lari ke narkoba, seks bebas, melawan guru, atau orangtua di rumah," imbuh Seto. (tsy)