Anak Jadi Korban Bullying, Apa yang Harus Dilakukan?

Ilustrasi anak menangis
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kasus perundungan atau bullying di Indonesia sepertinya tidak pernah ada habisnya. Baik dilakukan oleh siswa kepada gurunya maupun siswa dengan siswa. Kemarin, masyarakat Indonesia secara beramai-ramai menyerukan tagar #JusticeforAudrey.

Tagar ini ramai di jagat Twitter setelah muncul kabar seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pontianak, Kalimantan Barat diduga dianiaya oleh 12 orang siswi SMP. Kasus ini membuat sang korban, Audrey harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Masyarakat kemudian geram dengan tindakan 12 orang siswa tersebut. Bagaimana tidak, mereka secara beramai-ramai melakukan tindakan penganiayaan kepada satu orang. Psikolog anak dan Remaja, Monica Sulistyawati yang dihubungi VIVA menyebut bahwa dampak dari bullying ini bisa menimbulkan depresi hingga timbul keinginan untuk bunuh diri.

“Dampak bullying terhadap korban sangat beragam mulai dari rasa sedih, kehilangan rasa percaya diri, kehilangan minat untuk sekolah, hingga depresi dan timbul keinginan untuk bunuh diri,” kata dia.

Selain itu, dia melanjutkan, anak yang menjadi korban bullying juga berisiko mengalami PTSD atau posttraumatic stress syndrome. Pada beberapa kasus, bullying juga dapat menimbulkan kebencian pada si korban hingga kemudian memicu terjadinya balas dendam.

Agar dampak yang ditimbulkan tidak berkepanjangan, tentu korban perlu mendapatkan penanganan baik secara fisik (jika bullying-nya berbentuk fisik dan menimbulkan luka fisik) maupun psikologis.

Adapun yang dapat dilakukan orangtua jika mengetahui anaknya menjadi korban bullying antara lain menunjukkan sifat empati. Salah satu caranya adalah dengan mendengarkan keluhan dan perasaan si anak.

“Jangan menyepelekan apa yang dialami anak dengan mengatakan, misalnya, ‘Masa begitu saja kamu takut’,” jelas dia.

Kedua, berikan afeksi dan perhatian lebih dari biasanya. Hal ini sangat bermanfaat agar si anak tahu ia tidak sendiri.

“Ada orangtua yang siap membantu dirinya dan mencintai dirinya apa adanya. Dengan demikian, rasa percaya diri anak akan tumbuh kembali bahkan meningkat. Anak pun mampu bangkit dari keterpurukannya,” kata dia.

Ketiga, jadilah pendengar yang baik untuk anak. Dan keempat, jika diperlukan, fasilitasi dan berikan dukungan pada anak untuk menjalani intervensi psikologis.

Di sisi lain, jika orangtua mengetahui anaknya terlibat sebagai pelaku bullying, maka hal pertama yang perlu dilakukan orangtua adalah melakukan introspeksi diri dan tidak semata-mata menyalahkan atau menghukum si anak.

Hal ini dikarenakan, umumnya penyebab timbulnya perilaku bullying adalah karena faktor di dalam keluarga, yakni adanya hubungan yang tidak sehat antara orangtua dengan anak. Misalnya, kata dia, orangtua kurang memberi perhatian pada anak, sering melakukan kekerasan di hadapan anak, terlalu dominan dan otoriter dan lain sebagainya.

“Introspeksi diri ini penting dilakukan agar penyebab utama terbentuknya perilaku bullying dapat diketahui dan dapat segera ditangani sehingga perilaku si pelaku tidak semakin parah,” ucap Monica.

Dia melanjutkan, orangtua dan anak kemudian dapat melakukan proses konseling dan rekonsiliasi agar orangtua semakin memahami kebutuhan anak dan anak semakin memahami apa yang diharapkan orangtua darinya.

“Orangtua juga perlu mendukung dan mencarikan pertolongan bagi si anak agar mampu mengubah perilaku buruknya dan membentuk keterampilan sosial yang lebih baik lagi,” jelas dia. (ldp)