Moms, Ini Tips Ajak Ngobrol Anak Remaja yang Sensian

Ilustrasi remaja
Sumber :
  • Pixabay/ wokandapix

VIVA – Membangun komunikasi antara orangtua dengan anak usia remaja, seringkali dianggap bukanlah hal yang mudah. Anak usia remaja 12 hingga 18 tahun, umumnya akan mengalami perubahan baik fisik maupun psikis, serta perubahan lain.

Perubahan tersebut di antaranya pemahaman tentang diri sendiri, pembentukan identitas diri, emosi mudah berubah, dan persiapan masa dewasa yang ditandai dengan mulai merasakan akan pentingnya sebuah pencapaian dan penempatan peran dalam lingkungan sosial.

Pada umumnya remaja memiliki keingintahuan yang besar, namun belum mampu untuk memilih antara keinginan dan kebutuhan, dan ketika pilihan yang mereka tentukan tidak mendapat dukungan dari orangtua atau orang di sekitarnya, mereka merasa dunia seolah menentang dan tidak mengerti dengan kemauannya, apalagi saat mereka juga menghadapi berbagai tuntutan dari orangtua dan lingkungan sosialnya.

Kondisi ini dapat membuat mereka cepat merasa jenuh, frustasi, stres, dan bisa memengaruhi perilakunya seperti, masuk ke dalam pergaulan yang kurang baik atau dorongan untuk melakukan tindakan kekerasan, merokok, mengonsumsi alkohol, narkoba dan seks bebas.

Lewat rilis yang diterima VIVA, Psikolog, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., mengatakan bahwa orangtua memiliki andil besar ketika anak-anak mulai memasuki masa remaja agar anak tidak mudah terjerumus ke hal atau tindakan yang tidak diinginkan.

Hal ini sempat disampaikannya dalam acara sharing session yang diselenggarakan oleh EF English First bertajuk Kiat Sukses Berkomunikasi dengan Remaja, di SOS Childrens Villages beberapa waktu lalu.

Pada kesempatan yang sama, Cinthya, Marketing Manager EF English First mengatakan kegiatan ini merupakan komitmen EF untuk memberikan lebih banyak manfaat kepada masyarakat melalui pendidikan, dan acara tersebut merupakan rangkaian dari program EF Mobile yang telah diluncurkan pada 11 Juli lalu di SOS Childrens Villages Cibubur Jakarta.

“Topik dan materi yang diberikan, disusun berdasarkan kebutuhan orangtua asuh di SOS yang disampaikannya melalui tanya jawab kami dengan ibu-ibu asuh di sini. Sebagai orangtua, mereka ingin tahu bagaimana cara untuk menghadapi anak-anak mereka, terutama yang sudah menginjak masa remaja."

Selain itu, mereka juga ingin membekali diri dengan lebih banyak lagi pengetahuan seputar pola asuh, untuk dapat memberikan yang terbaik bagi anak dan menjadikan mereka anak-anak yang mandiri.

Nah, untuk para orangtua, hal utama yang perlu dipahami sesungguhnya adalah bagaimana proses tumbuh kembang anak saat memasuki usia remaja. Ada perbedaan antara otak remaja (teen brain) dengan otak orang dewasa (adult brain), terutama pada perkembangan prefrontal cortex atau otak bagian depan yang berfungsi dalam pengambilan keputusan, menimbang baik dan buruk serta memilah tindakan yang tepat.

Prefrontal cortex pada orang dewasa telah berfungsi optimal sehingga mampu menentukan mana yang baik dan benar atau melakukan pertimbangan yang matang sebelum bertindak. Pada remaja, bagian otak ini masih dalam proses perkembangan sehingga belum berfungsi dengan maksimal. Proses ini akan berlangsung hingga individu mencapai usia 20-25 tahun. Selama bagian ini belum berfungsi ideal, perilaku remaja akan lebih banyak dipengaruhi oleh emosi.

Berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membangun komunikasi yang positif dengan anak remajanya, terutama dalam situasi dan kondisi ketika anak berperilaku tidak menyenangkan atau tidak diharapkan oleh orangtua.

Mendengar aktif

Cara ini bisa dilakukan dengan duduk berdekatan dan sejajar dengan anak, tatap mata atau wajahnya, dengarkan tanpa menyela, tahan nasihat, dan tangkap emosi yang terlihat atau terdengar dari anak. Lalu tunjukkan bahwa kita memahami emosi yang anak rasakan. Dengan demikian anak akan merasa diterima dan dihargai emosinya. Anak yang merasa dihargai akan lebih mudah didekati dan diarahkan nantinya.

I message atau Pesan Saya

Saat menghadapi perilaku anak yang membuat kesal atau emosi, hindari “You message” atau kalimat dengan subjek Kamu”, diikuti dengan kata-kata yang menggeneralisasi misalnya, "Kamu tuh ya, gak pernah mau dengar kata Ibu!” atau "Kamu selalu saja mengulangi kesalahan!” Kata-kata seperti ini, bisa membuat anak merasa diserang dan tidak diberikan kesempatan untuk menunjukkan perubahan, yang pada akhirnya membuat mereka jadi malas untuk berubah. Cobalah untuk menggunakan “I message yang diawali dengan “Saya (orangtua) + Perasaan Saya (utarakan perasaan Anda) + Perilaku Anak”, misalnya, "Ibu sedih, kamu tidak mau mendengarkan kata-kata Ibu!" atau "Ayah kecewa kamu mengulangi lagi kesalahan yang sama!”

Nah, cara ini bisa diterima lebih baik oleh anak karena membuat mereka jadi tahu apa yang dirasakan oleh orangtuanya atau orang lain, sehingga mereka lebih terbuka, mudah untuk diajak bicara, diskusi, dan bekerja sama.

Self Care

Ketika berada dalam situasi atau kondisi yang memicu emosi, orangtua juga perlu melakukan beberapa cara sederhana seperti pernapasan kotak (tarik dan buang napas perlahan sambil membayangkan membuat bentuk kotak), orientasi panca indera (fokus pada apa yang Anda lihat atau dengar saat ini dan seterusnya), atau coba pertemukan ujung jari tangan kanan dengan kiri lalu rasakan denyutan di setiap ujung jari. Lakukan berulang, hingga emosi atau rasa tidak nyaman dalam diri terus berkurang dan hilang.

Dengan cara ini, kita dapat menenangkan emosi kita sendiri, sehingga kita dapat berpikir lebih jernih, dan bisa melakukan pendekatan yang lebih baik kepada anak. (nsa)