Cara dan Waktu yang Tepat Bayar Dam

Kambing di Pasar Kakiyah, Mekah, Arab Saudi, Sabtu, 4 Agustus 2018.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Beno Junianto

VIVA – Jemaah haji Indonesia, umumnya melaksanakan ibadah haji dengan cara haji tamattu. Yaitu, dengan cara melaksanakan umrah terlebih dulu, kemudian tahalul. Cara berhaji seperti ini, punya konsekuensi secara hukum fikih, yakni membayar dam atau denda.

Lantas, kapan waktu yang tepat membayar dam?

Konsultan Ibadah PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi Daerah Kerja Mekah, KH Ahmad Wazir menjelaskan, sebagian ulama ada yang mengatakan pembayaran dam haji tamattu sudah bisa dilakukan sepanjang sudah selesai mengerjakan umrah tamattu-nya.

"Tinggal teknik, bisa langsung menyembelih sendiri dengan cara membeli di pasar kambing dan menyaksikan langsung, itu pertama. Ada sisi positif dan negatifnya," kata Kiai Wazir kepada MCH, Jumat, 20 Juli 2019.

Sisi positif dengan langsung membeli kambing adalah langsung mengetahui bahwa dam itu sudah terlaksana. Tetapi, sisi negatifnya, manfaat dari apa yang telah disembelih itu. 

Apabila, kambing setelah disembelih itu bisa dipastikan langsung dibagikan kepada fakir miskin di sekitar Tanah Haram, kata Kiai Wazir, itu cara yang paling aman. Namun, terkadang, setelah membeli dan menyembelih di pasar kambing, dagingnya malah diserahkan kepada penjualnya. 

"Itu berarti kembali lagi ke penjual. Meskipun kita husnuzon (prasangka baik) bahwa daging itu akan diberikan kepada tetangga fuqoro wal masakin, tetapi ada juga daging itu yang diambil oleh penjual. Itu yang perlu kehati-hatian," ujarnya.

Cara kedua, uang untuk membayar dam diserahkan kepada Kelombok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang memang diyakini oleh jemaah, secara ketentuan fikih, mereka mampu melaksanakannya. 

Ketiga, dititipkan kepada mukimin Mekah. Menurut Kiai Wazir, mukimin ini juga harus dipastikan mengerti tentang hukum, sehingga daging kambing membayar dam ini sampai ke fakir miskin sesuai ketentuan fikih.

"Ketika sampai ke mukimin yang tak tahu hukum, antisipasi kita, jangan-jangan, kita tidak suudzon, jangan-jangan menurut informasi, koleksi dari kambing atau dam itu, karena dia bisa memberikan harga termurah, nanti dibelikan pada saat musim-musimnya kambing murah," terang Wakil Pengasuh Pesantren Denayar Jombang ini.

"Berarti, itu dilakukan di luar musim haji. Nah, itu melanggar ketentuan fikih," tambahnya. 

Keempat, lanjut Kiai Wazir, yang lebih aman dari sisi fikih, yaitu dengan membayarkan dam ke Bank Ar Rajhi. Sebab, bank ini merupakan lembaga resmi Pemerintah Arab Saudi yang biasa mengelola dam jemaah haji.

Di samping itu, Ar Rajhi juga diketahui memiliki tim lajnah untuk memverifikasi kesehatan dan kelayakan kambing, tim khusus dari sisi penyembelihan sampai pada distribusinya kepada fakir miskin. "Hanya persoalannya, harga lebih tinggi. Masyarakat kita kan, pokoknya yang murah," ungkapnya.

Nah, bagi Kiai Wazir, membayar dam ini memiliki makna secara filosofis, di mana Rasulullah pernah membayar dam dengan menyembelih 100 ekor unta. Dalam suatu riwayat, Nabi menyembelih sendiri dengan tangannya sebanyak 63 ekor, sesuai usianya saat itu. Sedangkan sisanya, disembelih Sayidina Ali bin Abi Thalib. 

"Maknanya, Rasululah ingin mengajar umatnya bahwa kecintaan terhadap ibadah dan Allah, melebih cinta beliau terhadap harta. Ini semua dipersembahkan untuk Allah. Ini diberikan pada Tanah Haram, hakikatnya menyembelih binatang untuk dipersembahkan untuk Allah," tegasnya. (asp)