Arisan Haji, Haram atau Halal?

Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin meninjau tenda-tenda jemaah haji di Arafah.
Sumber :
  • Darmawan/ MCH 2019.

VIVA – Salah satu syarat haji adalah mampu, baik secara fisik maupun keuangan. Karenanya, tidak sedikit jemaah haji yang menabung bertahun-tahun, menyisihkan penghasilannya, untuk menjalankan rukun Islam kelima ini. Namun ada juga dengan cara menggelar arisan. Arisan haji, namanya.

Nah, apakah arisan haji dibenarkan dalam sistem syariah? Sebab tidak sedikit yang menganggap halal, ada juga yang menilainya haram. Halal atau haramnya arisan haji ini sebetulnya, menurut Ensiklopesia Fikih Indonesia 6: Haji dan Umrah, tergantung dari kesepakatannya.

Dalam ensiklopedia yang ditulis Ahmad Sarwat LC., M.A ini, arisan haji akan haram hukumnya jika yang menang arisan nilainya berubah-ubah setiap tahun. Perubahan ini kemungkinan disesuaikan dengan biaya perjalanan haji yang setiap tahun memang berubah.

Letak haramnya karena di dalamnya terjadi unsur ketidakpastian nilai bagi yang menang, sehingga tidak ada bedanya dengan berjudi. Ahmad Sarwat mengilustrasikan, misal, jumlah peserta ada sepuluh orang. Tiap tahun masing-masing mengumpulkan uang yang nilainya setara dengan tarif haji yang berlaku untuk tahun itu.

Orang yang pertama menerima arisan, diperkirakan akan mendapat nilai yang lebih kecil dibandingkan yang menerima di akhir  putaran. Bisa jadi ketika orang pertama mendapat Rp25 juta, dengan asusmsi kenaikan haji setiap tahun sebesar Rp1 juta, maka yang terakhir menerima arisan akan mendapat Rp35 juta. Ada selisih Rp10 juta dari penerima pertama dan terakhir. Perubahan ini tentu berpengaruh pada nilai uang setoran tiap tahunnya  yang harus ditanggung peserta, sehingga tidak dibenarkan dalam sistem syariah.

Bentuk arisan haji yang dibenarkan adalah bila nilai hadiah yang didapat setiap tahunnya tidak berubah. Jika nilai di tahun pertama Rp25 juta, maka hingga tahun kesepuluh pun nilainya harus Rp25 juta meski biaya haji berubah dan bertambah.

Tambahan biaya haji bisa dipenuhi secara pribadi oleh pihak penerima di tahun-tahun berikutnya. Sehingga hal ini masih dibenarkan secara syariah.