Badal Haji Menurut Empat Mazhab

Pantauan tenda-tenda jemaah haji usai hujan mengguyur kawasan Mina, Arab Saudi
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Sebanyak 230 jemaah haji asal Indonesia dibadalkan pada pelaksanaan puncak haji di Padang Arafah, Sabtu 10 Agustus 2019 atau 9 Dzulhijah 1440 Hijriyah lalu. Sebanyak 111 jemaah digantikan karena wafat, dan 119 jemaah lainnya badal haji disebabkan sakit. Sementara yang menjalani safari wukuf ada 65 orang.

Badal secara harafiah berarti pengganti atau wakil. Jadi badal haji sama juga dengan mewakili seseorang berhaji dengan ketentuan orang yang mewakili harus sudah lebih dulu melaksanakan ibadah haji secara sempurna.

Dalam istilah haji, orang yang menghajikan orang lain disebut mubdil. Badal dapat dilakukan berdasarkan beberapa dalil dan rujukan riwayat. Namun beberapa ulama berbeda pendapat tentang hukum badal haji. 

Dikutip dari Ensiklopedia Fikih Indonesia 6: Haji dan Umrah, jumhur ulama, di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafii'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat berhaji untuk orang lain hukumnya dibenarkan dan disyariatkan. Sedangkan Mazhab Al-Malikiyah berbeda dengan yang lain, bahwa badal haji bukan sesuatu yang masyru'.

Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab ini mengatakan, orang sakit atau yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji, namun memiliki harta, maka wajib membayar orang lain untuk menghajikannya. Apabila sakitnya sulit disembuhkan ia wajib meninggalkan wasiat untuk dihajikan.

Mazhab Al-Malikiyah
Menghajikan orang yang masih hidup menurut mazhab ini tidak diperbolehkan. Namun untuk yang telah meninggal dunia sah menghajikannya asalkan ia meninggalkan wasiatnya dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan.

Mazhab Asy-Syafi'iyah
Boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi. Pertama, untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan haji karena tua dan sakit. Jika memiliki harta ia wajib membiayai haji orang lain.

Kedua, orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ada, kalau ada.

Ulama Syafi’i dan Hanbali melihat kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam yaitu kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, mereka yang secara fisik tidak mampu namun secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.

Lalu bolehkah orang yang berhaji untuk orang lain meminta upah tertentu? Meski Mazhab Al-Hanafiyah membolehkan badal haji, namun ulama generasi awal mazhab ini memandang upah bagi mereka tidak dibenarkan. Alasannya, haji bukan merupakan ajang bisnis.

Namun Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah membolehkan seseorang meminta upah atas haji yang dikerjakannya untuk orang lain.