Khutbah Wukuf: Menggapai Mabrur di Arafah

Jemaah haji RI jelang khotbah wukuf di Arafah
Sumber :
  • Beno J/VIVA.co.id

VIVA – Lebih dua juta umat muslim di dunia saat ini tengah melaksanakan puncak haji, yakni wukuf di Padang Arafah. Kepada muslim Indonesia yang menjadi bagian ritual haji tahun ini di tanah suci, Naib Amirul Hajj KH A Bunyamin Ruhiyat dalam khutbah wukufnya mengingatkan kembali soal teladan Nabi Ibrahim AS dan meraih kemabruran dalam ibadah haji.

Naib Amirul Hajj di Arafah, Sabtu 10 Agustus 2019 (9 Zulhijah 1440 Hijriyah), menuturkan, wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun haji. Tidak hanya membanggakan umat Islam yang berkumpul di Arafah kepada para malaikat, Allah juga akan mengabulkan segala permohonan yang dipanjatkan dengan penuh keikhlasan saat wukuf.

Haji, menurutnya, merupakan panggilan Allah SWT melalui Ibrahim AS. Karenanya, selama melaksanakan ibadah haji dianjurkan, bahkan diperintahkan, untuk memperbanyak dzikir, mengingat Allah SWT. Sebab dzikir merupakan media efektif untuk menjalin komunikasi dengan Allah SWT.

"Dalam dzikir kita akan menemukan ketenangan dan kedamaian. Karenanya, manfaatkan keberadaan di tempat­-tempat dan waktu­-waktu mustajab untuk berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan diri, keluarga, bangsa dan negara," katanya.

Menggapai Mabrur

Bunyamin menuturkan, setiap yang berhaji tentunya mendambakan ibadah haji yang dilaksanakannya mabrur, diterima Allah, sebab seperti dinyatakan dalam hadis sahih yang diriwayatkan HR Ahmad: Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.

Bagaimana cara mendapatkannya? Sejumlah ulama menjelaskannya dalam berbagai cara.

Pertama, niat melaksanakannya karena Allah. Ini sebagaimana firman Allah, yakni: Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan lbadah ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana (QS. Ali Imran: 97).

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (QS. Al­ Baqarah: 196).

Kedua ayat itu, menurut Bunyamin, menegaskan sebagai sebuah kewajiban, ibadah haji yang sempurna harus dilakukan hanya karena Allah SWT. Meski dalam berhaji diperkenankan melakukan aktivitas lain, seperti berdagang atau mencari manfaat dunia lainnya, tetapi tujuan utama berhaji adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridaan­Nya. Bukan tujuan-tujuan duniawi semata.

Kedua, biaya haji bersumber dari yang halal. Ini sebagaimana sabda Rasulullah:

Apabila seseorang pergi berhaji dengan biaya yang bersumber dari yang baik, meletakkan kakinya dalam kendaraan, lalu membaca talbiyah, seseorang akan memanggilnya dari arah langit, "aku terima panggilanmu dan berbahagialah, bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur, serta tidak berdosa". Bila ia melakukannya dengan biaya yang bersumber dari yang tidak baik, meletakkan kakinya di kendaraan, lalu berkata, "labbayka", ada suara panggilan dari arah langit, "la labbayka wala sa 'dayka" (anda tertolak), bekalmu haram, biaya yang kamu gunakan haram, dan hajimu tidak mabrur" (HR. Al­Thabrani dari Abu Hurairah).

Ketiga, melaksanakannya sesuai dengan syariat Rasulullah SAW. Ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim. Sebab Ibrahim AS yang pertama kali diperintahkan berhaji dengan tata cara (manasik) yang ditetapkan Allah. Namun dalam perjalanannya, ibadah haji mengalami banyak penyimpangan. Sampai pada akhirnya Allah mengutus Nabi Muhammad SAW.

"Untuk meluruskan dan menyempurnakan kembali ibadah haji. Oleh karenanya, dalam berhaji kita harus mencontoh cara haji Rasulullah dan para sahabatnya serta amalan al-salaf al-shalih yang mengikuti ajarannya," kata Bunyamin.

Sebab Rasulullah berpesan: Ambillah tatacara pelaksanaan ibadah haji (manasik) dariku.

"Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan agar haji yang kita laksanakan  menjadi mabrur. Tidak seorang pun tahu secara pasti, apakah mabrur atau tidak hajinya. ltu prerogatif Allah. Kita hanya bisa mengenali kemabruran haji melalui tanda­-tandanya," kata Bunyamin.

Tanda-tanda Mabrur

Bagaimanakah tanda-tanda haji mabrur? Ketika ditanya soal ini, menurut Bunyamin, Rasulullah SAW menjawab dengan dua hal; (memberi makan orang miskin) sebagai simbol kepedulian, dan menebar salam sebagai simbol kedamaian.

"Karena itu, bila ingin mendapat haji mabrur dengan balasan surga, maka wujudkan kepedulian sosial, dan tebarkan kedamaian di tengah masyarakat setelah kembali ke tanah air. Kita berharap, sekembali ke tanah air, para jamaah haji dapat menjadi duta perdamaian dan kepedulian, yang akan melakukan perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik," kata Bunyamin.