Masa Tinggal Jemaah Haji di Arab Saudi Dipangkas 30 Hari, Mungkinkah?

Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin mengunjungi kamar hotel jemaah haji
Sumber :
  • MCH2019

VIVA – Jumlah kuota jemaah haji Indonesia menjadi terbesar dalam penyelenggaraan haji tahun 2019 di Arab Saudi. Seperti diketahui, Indonesia pada tahun 2019 ini mendapat tambahan kuota 10.000 jemaah dari kuota normal 221.000 jemaah. Dengan demikian, total jemaah haji tahun 2019 mencapai 231.000.

Dengan jumlah jemaah yang terbesar di dunia, pemerintah Indonesia menyewa 173 hotel di Mekah dan 110 hotel di Madinah. Untuk di Mekah, hotel tersebar di 11 sektor di wilayah Mekah, sedangkan hotel di Madinah berada di sekitaran Masjid Nabawi.

Banyaknya jumlah jemaah haji Indonesia per tahunnya, mempengaruhi masa tinggal jemaah selama di Tanah Suci. Untuk gelombang pertama, periode keberangkatan pada 6-19 Juli 2019, mendarat di Madinah. Sedangkan gelombang kedua, periode keberangkatan 20 Juli-5 Agustus 2019, mendarat di Jeddah.

Untuk masa tinggal jemaah haji Indonesia di Madinah 8-9 hari (ibadah Arbain), kemudian masa tinggal jemaah di Mekah 25 hari, dan pada puncak haji di Arafah, Muzdalifah, Mina 5 hari. Rata-rata masa tinggal jemaah di Tanah Suci 39-40 hari. 

Masa tinggal yang cukup lama ini dinilai cukup melelahkan jemaah haji. Karenanya, wacana memangkas masa tinggal jemaah yang semula 40 hari menjadi hanya 30 hari mengemuka. Sayangnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai memangkas masa tinggal jemaah sulit dilakukan.

"Nyaris mustahil untuk dipercepat. Karena saking banyaknya (jemaah)," kata Lukman saat berbincang dengan Media Center Haji (MCH) di Jeddah, Minggu malam, 18 Agustus 2019.

Dari aspek penerbangan, Lukman mengatakan penyelenggaraan haji kadang bertolak belakang dengan hukum ekonomi. Dimana ketika jumlahnya banyak bisa mendapat harga murah. Menurutnya, dalam penyelenggaraan haji, banyaknya jemaah justru membuat cost yang dikeluarkan tetap mahal. Karena porsi yang digunakan tidak mungkin porsi reguler.

"200 ribu lebih (jemaah) tidak bisa mengandalkan penerbangan reguler. Maka caranya dengan carter. Carter pesawat tetap jatuhnya mahal. Karena carter (pesawat) jemaah bayar empat trip. Pesawat yang carter tidak boleh diisi orang maupun barang. Jadi setiap penumpang bayar 4 kali perjalanan," ujarnya.

Dari sisi pelayanan penerbangan di dua bandara Arab Saudi, Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz Madinah dan Bandara King Abdul Aziz Jeddah, juga sangat terbatas. Karena saat bersamaan, dua bandara tersebut juga menerima kedatangan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia. 

"Dari dua bandara kita hanya bisa 14 kali penerbangan. Karena antre dengan negara lainnya. Kita pakai 14 penerbangan. Rata-rata 400 orang," terang Lukman.

Itu sebabnya, dengan jumlah kloter jemaah haji Indonesia mencapai 529 kloter, maka antrean keberangkatan dan kepulangan jemaah panjang sehingga secara tindak langsung menyebabkan masa tinggal jemaah di Tanah Suci semakin lama. "Kecuali ada bandara sendiri khusus Indonesia. Maka harus antre. Jadi jadwalnya 40 hari. Susah dipendekin masa tinggalnya," ungkapnya.

Menurut Lukman, ada beberapa cara bisa memangkas masa tinggal jemaah di Tanah Suci. Antara lain dengan memperbanyak atau membuka bandara lain di Arab Saudi untuk jemaah haji, seperti di Bandara Taif Mekah dan Bandara Tabuk di Madinah. "Sama kuotanya (jemaah haji RI) dikurangi, tapi itu tidak mungkin," kata Lukman.