Haji, Laboratorium Ibadah dan Ujian Moderasi Beragama

Pengendali Ibadah PPIH Arab Saudi, Prof Dr Oman Fathurahman
Sumber :
  • VIVA/Dedy Priatmojo

VIVA – Jemaah dari berbagai penjuru dunia mulai berkumpul di Kota Mekah. Bersiap melaksanakan puncak haji tahun 1440 Hijriah/2019. Kawasan Masjidil Haram menjadi titik temu jemaah dari berbagai dunia, sembari menanti puncak haji di Arafah. 

Ragam laku ibadah ada di sana. Corak pakaian, kebiasaan, maupun bahasa bertemu dalam satu waktu. Keragaman ini merupakan keniscayaan sebagai manusia. Mereka berangkat dari daerah yang berbeda, kultur dan bahasa yang berbeda. Cuma satu yang sama, ke Masjidil Haram karena Iman dan Islamnya.

Realita ini mesti dipahami jemaah haji Indonesia. Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Agama fokus pada pemahaman jemaah akan fiqih manasik haji dan pengetahuan yang baik seputar perhajian. 

Tak hanya itu, jemaah Indonesia juga dibekali akhlak yang baik agar mampu melaksanakan ibadah dengan penuh kesantunan budi, serta meneladani akhlak mulia Rasulullah. 

"Karena ibadah haji itu semacam laboratorium ibadah, tempat berkumpul jemaah haji bukan hanya dari Indonesia saja, tapi berinteraksi dengan jemaah dari negara lain," kata Pengendali Ibadah PPIH Arab Saudi, Oman Fathurahman kepada Tim MCH, Selasa, 16 Juli 2019. 

Oman mengibaratkan ibadah haji sebagai laboratorium untuk menguji bagaimana seseorang bisa menerima keragaman. Kementerian Agama, lanjut Oman, dalam 3-4 tahun terakhir memiliki gagasan moderasi beragama. Tujuannya, untuk menanamkan sikap moderat dalam beragama. Tidak fanatik apalagi skeptis dalam urusan agama.

Nah, ibadah haji, kata dia, menjadi ujian paling nyata bagi jemaah dan aparat Kementerian Agama. Sejauh mana bisa menerapkan sikap moderat dalam beragama. Prinsipnya, tegas Oman, harus berilmu, berbudi, berhati hati empati kepada orang lain. Sebab, moderat artinya yakin pada praktik yang dia yakini dan menghargai orang lain. 

"Di haji itu betul-betul harus diuji. Bisa atau tidak kita moderat dalam beragama ini? Karena keragaman tidak hanya se-Indonesia. Tetapi keragaman konteks sedunia. Haji itu satu tempat yang sangat kosmopolit dari beragama," ungkapnya.

Praktik moderasi beragama ini sebenarnya dicontohkan para ulama Nusantara sejak dulu. Syeikh Abdur Rauf as Singkili, misalnya, Ia tinggal 19 tahun di Mekah dan Madinah. Awalnya untuk berhaji saja, tapi kemudian tinggal di Mekah dan berguru dari Kurdistan India dan Afrika. 

"(Haji) Tempat bertemunya keragaman. Membawa cara pandang yang moderat ketika pulang dari Tanah Air. Itu warisan untuk kita dari ulama nusantara," ujar pria yang juga seorang Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.