Dilema Putus Kontrak BPJS - Rumah Sakit

Calon pasien menunjukkan kartu BPJS Kesehatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) kembali dilanda polemik. Setelah heboh soal defisit anggaran di akhir tahun 2018 lalu, masyarakat kembali dikejutkan dengan beredarnya daftar beberapa rumah sakit di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) yang tak lagi melayani pasien BPJS.

Sayangnya keputusan itu langsung ditujukan ke pihak Rumah Sakit (RS) tanpa pemberitahuan secara menyeluruh kepada masyarakat. Keputusan mendadak ini tentu saja membuat masyarakat khawatir dan kebingungan, itu artinya masyarakat merasa harus ambil ancang-ancang pindah rumah sakit dan mengurus sejumlah prosedur.

Seperti yang dialami Yuni salah satu pasien rawat inap RS Karya Medika Tambun Bekasi, Jawa Barat. "Kami sangat dirugikan terutama masyarakat kecil, kami minta akses dibuka," ujarnya kepada tvOne beberapa waktu lalu. 

Tak hanya Yuni, salah satu pasien rawat inap lain bernama Rahmat Hidayat juga merasa keberatan dan khawatir nantinya tidak mendapatkan pelayanan lagi dari pihak Rumah Sakit.

"Saya keberatan, khawatirnya kalau keuangan lagi minim, tak bisa pakai BPJS, terus penanganannya terlambat," ujarnya.

Pihak RS Karya Medika pun tidak dapat memberikan alasan spesifik terkait pemutusan kerjasama tersebut.

"Alasan spesifiknya kami enggak bisa menjawab. Tapi kemarin hasil pertemuan dengan BPJS kita tetap akan lanjut kerjasama. Tapi keputusan sementara RS Karya Medika Tambun tidak bisa melayani pasien BPJS hingga 1 februari mendatang," ujar Domininggus M Efruan, Direktur RS Karya Medika kepada tvOne Sabtu 5 Januari 2019.

Menjawab kekhawatiran tersebut, pihak BPJS-K akhirnya buka suara. Lewat rilis, Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf, penghentian kontrak tersebut terkait dengan sertifikat akreditasi yang dimiliki RS. "Rumah sakit yang tidak lagi diperpanjang kontraknya, penyebabnya adalah akreditasi yang tidak dipenuhi. Jadi, tidak bisa kerja sama per 1 Januari 2019," ujar Iqbal kepada VIVA Sabtu 5 Januari 2018.

Tercatat ada 64 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia yang putus kerjasama dengan BPJS-Kesehatan terhitung mulai 1 Januari 2019 karena habisnya masa berlaku akreditasi. Sementara itu belasan rumah sakit lain putus kerjasama karena tidak memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.

Data Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menunjukkan, 1.969 RS telah mengantongi akreditasi. Sedangkan jumlah RS yang belum terakreditasi mencapai 856. Sementara itu, masa berlaku akreditasi 64 rumah sakit sudah habis. Akreditasi dari KARS memang harus diperpanjang per tiga tahun sekali. Selain itu, setiap tahun ada pembaruan kontrak setiap rumah sakit, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015. Permenkes tersebut mensyaratkan, kerja sama untuk JKN-KIS harus ada sertifikat akreditasi.

Pentingnya Akreditasi dan Kredensialing Rumah Sakit

Bagai makan buah simalakama, kisruh akreditasi BPJS-K ini terjadi tak semata-mata merugikan masyarakat. Melainkan sebagai sebuah proses perbaikan mutu dan pelayanan Rumah Sakit itu sendiri.

Akreditasi Rumah Sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Tujuannya adalah meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, sehingga sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang semakin selektif dan berhak mendapatkan pelayanan yang bermutu sehingga meminimalisir masyarakat yang berobat ke luar negeri.

Sedangkan Kredensialing adalah suatu proses menjamin tenaga keperawatan kompeten dalam memberikan pelayanan keperawatan dan kebidanan kepada pasien sesuai dengan standar profesi.

Akreditasi dan kredensialing adalah syarat mutlak untuk kerjasama antara BPJS dan rumah sakit yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Iqbal mengatakan pemerintah sudah memberi kesempatan kepada rumah sakit yang ada untuk mengurus sertifikat akreditasi sedari tahun 2014, saat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai. Mereka diberi waktu lima tahun untuk mendapatkan akreditasi. Jangka waktu itu berakhir di tahun 2019 ini.

Namun, lanjutnya, sampai saat ini beberapa rumah sakit "membandel" dan enggan mengurus akreditasi mereka. Akreditasi itu menurut Iqbal wajib hukumnya untuk menjamin keamanan pasien dan tenaga kesehatan rumah sakit.

"Standar Rumah Sakit untuk memberikan layanan yang berkualitas pembuktiannya ya lewat sertifikat akreditasi yang melewati assesment oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit," kata Iqbal dilansir BBC.

Menurut Iqbal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, telah memberikan kesempatan bagi rumah sakit yang belum diakreditasi untuk melanjutkan kerja sama. Tahun lalu, mereka diminta untuk memberikan surat komitmen bahwa mereka akan menyelesaikan proses akreditasi.

Jika rumah sakit itu mengirimkan surat komitmen tersebut, kementerian akan menerbitkan surat rekomendasi untuk meneruskan kerjasama. Untuk sementara, rekomendasi itu dapat menggantikan sertifikat akreditasi. Namun, kata Iqbal, puluhan rumah sakit swasta yang belum terakreditasi tidak juga mengirimkan surat komitmen mereka.

Nasib pasien BPJS terancam terbengkalai

Meski penting dilakukan untuk meningkatkan akreditasi, namun pemutusan kerjasama pasti berdampak pada pasien. Kepala bidang advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan bahwa langkah BPJS untuk mengakhiri kerja sama dengan puluhan rumah sakit swasta dapat berdampak buruk pada pelayanan masyarakat yang diterima masyarakat.

Saat ini saja, ujarnya, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Lewat BBC Timboel mengasumsikan satu rumah sakit memiliki 50 kamar perawatan, sehingga setidaknya 65 rumah sakit yang gagal akreditasi memiliki 3.250 kamar rawat. Jika satu kamar berisi tiga orang, secara hitung-hitungan kasar, akan ada 9.750 orang yang terdampak konflik ini.

Dengan asumsi masa perawatan satu orang sekitar tiga hari dan kamar-kamar hanya terisi 80 persen saja, kata Timboel, selama satu tahun sebanyak 949 ribu orang akan terdampak kebijakan ini.

Timboel mengatakan pemerintah sebaiknya tidak terlalu kaku dengan aturan akreditasi ataupun rekredensialing karena hingga kini suplai layanan kesehatan masih jauh di bawah demand masyarakat.

Saat ini saja, katanya, masyarakat masih sering kesulitan mencari ruang perawatan, juga Intensive Care Unit (ICU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

"Kalau hukum positifnya mengatakan ada sertifikat akreditasi ya memang harus juga, tetapi bisalah dikasih kesempatan kembali. Memang nih rumah sakit ada bandelnya juga. Nah tapi jangan juga langsung diputus kerja samanya karena dari sisi suplai (layanan kesehatannya) kita masih kurang," katanya.

Kemenkes tawarkan solusi

Menanggapi polemik akreditasi ini, Kementerian Kesehatan bergerak sigap dan segera mencarikan solusi. Selama BPJS mengurus akreditasi, Kemenkes memperbolehkan RS melayani pasien BPJS.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI Oscar Primadi Kemenkes meminta agar masyarakat khususnya peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak perlu resah, karena pihaknya pun telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada BPJS Kesehatan untuk memperpanjang kontrak dengan rumah sakit-rumah sakit yang bekerjasama. 

Surat tersebut tertuang dalam Surat Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/18/2019 yang dikeluarkan pada 4 Januari 2019 lalu. Karena tengah menyiapkan surat kerjasama baru, Oscar memastikan bahwa masyarakat tetap akan mendapat pelayanan seperti biasa.

"Masyarakat khususnya peserta JKN tidak perlu resah karena tetap akan mendapatkan pelayanan seperti biasa," katanya di Jakarta.

Meski diberikan keringanan, namun pihak RS tetap diberikan tenggat waktu hingga hingga Juni 2019. 

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek mengatakan bahwa pihaknya akan membantu memberikan insentif dan mendampingi rumah sakit, untuk segera memenuhi akreditasi tersebut. Lalu, bagaimana jika hingga Juni 2019 masih ada rumah sakit yang belum memenuhi akreditasi?

Menjawab hal tersebut, Dirjen Bina Layanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Bambang Wibowo akan melihat komitmen dari sejumlah RS tersebut. Untuk RS yang sempat diputus kontraknya, ia juga menyebut bahwa hal itu  tidak dilakukan secara tiba-tiba. Dia mengatakan, sebelumnya dilakukan pemberitahuan sebanyak tiga kali pada RS yang belum terakreditasi. 

"Pada 12 Desember 2018, juga ada pemberitahuan agar menuliskan surat komitmen, agar bisa menjadi untuk memberikan rekomendasi. Jadi, ini bukan hal yang mendadak," kata Bambang, saat konferensi pers, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 7 Januari 2019. 

Dengan perpanjangan kontrak hingga Juni 2019 nanti, baik Kemenkes dan BPJS kesehatan akan kembali melihat komitmen dari rumah sakit untuk memenuhi akreditasi tersebut. Jika masih belum bisa terpenuhi, Bambang mengatakan, ia akan mengevaluasi kembali langkah yang akan dilakukan. (ren)