KPK Kembali Diteror

Pelemparan bom molotov di rumah Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Sumber :
  • VIVA/M Edwin Firdaus

VIVA – Rabu pagi, sekira pukul 05.30 Wib, kediaman Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Rahardjo di kawasan Jatiasih, Bekasi, dikejutkan dengan penemuan tas hitam mencurigakan tersangkut di pagar rumah.

Suasana rumah saat itu masih sepi aktivitas, tak tahu persis siapa sosok misterius yang meletakkan tas tersebut.

Eman, si penjaga rumah Ketua KPK, yang pertama kali menemukan tas yang dibungkus tas plastik hitam tergantung di pagar bagian dalam rumah. Eman berupaya mengintip isi dalam tas dan ditemukan benda-benda seperti paralon, paku, kabel, baterai, dan serbuk. Bahan-bahan yang umumnya ditemukan dalam bom rakitan.

Tak ingin gegabah, Eman langsung menghubungi polsek setempat. Pagi itu, polisi sudah memadati kediaman Agus Rahardjo. Tim Gegana juga tiba, untuk mensterilkan lokasi dan mengamankan barang bukti. Warga sedikit penasaran, karena isunya benda mencurigakan di rumah Ketua KPK itu adalah bom.

Di tempat lain, teror serupa juga terjadi di rumah Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Rumah Laode dilempari dua kali bom molotov. Satu botol pecah, satu lagi gagal pecah.

Seorang saksi mata berinisial S (58) menuturkan, pada pukul 01.00 WIB, saksi yang rumahnya tak jauh dari kediaman Laode mendengarkan suara pecahan barang. Namun, saksi tidak keluar dan mengeceknya.

Kemudian, pada pagi harinya sekitar pukul 05.30 WIB, ditemukan botol berisi spirtus dan sumbu api di halaman rumah Laode.

Sopir Laode bernama Bambang pun sempat melihat botol berisi minyak tanah yang masih ada sumbu, namun sudah mati. Setelah dilihat melalui rekaman CCTV, pada pukul 01.00 WIB, ada seseorang yang dicurigai melakukan aktivitas di depan rumah Laode.

"Ditemukan di kediaman Pak Agus benda diduga (bom). Tetapi, di kediaman Pak Laode ada saksi menyatakan ada bunyi sedikit, tetapi kita belum bisa pastikan bunyi tersebut. Di rumah Pak Agus, tak ada bunyi sama sekali," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol M. Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu 9 Januari 201

Sejauh ini, polisi masih menganalisa benda mencurigakan diduga bom yang diletakkan di pagar rumah Ketua KPK, Agus Rahardjo di Bekasi, Jawa Barat. Polisi belum bisa memastikan benda yang terdiri dari beberapa kabel, pipa, paku, detonator, baterai, dan serbuk itu sebagai bom rakitan atau fake bomb (bom palsu).

"Masih dianalisa oleh Labfor (laboratorium forensik). Ditemukan tas hitam di dalamnya ada benda, tetapi apakah itu jenis bom atau tidak masih dianalisa. Apa itu fake bomb masih didalami. Jadi, tidak terburu-buru," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu.

Dedi, kemudian mencontohkan fake bomb yang ditemukan di dekat Mapolres Cilacap, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Paket mencurigakan yang dihancurkan tim Gegana Polda Jawa Tengah, kala itu berisi pipa paralon, potongan paku, baterai, jam beker, potongan kabel, dan serbuk semacam pasir dicampur arang.

"Kalau dilihat, semacam black powder, ternyata bukan. Setelah dibuka, tidak ada detonator sebagai pemicu. Dihubungkan dengan timer, enggak nyambung ke kabel. Tetapi, kalau ini (benda di rumah Agus) masih didalami oleh Labfor," katanya.

Meski begitu, ia tidak menampik bahwa peristiwa yang terjadi di kediaman Ketua Lembaga Antirasuah sebagai bentuk teror. "Patut diduga bom. Patut diduga juga teror," ucap Dedi.

Namun, menurutnya, teror yang dilakukan di kediaman pimpinan KPK bukan aksi kelompok terorisme. Sebab, jika kelompok terorisme yang melakukan akan terencana. "Diduga, bukan profesional dan kelompok teroris. Kalau kelompok teroris, matang perencanaannya. Ini kan, tidak meledak," katanya.

Berikutnya, lawan teror

Lawan Teror

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan kasus teror bom yang terjadi di kediaman dua pimpinannya itu ke Polri. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengakui, KPK telah mendapatkan perkembangan awal dari Polri, terkait tindaklanjut dari penanganan teror bom.

Polri, lanjut Febri, sudah menerjunkan tim ke lokasi yang terdiri dari unsur Mabes Polri dan Polda Metro Jaya, serta melibatkan personil dari Densus 88. Selanjutnya, polisi melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan analisis forensik.

"Jadi, nanti kita tunggu bagaimana proses lebih lanjut, karena tim dari Polri sedang bekerja saat ini. Jadi, kami sampaikan juga terima kasih kepada Polri, karena responsnya cukup cepat ya, ketika informasi ini kami sampaikan pada pihak Polri," kata Febri di Gedung KPK, Rabu 9 Januari 2019.

Sementara itu, terang Febri, unsur pimpinan tetap hadir di kantor dan mengerjakan tugasnya masing-masing. Penyidik dan pegawai KPK lainnya, melaksanakan tugas penindakan dan pencegahan korupsi. Pemeriksaan dalam berbagai kasus, saksi ataupun tersangka juga dilaksanakan sesuai dengan jadwal dan perencanaan.

"Yang agak berbeda, hal ini tentu ada koordinasi yang kami lakukan dengan pihak Polri, terkait dengan peristiwa tadi pagi. Pimpinan dan tim yang ditugaskan, juga sudah ke lokasi untuk melakukan koordinasi tersebut," ujarnya.

Febri tak menampik dengan terjadinya teror bom ini, KPK bakal menerapkan pengamanan maksimal bagi pimpinan KPK. Menurutnya, standar keamanan jika ada peristiwa tertentu akan dibahas melalui mekanisme mitigasi risiko keamanan, untuk dipetakan risikonya dan jika dibutuhkan melakukan beberapa penguatan-penguatan aspek keamanan.

"Tapi yang pasti, untuk pengamanan koordinasi, tentu dilakukan juga dengan Polri, kalau dibutuhkan pengamanan tambahan misalnya. Untuk para pimpinan KPK yang lima orang atau pengamanan yang lain, sesuai dengan kebutuhan tersebut," terang Febri.

Sementara itu, terkait motif dari teror yang terjadi, Febri enggan berspekulasi apakah itu terkait dengan penanganan perkara di KPK. Kata Febri, kasus teror ini termasuk apa motifnya, masih didalami Polri. "Jadi, lebih baik kita tunggu penegak hukum bekerja terlebih dahulu, agar informasinya bisa lebih mempunyai dasar dan lebih substansial prosesnya," ungkapnya.

Di sisi lain, Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Harahap mengecam dan mengutuk keras upaya teror terhadap dua pimpinannya. Ia menyebut, teror terhadap pimpinan KPK ini semakin membuktikan bahwa upaya teror terhadap pemberantasan korupsi terus berlangsung dan tidak pernah berhenti.

Diketahui saat ini, KPK sedang giat-giatnya memberantas korupsi, sebagaimana pada 2018 lalu dengan mencetak sejarah 30 operasi tangkap tangan (OTT) dan tahun ini menargetkan 200 perkara. Tetapi, upaya pemberantasan korupsi kembali diuji.

"Kami meyakini, tindakan teror ini merupakan upaya untuk menimbulkan rasa takut dan gentar di hati pimpinan dan pegawai KPK, agar berhenti menangkapi koruptor dan menciptakan Indonesia bersih," kata Yudi dalam keterangan persnya, Rabu.

Padahal, sambung Yudi, belum hilang dari ingatan publik mengenai kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan yang sampai saat ini belum terungkap. Meski begitu, dia menekankan bahwa teror-teror kepada pimpinan dan pegawai KPK tidak akan pernah menciutkan nyali pihaknya dalam memberantas korupsi di negeri ini.

"Justru, ini makin memperteguh semangat kami bahwa korupsi harus dibasmi apapun risikonya, tentu dengan dukungan rakyat Indonesia," kata Yudi.

Selanjutnya, efek domino Novel

Efek Domino Novel

Teror bom yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai, sebagai upaya teror lanjutan yang kian masif dan terstruktur. Sebab, teror yang dialami dua pimpinan KPK ini bukan kali pertama terjadi. Banyak teror lainnya yang dialami pimpinan dan pegawai KPK sebelumnya, yang belum terungkap siapa pelakunya.

Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto mengatakan, upaya teror terhadap KPK sudah lama terjadi. Bahkan, sebelum KPK berdiri, penegak hukum yang berkutat pada isu pemberantasan korupsi rentan terhadap upaya-upaya teror.

"Jangan berharap teror berhenti, yang ada adalah harus siap menghadapi teror itu," kata pria yang akrab disapa BW ini kepada tvOne, Rabu 9 Januari 2019.

BW berharap, peristiwa ini jangan sampai menyurutkan semangat pimpinan KPK yang menjadi sasaran teror. Menurutnya, pimpinan dan seluruh pegawai KPK harus terus mengonsolidasikan diri dan meneguhkan tekad melawan teror ini.

"Kalau pimpinan KPK yang diteror surut langkahnya, maka teror itu berhasil 'menjinakkan' KPK. Tetapi, apabila seluruh SDM (sumber daya manusia) di KPK konsolidasi untuk menegakkan tekadnya, teror itu tidak berhasil," ujarnya.

Terlepas dari teror yang menimpa pimpinan KPK, BW menyebut ada keunikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Di mana, 'serangan balik' berupa teror kepada orang-orang yang ingin menegakkan aturan melalui upaya pemberantasan korupsi semakin terang-terangan dan nyata.

"Perlu mitigasi risiko dan konsolidasi SDM di KPK. Novel itu bagian dari teror, kriminalisasi pimpinan KPK itu juga teror, belum lagi ancaman fisik. Hampir, semua insan KPK yang terkait pendekatan impresif itu banyak diteror," tegasnya.

Terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo menyebut, teror terhadap dua pimpinan KPK merupakan efek domino dari peristiwa sebelumnya. Adnan menduga, aksi teror ini terinspirasi dari teror sebelumnya yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan pada 27 April 2017 silam.

"Teror terhadap pimpinan KPK, merupakan tindakan berani, yang mungkin terinspirasi dari teror-teror sebelumnya yang berhasil, seperti yang dialami Novel Baswedan, mengingat penegak hukum belum dapat mengungkap pelakunya hingga hari ini," kata Adnan di Jakarta, Rabu 9 Januari 2019.

Adnan mengatakan, serangan teror ini seharusnya perlu dilihat sebagai ancaman terhadap agenda pemberantasan korupsi, mengingat KPK berada di garda terdepannya.

ICW pun mendesak, supaya teror ini diungkap cepat oleh penegak hukum, agar tidak lagi muncul spekulasi yang liar dan makin memanaskan suasana, mengingat saat ini telah masuk tahun politik.

"Kemudian, KPK juga perlu membangun sistem keamanan yang lebih baik, yang ditujukan kepada seluruh pegawai KPK, terutama yang rawan terhadap target teror," ujarnya.

Berikutnya, butuh dukungan Jokowi

Butuh Dukungan Jokowi

Selama ini, teror seolah menjadi risiko bagi penegak hukum, termasuk orang-orang yang berkerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di tengah tantangan mengungkap kasus korupsi yang tak mudah, karena selain melibatkan para petinggi negeri, juga rentan terhadap upaya corruptor fight back atau serangan balik koruptor dengan berbagai cara.

Karenanya, tak hanya pimpinan, pegawai-pegawai KPK yang berkaitan langsung dengan upaya pemberantasan korupsi kerap menjadi sasaran teror koruptor dan kroninya. Sayangnya, dari sekian peristiwa tak banyak yang bisa diungkap polisi.

Kasus teror air keras Novel Baswedan misalnya, hampir dua tahun sejak peristiwa yang terjadi April 2017 lalu, polisi tak kunjung mengungkap siapa pelaku maupun aktor intelektualnya. Belum lagi, teror-teror lain yang dialami pekerja di KPK.

Dalam beberapa kesempatan, Novel menyebut serangan dan intimidasi pernah dialami pegawai KPK seperti penyerbuan dan teror terhadap safe house KPK, rumah penyidik diancam bom, mobil penyidik disiram air keras, bahkan sampai ada pegawai yang diculik dan ditangkap ketika bertugas.

Penyidik senior KPK, Novel Baswedan menganggap, teror bom yang menyerang dua pimpinan KPK ini tak ubahnya serangan terhadap institusi KPK, karena kerja-kerja pemberantasan korupsi. Ia menyadari, pekerjaan di KPK rentan terhadap teror dan serangan balik koruptor.

"Sebelum pimpinan KPK (diteror), ada beberapa ke pegawai KPK. Di KPK, pernah saya diserang empat sampai lima kali. Ada pegawai KPK diculik, ada yang barangnya dicuri. Teror ini belum pernah ada yang diungkap. Ini momentum, kita jadikan fokus titik tolak jangan sampai teror ini dibiarkan," kata Novel di tvOne, Senin 9 Januari 2019.

Atas semua teror tersebut, Novel menegaskan bahwa format pengamanan yang kuat dan paling masuk akal bagi pimpinan dan pegawai KPK adalah dengan mengungkap setiap teror yang terjadi. Sebaliknya, format pengamanan dengan penjagaan fisik perlu, tetapi tidak optimal.

"Tetapi, apabila penyerangan tidak diungkap, mereka makin berani. Sampai hari ini, tidak ada satupun yang diungkap. Saya mengira, orang-orang yang menyerang makin berani, karena tidak diungkap," tegasnya.

Novel masih berharap, dukungan Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya untuk memastikan bahwa teror dan penyerangan terhadap pimpinan dan pegawai KPK diungkap seluruhnya, sehingga upaya pemberantasan korupsi ini bisa maksimal.

"Kita butuh dukungan Presiden, karena serangan ini tidak dilakukan pribadi-pribadi, tetapi kelompok-kelompok yang punya kekuatan," ujar Novel.

Senada, Guru Besar Hukum Pidana yang juga mantan pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji juga menyerukan Presiden Jokowi dan jajarannya, untuk menerbitkan atensi dan dukungan penuntasan kasus teror yang dialami dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode M. Syarif.

Hal itu dipandang pantas, karena teror kali ini menyasar pimpinan lembaga negara.

"Karena, perbuatan teror ini sudah diarahkan kepada Pimpinan KPK. Sebaiknya, Pimpinan Negara memberikan atensi dan dukungan pengungkapan tuntasnya perbuatan teror itu," kata Indriyanto, saat dihubungi, Rabu 9 Januari 2019.

Indriyanto menyebut, teror terhadap pimpinan KPK ini bukanlah peristiwa yang ringan. Untuk itu, polisi harus segera mengusut tuntas dan membekuk pelaku teror untuk mengetahui apa motivasinya melakukan tindakan teror.

Selain mengetahui motif pelaku, pengungkapan secara tuntas sejumlah teror ini dianggap penting untuk mencegah teror serupa terhadap pimpinan atau pegawai KPK lainnya. "Menuntaskan pengungkapan pelaku teror ini, agar ada kepastian hukum subjek pelaku teror dan tidak selalu terulang perbuatan teror tersebut," kata Indriyanto. (asp)