Dilarang Menyebut Kafir

Munas Alim Ulama Konbes NU
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

VIVA - Keputusan kontroversial dihasilkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui forum Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, belum lama ini.

Dengan berani, mereka menyarankan agar warga negara Indonesia yang beragama di luar Islam tidak lagi disebut sebagai kafir. Alasannya, kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.

Saat memberikan sambutan dalam penutupan acara itu, Ketua PBNU Said Aqil Siradj, menyampaikan bahwa dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa, tidak dikenal istilah kafir. Karena itu, setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.

"Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah. Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah, tidak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah, yang ada adalah nonmuslim," kata Said Aqil.

Said menuturkan ketika itu ada tiga suku nonmuslim, yaitu suku Bani Qoynuqa, Bani Quraizah, Bani Nadhir. Mereka semua disebut nonmuslim, tidak disebut kafir.

"Ini harus kita jelaskan secara ilmiah. Ya enggak apa-apa, saya sendiri sering dikafirkan orang," lanjut Said.

Baca: NU Minta Warga Non Muslim Tak Disebut Kafir

Elemen NU di tingkat struktural lainnya seperti Sang Sekretaris Jenderal, Helmi Faisal Zaini, memberikan dukungan. Helmi menyatakan mereka yang nonmuslim tidak boleh lagi disebut kafir karena mereka adalah ahlul kitab, sebagaimana dalam Piagam Madinah bahwa mereka-mereka yang beragama itu adalah bersaudara.

"Sehingga dengan pengertian ini kita akan mengokohkan kembali semangat kebangsaan kita, membangun masyarakat yang diharapkan ke depan menjadi masyarakat yang memiliki ukhuwah," kata dia.

Tapi, segera setelah keputusan itu diumumkan ke publik, pro kontra, kontroversi pun muncul. Sejumlah pihak mengungkapkan penolakannya. Jagat media sosial dipenuhi perdebatan mengenai persoalan tersebut.

Pengasuh LPD Al-Bahjah, Yahya Zainul Ma'arif, atau biasa disapa Buya Yahya, menjelaskan kafir adalah penyebutan bagi orang yang tidak mengakui Allah subhanahu wa ta'ala, Islam dan Nabi Muhammad. Kata Buya, soal ini sudah tegas dijelaskan dalam Alquran dan hadis.

"Pertama, bahwa orang Yahudi dan Nasrani, nonmuslim itu dari segi bahasa. Bahasa Arabnya, orang Yahudi dan Nasrani itu disebut dalam Alquran, kafir. Mereka tidak boleh disebut kafir, karena Yahudi, Nasrani. Ini kalimat salah. Justru karena mereka Yahudi dan Nasrani, mereka itu kafir," ujar Buya Yahya, dalam penjelasannya di channel Youtube.

"Saudaraku yang Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, tolong dengar, ini ada kalimat istimewa buat anda. Kalau anda dengar sampai tuntas, jangan anda putus. Jadi sangat salah kalau mereka tidak bisa kita sebut kafir karena mereka ahli kitab, sangat salah. Karena apa? Alquran sendiri yang menjelaskan. Ayat yang anak kecil sudah hafal, lamyakunil lazina kafaru, tidak mereka orang-orang kafir. Min ahlil kitab. Ahli kitab dimasukkan. Wal musyrikin, jadi orang kafir ada ahli kitab. Ada orang musyrik, namanya kafaru, orang-orang kafir. Jadi kalau mereka tidak boleh disebut kafir, sangat salah. Karena dalam Alquran, istilah kafir sudah ada," kata Buya.

Baca selengkapnya penjelasan Buya Yahya di sini.

Sementara itu, Ustaz Abdul Somad, dalam video di channel YouTube, menuturkan bahwa kata kafir adalah terminologi umat Islam untuk menyebut orang yang tidak percaya. Dia menjelaskan kata kafaro, kafir, berarti menutupi, yang di dalam bahasa Inggris adalah cover.

“Kenapa dia disebut kafir, karena dia menutupi nikmat Allah. Nikmat Allah mana yang dia tutupi? Datangnya Nabi Muhammad Sallallahu allaihi wasallam," kata Ustaz Somad.

Ustaz Somad melanjutkan nikmat yang paling besar dalam hidup bukan nikmat harta, nikmat istri, nikmat anak. Tapi nikmat iman dan Islam dengan datangnya Muhamamd Sallallahu allaihi wasallam.

"Aku tak mau kau sebut kafir. Kalau kau tak mau disebut kafir maka kau bukalah nikmat itu. Gimana caranya? Sebutkan password-nya, asyhadu alla ilaha illallah waasyhadu anna Muhammadarrasulullah. Masalah gunting pita bisa menyusul belakangan," kata Ustaz yang juga akrab dipanggil UAS tersebut.

Dalam kesempatan yang lain, Ustaz Somad juga menyinggung soal penyebutan kata kafir membuat mereka marah sehingga mereka meminta disebut nonmuslim saja.

"Jangan panggil aku kafir, panggil aku nonmuslim. Lho gimana nanti baca ayat, kul ya ayyuhal non muslim. Kafir kan dari dulu."

Melawan Alquran

Tanggapan lebih keras disampaikan politikus Partai Gerindra, Muhammad Syafi'i. Menurutnya, keputusan itu merupakan perlawanan terhadap Alquran yang seharusnya tidak ada alasan untuk tidak setuju dengan kitab suci umat Islam tersebut ditinjau dari sisi apa pun.

"Menurut pandangan saya, sebuah perlawanan terhadap pedoman Alquran. Itu sudah diatur Allah dalam Alquran. Tidak ada alasan untuk tidak setuju (dengan Alquran) ditinjau dari sisi apa pun, untuk tetap menggunakan istilah kafir. Kafir dalam bahasa Alquran itu kan maknanya menutup diri dari ajaran Quran," kata Syafi'i, saat dihubungi VIVA, Senin, 4 Maret 2019.

Juru Kampanye Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno itu melihat ada yang aneh dari keputusan tersebut. Dia juga menilai, ada unsur politiknya.

Syafi'i menduga, larangan ini terbit, karena jualan soal infrastruktur dari kubu Joko Widodo-Ma'ruf sudah tidak laku lagi. Dia meyakini larangan itu memiliki muatan politik dan terkait dengan pemilihan umum.

"Mungkin, karena jualan tol tidak laku lagi, jualan kartu-kartu tidak laku lagi, sekarang jualan kafir. Pasti ada unsur politik dan sangat terkait dengan pemilu," kata Syafi'i, saat dihubungi VIVA, Senin, 4 Maret 2019.

Syafi'i menjelaskan lebih dari 500 istilah kafir dalam Alquran, juga terdapat dalam hadis nabi. Tidak mungkin munas suatu ormas bisa membatalkan kata-kata yang ada di Kitab Allah Alquran. Dia malah takut akan ada amandemen.

Sementara itu, kolega Syafii, Andre Rosiade, menyerang Said Aqil Siradj. Dia menilai Said sudah melakukan sesuatu yang tidak patut.

"Saya rasa, Said Aqil terlalu percaya diri, merasa kiai besar. Tidak pas lah dan di luar kepatutan umat Islam," ujarnya.

Demi Persatuan

Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin menilai usul yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama mengganti kata kafir dengan nonmuslim untuk menjaga keutuhan bangsa. Menurutnya, kata-kata itu bisa menjauhkan, atau mendiskriminasikan.

Ma'ruf yang juga Mustasyar PBNU ini menanggap hal tersebut bukan ujug-ujug dilontarkan tanpa ada pertimbangan. Dia yakin para ulama telah melihat kondisi saat ini yang mana penyebutan itu dalam berbagai kesempatan telah memperlihatkan jarak.

"Kalau itu disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa. Istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ma’ruf.

Terpisah, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, mengakui pemakaian istilah kafir untuk menyebut nonmuslim harus dengan bijak dan hati-hati, apalagi di negeri majemuk seperti Indonesia. Tapi juga tidak dengan 'gebyah uyah' kata kafir dihilangkan.

"Dalam konteks berbangsa memang harus dibarengi dengan sikap tasamuh (toleransi), sehingga pemakaian istilah tersebut tidak dipakai secara peyoratif (memperburuk) kepada orang lain. Tapi juga tidak mungkin kitab suci yang sudah final lalu diamandemen," kata Din di Gamping, Sleman, seperti dikutip dari situs Muhammadiyah.or.id.

Din menyampaikan istilah kafir perlu dipahami secara menyeluruh, karena pemakaian istilah seperti itu bukan hanya ada di Islam tapi juga agama yang lain. Dalam Islam sendiri istilah kafir banyak disebut dalam Alquran dan ada surat yang secara spesifik nama dan dalam kandungan surat tersebut menerangkan tentang istilah kafir.

"Kita ini mukmin beriman, ada yang tidak beriman sesuai Islam disebut oleh Alquran dengan kata kafir, musyrik, juga fasik," katanya.

Din berpesan untuk tidak mengubah istilah yang ada di dalam kitab suci. Tapi harus ada kearifan dalam menggunakannya, termasuk dalam konteks saat ini. Istilah tersebut juga ada di agama selain Islam dalam menyebut orang yang berbeda dalam keimanan dengan mereka.

"Sebenarnya semua agama punya konsep teologi tentang 'the others and the outsider', karena semua agama itu memiliki yang disebut kriteria keyakinan," kata Din.

Meskipun demikian, putusan dari Munas NU sifatnya hanya sebagai fatwa. Karena ini sifatnya fatwa, maka tidak wajib diikuti.

Pengaruh Situasi Politik

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, berpendapat keluarnya keputusan dari hasil Munas dan Konbes PBNU itu bukan tanpa sebab. Dia melihat kondisi dan situasi politik yang terjadi di Tanah Air sangat berpengaruh.

"Keputusan itu tidak ada di ruang hampa. Dia lahir dari potret dinamika politik kita yang sering muncul idiom kafir, dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu," kata Adi saat dihubungi VIVA, Senin, 4 Maret 2019.

Adi mengatakan sesudah Pilkada DKI Jakarta, banyak kelompok ormas yang menyuarakan jargon-jargon Islam, dan mengkafir-kafirkan kelompok lain. Dalam konteks itulah, menurutnya, NU menetralisirnya.

"Istilah kafir sah-sah saja digunakan di internal umat Islam. Tapi ngatain orang kafir dalam kehidupan bernegara kurang pas. Nonmuslim sebaiknya panggil agamanya, Kristen, Buddha, Hindu, dan lain-lain," katanya.

Adi menambahkan bahwa sesama muslim yang ideologinya tidak sejalan pun disebut kafir. Karena itulah, PBNU mengeluarkan keputusan menghilangkan kata kafir terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Apa pun agamanya, jangan ada istilah kafir, enggak pantas," ujarnya.

Menurut Adi, orang-orang non muslim itu sebenarnya adalah orang-orang yang beriman juga. Tapi, bedanya, Tuhan mereka dengan Tuhan orang Islam saja yang berbeda. (ase)