Kontroversi Poligami di Aceh

poligami, saya tidak sanggup berbagi
Sumber :
  • Youtube/Ana Busyaeri

VIVA – Raqan poligami di Aceh menuai kontroversi. Dalih menyelamatkan korban kawin siri, pemerintah Aceh menggulirkan Raqan Hukum Keluarga. Di dalamnya ada pasal-pasal yang memudahkan lelaki beristri jamak. 

Namun perlu diketahui, pada dasarnya aturan ini akan redundant atau sifatnya berlebihan atas aturan di atasnya. Pada dasarnya sudah ada aturan poligami di UU Perkawinan. Lebih lagi, qanun semacam ini dicap justru menjadikan perempuan menjadi korban yang lebih mengerikan.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sedang menggodok Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga yang mengatur tentang perkawinan, perceraian dan perwalian. Yang cukup mengejutkan, dalam raqan itu, terdapat beberapa pasal yang melegalkan dan sekaligus memudahkan poligami.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh Musannif mengatakan, qanun tersebut mulai dibahas sejak akhir 2018 lalu. Selanjutnya akan segera dibawa ke sidang Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 1 Agustus 2019 mendatang.

Menurut Musannif, dilegalkannya Poligami bukan tanpa alasan. Pihaknya melihat saat ini marak terjadi kawin siri. Apalagi kata dia, dalam hukum Islam kaum Adam juga diperbolehkan beristri lebih dari satu.

“Karena dibolehkan (poligami dalam islam), saat ini marak terjadi kawin siri. Karena maraknya, pertanggungjawaban kepada Tuhan dan anak yang dihasilkan dari kawin siri ini lemah,” kata Musannif saat dikonfirmasi VIVA, Sabtu, 6 Juli 2019.

Dalam pasal yang mengatur tentang poligami itu, juga disebutkan syarat bagi pria yang ingin berpoligami diwajibkan untuk ada izin dari istri pertama. Namun jika si pria tak mendapatkan izin dari istri pertama maka dia bisa meminta izin kepada Mahkamah Syariah.

Sejumlah pasal tentang poligami yang ada dalam Raqan tersebut diatur dalam Pasal 46 hingga Pasal 50. Substansi isi dalam pasal poligami tersebut antara lain:
 
Pasal 46
Ayat (1)
Seorang suami dalam waktu yang bersamaan boleh beristri lebih dari 1 (satu) orang dan dilarang lebih dari 4 (empat) orang.
Ayat (2)
Syarat utama beristri lebih dari 1 (satu) orang harus mempunyai kemampuan, baik lahir maupun batin dan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Ayat (3)
Kemampuan lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal untuk kehidupan istri-istri dan anak-anaknya.
Ayat (4)
Kemampuan tersebut harus dibuktikan dengan sejumlah penghasilan yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaan baik sebagai Aparatur Sipil Negara, pengusaha/wiraswasta, pedagang, petani maupun nelayan atau pekerjaan lainnya yang sah.
Ayat (5)
Kemampuan batin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, biologis, kasih sayang dan spiritual terhadap lebih dari seorang istri.
Ayat (6)
Dalam hal syarat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, seorang suami dilarang beristri lebih dari 1 (satu) orang.

Lebih jauh, pihak DPRA menyatakan siap dengan respons yang mungkin beragam atas raqan yang mengundang pro dan kontra tersebut. DPRA menyebutkan juga sudah mengundang aktivis dan LSM yang berkaitan dengan gender dan perempuan. Oleh karena itu mereka siap mendiskusikan perihal ide memuliskan jalan poligami itu.

Tidak Anti-Islam

Tak lama setelah rencana qanun itu diberitahukan kepada publik, perempuan dan warga Aceh sendiri langsung menyampaikan penolakan. Mantan istri Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Darwati merupakan salah satu figur yang menolak raqan poligami. Dikutip dari laman BBC, Darwati yang merupakan korban poligami menyesalkan adanya rencana aturan daerahnya tersebut.

“Secara syariah dalam Hukum Islam segala ketentuan dalam poligami sudah diatur dengan sedemikian rupa, masih banyak nilai lain yang harus dipenuhi, salah satunya akhlak. Jadi tidak penting mengurus poligami karena monogami saja belum tentu beres,” kata Darwati.

Darwati mempertanyakan alasan melakukan poligami karena teladan Nabi Muhammad lebih diutamakan padahal banyak sekali sunnah lain yang perlu diikuti dan diterapkan.

Dia menjelaskan, Rasulullah baru poligami setelah menikah 25 tahun yakni setelah Siti Khadijah meninggal dunia. Itu pun kata dia, istrinya Aisyah sempat cemburu sekalipun Nabi Muhammad menikahi janda miskin dan tertindas.

Sementara organisasi Balai Syura Ureung Inong Aceh juga menolak keras Raqan Hukum Keluarga yang menjadi selubung mempermudah poligami tersebut. Aktivis HAM sekaligus Ketua Balai Syura Ureung Inong Aceh, Soraya Kamaruzzaman mengatakan aturan itu justru melanggengkan tradisi beristri satu bagi pria. Otomatis hal tersebut sangat mendiskreditkan kaum perempuan.

"Kita tidak anti-Islam tapi seharusnya pemerintah harus memikirkan banyak hal lain. Jangan pula dalam qanun tersebut malah menjelaskan bagaimana laki-laki bisa berlaku adil dalam memberikan kepuasan seksual, ukuran kepuasan diukur dari mana,” kata Soraya sebagaiman dikutip dari BBC Indonesia.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mengecam sekaligus menolak rencanalegalisasi poligami yang sedang dibahas Pemerintah Provinsi Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).  Komnas Perempuan mengingatkan bahwa qanun poligami sama sekali bukan solusi melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan.

Keluarga Poligami yang Jaim
 
Kepada VIVA, Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila menjelaskan betapa raqan itu kontraproduktif, berlebihan secara hukum dan dahsyat dampak buruknya kepada perempuan dan anak-anak mereka.

“Menurut saya itu redundant dengan Undang Undang Perkawinan. Kalau misal kita lihat, rancangan qanunnya itu sepertinya hampir sama. Padahal beda. justru itu saya melihat adanya keinginan untuk mempermudah (poligami),” kata Nina, Selasa 9 Juli 2019.

Dia mengatakan, qanun itu nantinya akan mempermudah poligami karena memang dalam UU Perkawinan syaratnya tak mudah.  Syarat berpoligami dalam UU Perkawinan antara lain istri tidak dapat melayani suami, istri cacat atau sakit yang tidak bisa disembuhkan atau tidak punya anak.
 
“Nah, di situ sifatnya kumulatif tapi di rancangan qanun itu ditekankan bahwa  itu alternatif bahwa hanya satu saja sudah bisa.  Nah ini sedikit agak risky karena istri misal tidak bisa melayani suami, dalam hal apa? itu sangat multitafsir. Jadi itu seperti mempermudah untuk berpoligami. kemudian perbedaan yang kedua tentang izin istri  itu menjadi salah satu syarat juga. Tapi kalau di raqan, kalau istri tidak mau memberikan izin, itu Mahkamah Syariah bisa memberikan izin,” kata dia lagi.

Nina menekankan bahwa Aceh memang daerah dengan otonomi dan bisa memiliki aturan khusus sendiri. Namun aturan yanga di Aceh tak boleh bertentangan dengan aturan dalam UU. Komnas Perempuan meminta agar soal poligami dihapus darai Raqan Hukum Keluarga.

Dia memaparkan pernah melakukan penelitian soal keluarga poligami dan meneliti soal istri pertama dan kedua. Pada dasarnya kata dia, selalu ada konflik walau tidak selalu terbuka karena tidak ada keadilan yang mereka rasakan. Sekalipun pada awalnya meyakini bahwa poligami dianggap sebagian kalangan semacam ibadah.

Dalam keluarga yang dia teliti, awalnya saat wawancara bersama sang suami maka para istri akan menunjukkan citra positif, semacam jaga image alias "jaim". Namun di belakang itu ternyata tak tercermin kebahagiaan dan keadilan di dalam keluarga tersebut.

“Istri pertama sama dengan istri kedua, 15 menit pertama mereka ingin menyampaikan image positif (poligami) misal kondangan pakai seragamlah tapi setelah itu ke sananya keluar. Misal istri kedua itu cemburu itu suami saya kalau hari kerja padahal giliran saya tapi dia mampir ke istri pertamanya,” kisahnya.

“Kemudian saya dikasih nafkah cuma 20 ribu sehari, sedangkan dia 50 ribu, memang sih anak dia tiga orang dan anak saya satu tapi kan anak saya laki-laki, dia kan anaknya perempuan. Jadi kecemburuan kecemburuan seperti itu yang muncul,” ungkap Nina menceritakan soal penelitiannya soal keluarga poligami tersebut.

Nina menegaskan, poligami adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Selama ini Komnas Perempuan ingin agar di UU Perkawinan tidak ada poligami namun memang mau tak mau ada realita bahwa perkawinan itu juga bentuk kompromi banyak pihak. Tak bisa dengan mudah hanya keinginan perempuan yang dimenangkan.

Namun demikian kata dia, hendaklah poligami tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan soal UU Perkawinan sendiri kata dia sudah dimulai tahun 1928 hingga 1974 saat RUU itu akhirnya diundangkan.

“Walaupun saya ingin UU Perkawinan diamandemen melarang poligami tapi kita melihat keberagaman itu, akhirnya kita mengambil yang tengah-tengah itu. Jadi tidak melarang tapi membolehkan tapi diperketat,” katanya.