Membasmi Kebencian Agama di Media Sosial

Ilustrasi media sosial.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Twitter makin serius memerhatikan kesehatan platformnya. Belakangan konten ujaran kebencian yang muncul di media sosial itu membuat perusahaan teknologi asal Amerika Serikat ini gundah gulana. Twitter tak tinggal diam. 

Mikro blog itu baru-baru ini memperbarui peraturan perilaku kebencian di platform mereka, terutama ujaran kebencian berdasarkan agama. Tiap cuitan ujaran kebencian bakal terlarang dan dihapus dari platform tersebut. Twitter mengatakan kebijakan tegas untuk ujaran kebencian berbasis agama ini merupakan langkah awal saja.

Media sosial berlogo burung biru ini mengatakan, pembaruan aturan perilaku kebencian ini bertujuan membuat pengguna tetap aman di media sosial tersebut. Twitter khawatir jika konten kebencian tak ditangani, bisa berisiko bahaya dalam kehidupan nyata. Sudah ada beberapa penelitian yang membuktikan risiko kebencian dalam dunia nyata.

Twitter menegaskan, penghapusan konten ujaran kebencian berdasarkan agama merupakan langkah awal dalam menangani kebencian. Nantinya Twitter akan meluaskan peraturan soal kebencian lain yang berbasis ras, gender dan identitas lainnya.

"Kami minta untuk dihapus apabila dilaporkan kepada kami. Jika dilaporkan, cuitan yang melanggar peraturan dan dicuitkan sebelum hari ini perlu dihapus. Namun demikian, hal ini tidak akan langsung menyebabkan penangguhan akun karena cuitan tersebut dicuitkan sebelum peraturan ini ditetapkan," ujar Twitter.

Pembaruan aturan perilaku kebencian ini merupakan respons atas umpan balik pengguna sepanjang tahun lalu. Pada 2018, cuma dalam kurun waktu dua pekan saja, media sosial besutan Jack Dorsey ini mendapatkan 8 ribu tanggapan dari pengguna di lebih dari 30 negara. Beberapa poin utama masukan dari pengguna yaitu Twitter harus merinci detail contoh pelanggaran, kapan dan konteks yang dipertimbangkan, dalam menindak konten kebencian agama. Intinya Twitter harus tegas tapi saksama menindak ujaran kebencian. 

Selain itu, pengguna juga menyarankan Twitter untuk memersempit apa yang dipertimbangkan. Sebab responden Twitter merasa kelompok yang identifikasi yang dilabeli ujaran penyebar kebencian, terlalu luas. Masukan yang penting dari pengguna yaitu Twitter harus menegakkan aturan secara konsisten. Pengguna ada yang mengeluhkan Twitter pilih kasih dalam menegakkan aturan konten kebencian. 

"Banyak orang menyuarakan keprihatinan tentang kemampuan kami dalam menegakkan peraturan secara adil dan konsisten. Oleh karena itu, kami mengembangkan proses pelatihan yang lebih lama dan lebih mendalam dengan tim kami untuk memastikan mereka mendapat informasi yang lebih baik saat meninjau laporan-laporan yang diterima," ujar Twitter.

Makanya dalam pembaruan kebijakan perilaku kebencian ini, Twitter mengatakan, mereka pasti meninjau secara detail berbagai contoh cuitan yang berpotensi melanggar peraturan terbaru tersebut.  

Sejatinya Twitter sudah lama memberi perhatian pada penanganan perilaku kebencian. Sudah bertahun-tahun lalu Twitter punya kebijakan untuk menumpas kebencian di platform mereka. Twitter tercatat juga sudah berkali-kali bongkar pasang peraturan mereka untuk menyesuaikan kebutuhan penindakan konten kebencian di platform mereka.

Dalam kebijaka terbarunya, Twitter melarang pengguna mempromosikan kekerasan secara langsung menyerang atau mengancam pengguna lain berdasarkan ras, etnis, suku bangsa, orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, afiliasi kepercayaan, usia, keterbatasan fisik atau penyakit serius. 

"Kami melarang akun yang memiliki tujuan utama menghasut untuk menyakiti orang lain berdasarkan kategori di atas," ujar Twitter.

Sebagai contoh detail, cuitan seperti '(kelompok agama) itu seperti virus. Mereka menjangkiti negara ini seperti penyakit'; kemudian 'Kita harus menghentikan (kelompok agama) di negara ini. Waktunya untuk menyingkirkan Kaum Laknat itu!. Cuitan-cuitan seperti itu pasti langsung ditindak oleh Twitter. 

Namun demikian, Twitter mengakui sangat hati-hati untuk menindak cuitan ujaran kebencian berbasis agama. Dari umpan balik, media sosial ini mengaku perlu lebih memahami beberapa hal sebelum akhirnya memperbarui kebijakan peraturan perilaku kebencian. 

Beberapa hal yang menjadi perhatian Twitter yaitu. Pertama, bagaimana Twitter melindungi percakapan pengguna dalam kelompok marjinal, termasuk penggunaan istilah yang biasa dikalangan komunitas mereka. 

Kedua, Twitter berhati-hati menegakkan aturan perilaku kebencian dengan menimbang betul konteks yang ada secara jelas. Sejauh mana tindakan yang dilakukan Twitter itu proposional. 

Cara lapor

Jika kamu melihat atau menemukan sesuai di Twitter yang kamu anggap melanggar kebijakan kebencian, bisa melaporkan melalui halaman  ini.

Pelaporan konten ujaran kebencian pada halaman tersebut masih digabung dengan halaman pelaporan perilaku pengguna yang menyimpang. Ada beberapa opsi jenis pelaporan yaitu pelecehan, ancaman kekerasan spesifik yang mengancam fisik, informasi pribadi terumbar, cuitan spam, dan kebencian. Pilihkan opsi kebencian yang di dalam halaman tersebut meliputi kebencian berbasis ras, agama, gender, orientasi sampai disabilitas. 

Untuk melengkapi laporan ujaran kebencian itu, Twitter mensyaratkan pelapor menyebutkan aksi kebencian itu apakah menyasar pelapor secara langsung, atau menyasar orang lain, atau kelompok lain. 

Twitter meminta melapor menyertakan URL cuitan yang dianggap menyampaikan ujaran kebencian pada kolom, serta tersedia deskripsi problem yang dihadapi atas dugaan konten ujaran kebencian tersebut. Sebagai pamungkas laporan, pelapor wajib menyertakan alamat email, akun Twitter serta tanda tangan digital pelapor dengan mengetikkan nama lengkap sang pelapor.

Bertahun-tahun lalu

Dalam menangkal konten ujaran kebencian, sejatinya Twitter sudah melangkah lebih jauh. Pada 2016, Twitter memilih memblokir notifikasi cuitan yang mengandung kata spesifik seputar kebencian. Fitur pembasmi itu bernama ‘mute’. Fitur ini sejatinya telah hadir sejak lama, tetapi tiga tahun lalu Twitter memutuskan memperluas fungsinya, seiring makin meluapnya konten ujaran kebencian. 

Twitter mengatakan, dengan 'mute', pengguna bisa menonaktifkan kata kunci, frasa sampai seluruh percakapan yang mempromosikan kebencian. 

Sedangkan kala itu, platform digital lainnya seperti Google dan Facebook, memilih sistem yang memfilter dan menandai situs atau akun pendistribusi konten kebencian. Jika Google punya algoritma maka Facebook memanfaatkan kecerdasan buatan untuk penyaringan kontan ujaran kebencian.  

Twitter punya gebrakan baru dalam memburu akun penyebar kebencian. Pada Oktober tahun lalu, Twitter menjalankan proyek dashboard bernama Exploring Online Hate. Tool ini merupakan kolaborasi antara Twitter dengan New America Foundation and Anti Defamation League. 

Pada tahun lalu, proyek ini masih berupa percobaan dan dalam pengujian pada sampel 1000 akun Twitter, sistem ini menemukan 40 akun yang menunjukkan perilaku ujaran kebencian. 

Guyub dan silaturahmi

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Septiadji Eko Nugroho mengapresiasi langkah Twitter dalam memburu konten ujaran kebencian tersebut. Menurutnya langkah pembaruan aturan perilaku kebencian di Twitter bisa mendorong dunia media sosial makin damai dan adem.

"Kebencian dengan menyerang latar belakang agama, terbukti mampu membuka jalan bagi kekerasan, seperti yang terjadi di banyak tempat, seperti pembunuhan jemaah masjid di Christchurch, Selandia Baru," ujarnya.

Dalam konteks ujaran kebencian di Indonesia, Septiadji menegaskan, konten tersebut tidak mendapatkan pembenaran dari sisi apa pun. Sebab ujaran kebencian bertentangan dengan nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. 

"Dan kalau bicara konteks Indonesia, tentu konten ujaran kebencian untuk menyerang pemeluk agama tertentu bertentangan dengan berbagai norma yang berlaku, baik hukum dan agama," katanya.

Menurutnya solusi pemblokiran yang dilakukan Twitter merupakan langkah yang penting. Namun itu merupakan tindakan temporer saja, bukan solusi permanen. 

Septiadji menilai ujaran kebencian akar masalahnya adalah ketidakrukunan di antara masyarakat, dan di era digital, polarisasi akibat isu politik semakin memperparah ketidakrukunan itu. "Solusi ideal adalah membangun kembali nilai keguyuban, rekonsiliasi, silaturahmi," ujarnya. 

Terkait dengan manuver seseorang penebar ujaran kebencian yang mengarah kepada kekerasan, maka solusinya adalah penegakan hukum. Namun, menurutnya, harus dipastikan aktornya adalah aktor intelektual. 

"Sedangkan masyarakat yang mungkin Karena ikut-ikutan, tentu solusi persuasif, atau pun hukuman sosial yang dikedepankan," kata dia.