Politik Nasi Goreng ala Megawati

Prabowo dan Megawati bertemu 24 Juli 2019
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk memasak sendiri makanan bagi tamu yang akan berkunjung ke kediamannya hari itu, Rabu, 24 Juli 2019. Ia ingin menghidangkan nasi goreng spesial untuk tamu istimewanya, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Saking inginnya memasakkan hidangan spesial buat Prabowo, Megawati bahkan memilih sendiri bawang yang akan ia gunakan sebagai bumbu. Kesaksian bagaimana Megawati memilih bumbu disampaikan oleh Hasto Kristiyanto, sekjen PDIP. 

"Ibu ketum secara khusus akan mempersiapkan menu makan siang menyambut Pak Prabowo. Bawang untuk masak pun dipilih secara khusus," kata Hasto kepada wartawan sebelum pertemuan. 

Sebegitu istimewanya kedatangan Prabowo untuk Megawati, sehingga tak hanya nasi goreng yang diolah sendiri oleh Megawati. Ia juga menyajikan bakwan goreng hasil racikannya di dapur.

Kudapan khas tersebut disajikan Mega sebagai hidangan pembuka. Menurut Hasto, keinginan Mega untuk memasak muncul karena ketika bertemu Prabowo saat ajang Asian Games 2018, Prabowo mengaku rindu masakan Mega dan ingin kembali mencicipinya. 

Usai pertemuan, Mega membanggakan hasil olahannya, yang menurut Mega mendapat pujian dari Prabowo. Ia bahkan mengatakan, untuk 'menaklukkan' hati laki-laki maka diperlukan politik nasi goreng. 

"Ada bagian meluluhkan hati laki-laki. Itu namanya politik nasi goreng yang sangat ampuh," kata Mega. Sayangnya, Mega tak menjelaskan hal apa yang perlu diluluhkan dari Prabowo.

Pertemuan Besar Dua Ketua Umum

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, datang ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat sekitar pukul 12.30 WIB. Ia ditemani oleh Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo. 

Kehadiran Prabowo disambut sejumlah tokoh yang merupakan kader utama PDI Perjuangan. Tampak menyambut Prabowo, Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Kepala Pusat Analisa dan Pengendali Situasi PDIP Muhammad Prananda Prabowo, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dan politikus senior PDIP Pramono Anung. Hadir pula, Kepala Badan Intelijen Negara, Budi Gunawan. 

Pertemuan Mega dengan Prabowo seolah menjadi pertemuan lanjutan setelah Prabowo bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Pertemuan dua kandidat calon presiden pada Pemilu 2019 itu diadakan di dalam gerbong MRT, dan dilanjut dengan makan siang di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia.

Tak ada hasil pembicaraan yang disampaikan pada publik, kecuali bahwa pertemuan itu bicara masalah kebangsaan dan berangkat dari keinginan untuk membangun bangsa ini bersama-sama. 

Tak beda jauh dengan jawaban ketika bertemu dengan Jokowi, kedua pihak mengatakan tak ada pembicaraan politik dalam pertemuan tersebut. Pihak Mega maupun Prabowo sama-sama mengatakan pertemuan itu terjadi atas dasar keinginan untuk menyelesaikan kompetisi pilpres yang sudah berlalu. 

"Dengan diplomasi makan siang itu kan segala sesuatu menjadi lebih ringan untuk kita membahas tentang bangsa dan negara," kata Hasto Kristiyanto sebelum pertemuan itu di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu 24 Juli 2019.

Hasto menekankan, membangun sebuah negara besar seperti Indonesia tidak bisa dikerjakan orang per orang. Partainya, sejak awal, selalu mengedepankan kerja bersama atau gotong royong.

"Apa pun, ideologi kita Pancasila, intisarinya gotong royong. Diperlukan upaya bersama-sama, apa pun pilihan politiknya untuk membangun negeri ini agar demokrasi semakin mampu membawa kesejahteraan, keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia," tuturnya.

Meski mengaku tak membicarakan politik, tapi kehadiran Prabowo di kediaman Mega menjadi langkah besar dalam politik yang penuh simbol. Apalagi, dalam pertemuan di rumah Mega tersebut tak nampak para ketua partai pendukung Jokowi, termasuk Luhut B Panjaitan dan Moeldoko yang selama ini kerap terlihat dalam setiap urusan pemerintahan Jokowi.

Kalimat Mega bahwa politik nasi goreng untuk meluluhkan hati lelaki juga bisa dimaknai dengan berbagai tafsir. Terutama soal isu merapatnya Prabowo dan Gerindra ke gerbong Jokowi yang sempat ditolak oleh para parpol yang sejak awal konsisten mendukung Jokowi dalam pilpres.

Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang, melihat bahwa pertemuan itu tidak istimewa, melainkan sebuah pertemuan biasa. Menurutnya, Prabowo dan Mega memang tak pernah bermusuhan.

"Tak ada yang istimewa. Prabowo dan Megawati sejak dulu memang sudah memilki hubungan baik, jadi pertemuan itu ya pertemuan biasa saja," ujarnya.

Menurunkan Tensi Politik atau Berbagi Kekuasaan?

Pertemuan Megawati dan Prabowo, yang disebut hanya membincang hal-hal kebangsaan dan tak bicara pembagian kekuasaan, tak terlalu dipercaya. Bahkan, meski Megawati mengatakan bahwa pertemuan tersebut terjadi untuk memperlihatkan pada publik, semua hal terkait kompetisi dalam pilpres kemarin telah usai, dan mereka hanya ingin memperlihatkan bahwa elite dua partai besar sudah memilih berdamai. 

Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, memilih mengaminkan hal tersebut. "Kita selalu menyambut positif pada setiap silaturahmi antartokoh nasional. Termasuk pertemuan Pak Prabowo dengan Ibu Megawati Soekarnoputri hari ini," ujar Haedar di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.

Haedar menerangkan, pertemuan antara Prabowo dan Megawati ini menandakan jika tensi politik pasca-Pilpres 2019 mengalami penurunan. Selain itu, lanjut Haedar, pertemuan dua ketum parpol tersebut sebagai simbol silaturahmi dan menyambung tali persaudaraan.

"Selain menyambung persaudaraan, tentu kalau para tokoh ketemu itu kan juga ada pesan nilai. Artinya pesan nilainya agar kehidupan politik nasional itu juga dalam perbedaan pilihan politik dan sikap politik tetap ada rekatan. Rekatan tentang cita-cita bangsa, tentang Indonesia ke depan mau diapain," ungkap Haedar.

Haedar menambahkan bahwa bertemunya dua tokoh partai ini membawa pesan bagi masyarakat. Pesan tersebut mengenai persatuan dan kesatuan bangsa.

"Tentu pesannya juga untuk rakyat Indonesia. Untuk membuka lembaran baru dalam konteks bahwa lima tahun ke depan itu harus ada progres dalam kehidupan kebangsaan kita," tutur Haedar.

Tapi sebagian kalangan meyakini, pertemuan tersebut adalah pertemuan simbolik bahwa PDIP sebagai partai terbesar yang mendukung Jokowi justru malah menerima kedatangan Prabowo dan Gerindra. Apalagi, tak lama setelah pertemuan, Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria, menegaskan partainya tidak ingin gabung ke pemerintah jika tak memberikan kontribusi positif. 

Riza mengatakan, saat ini partainya tengah mempertimbangkan, kontribusi positif apa yang bisa diberikan pada pemerintah jika mereka bergabung. "Jadi tidak ada artinya berada dalam pemerintahan bila tidak punya kontribusi positif," kata Riza, Rabu 24 Juli 2019.

Saat ini, menurut Riza, keputusan posisi Gerindra apakah akan ada di pemerintahan atau di luar pemerintahan berada di tangan Prabowo selaku ketua umum. Prabowo juga akan mengajak sejumlah tokoh di Gerindra untuk mendiskusikan hal tersebut.

"Beliau (Prabowo) akan memutuskan yang terbaik. Bukan yang terbaik bagi kepentingan Gerindra, tapi jauh untuk kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan kepentingan rakyat," ujarnya

Pangi Syarwi Chaniago, analis politik dan direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting memiliki dua perspektif soal pertemuan Prabowo-Megawati. Pertama, ia menganggap ini adalah pertemuan biasa karena Prabowo dan Mega adalah sosok nasionalis yang pernah berjalan bareng dalam politik.

Apalagi, Prabowo dan Mega memiliki hubungan yang jauh lebih cair dibanding Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati. 

Kedua, pertemuan ini juga bisa disebut sebagai sinyal, ada deal bagi-bagi kursi menteri. "Apakah sinyal bergabungnya Gerindra ke gerbong Pak Jokowi. Kalau misalnya itu ada pada Bu Mega, kalau restu itu datang, kalau Bu Mega yang sudah kasih coding (kode) dan sinyal maka kemungkinan tidak ada yang bisa menolak. Termasuk PKB, Golkar, Nasdem dan partai pengusung utama lainnya,” ujar Pangi kepada VIVAnews, Rabu, 24 Juli 2019. 

“Tidak ada kesulitan, untuk resistensi mereka agak berkurang. Karena ini kan direstui Bu Mega sebagai partai pengusung utama," tuturnya.

Pangi lebih menyorot tentang kuatnya chemistry antara Mega dan Prabowo. Ia menganalisis, pertemuan Prabowo dan Mega sebenarnya adalah cara Mega untuk memperlihatkan bahwa ia merasa nyaman dan bisa menerima Prabowo serta Gerindra dalam gerbong politik Jokowi.

Sebab, ujarnya, justru masuknya partai baru tersebut termasuk dengan menampilkan Budi Gunawan, Prananda, dan Puan Maharani dalam menyambut Prabowo sebagai cara untuk mengimbangi dan memecah konsentrasi karena adanya pengaruh dominasi terlalu kuat di lingkaran Jokowi. 

"Misalnya kan Pak Luhut, kita tahu namanya Wiranto, Pak Surya Paloh. Ini kan termasuk tokoh-tokoh sentral yang cukup dominasi dan berpengaruh, yang memengaruhi Pak Jokowi selama ini,” kata Pangi. 

“Perang pengaruh ini, mungkin Megawati lebih nyaman akhirnya dipecah konsentrasi pengaruh ini dengan masuknya BG. Dan berimbang, pengaruh itu tidak terlalu kuat lagi," kata dia.

Pangi menduga, apa yang dilakukan oleh Mega adalah cara PDI Perjuangan merespons kegelisahan parpol koalisi pendukung Jokowi yang melakukan pertemuan tanpa melibatkan PDI Perjuangan, setelah Jokowi bertemu dengan Prabowo di gerbong MRT beberapa waktu lalu. Menurutnya, jika melihat gejala politik kegelisahan di antara parpol justru terlihat nyata sehingga mereka merapat dengan chemistry masing-masing. 

“Jadi sementara seolah Nasdem lah yang dianggap menjadi nakhoda untuk memimpin ini, supaya kue kekuasaan mereka tidak berkurang. Mengamankan kekuasaan, jadi mereka berkumpul," ujar Pangi.  

Sementara itu, dia melanjutkan, yang terjadi di PDIP adalah khawatir dengan kelompok-kelompok yang terlalu mendominasi di lingkaran Jokowi. Masuknya Gerindra bisa saja memecah dominasi pengaruh itu agar tak terlalu dominan.

Analis politik senior ini juga memastikan, mengajak Gerindra bergabung dengan pemerintahan bukan karena kekhawatiran Jokowi bahwa ia bisa ditelikung oleh parpol koalisinya di tengah jalan. Sebab, menurutnya, parpol di koalisi Jokowi justru tak punya sejarah membelot. Partai-partai tersebut adalah partai yang loyal. 

Menurut catatan Pangi, justru yang memiliki rekam jejak buruk dalam koalisi adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua partai ini disebut Pangi sebagai partai yang kurang loyal dan kurang disiplin dalam koalisi. (art)