Siaga Darurat Kekeringan

Ilustrasi areal persawahan yang mengalami kekeringan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

VIVA – Tanah dekat Pantai Anom, di Desa Kramat, Pakuhaji, Tangerang, retak-retak. Berbagai pohon di atasnya meranggas kekeringan. 

Penyebabnya, hujan tak kunjung mengguyur daerah itu. “Belum turun hujan sudah hampir dua bulan lebih,” ujar Kepala Desa Kramat Nur Alam kepada VIVAnews, Selasa 30 Juli 2019.

Tahun ini, menurut Nur, merupakan musim kemarau terparah. Biasanya, jika kemarau datang, tak sampai membuat tanah retak. Meski kekeringan, belum ada keluhan dari warga terkait ketersediaan air. 

Saat ini, kekeringan tak hanya melanda Tangerang. Sejumlah wilayah lain di Tanah Air pun mengalami hal serupa. Dalam siaran pers, Selasa, 30 Juli 2019, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) melansir, berdasarkan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kekeringan tahun ini diprakirakan berlangsung lama dan jauh lebih kering dari sebelumnya.

Dari hasil analisis BMKG, teridentifikasi ada potensi kekeringan meteorologis  tersebar di sejumlah wilayah. "Berdasarkan hasil monitoring HTH (Hari Tanpa Hujan) hingga tanggal 30 Juni 2019, terdapat potensi kekeringan meteorologis (iklim) di sebagian besar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, dengan kriteria panjang hingga ekstrem," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 4 Juli 2019.

Terkait HTH, ada beberapa status yang diterapkan. Untuk status awas, yaitu daerah yang telah mengalami HTH lebih dari 61 hari, serta prakiraan curah hujan rendah kurang 20 milimeter dalam 10 hari mendatang dengan peluang lebih dari 70 persen. 

Wilayah itu di antaranya, Jawa Barat, yaitu Bekasi, Karawang, dan Indramayu. Kemudian, Jawa Tengah, terdiri dari Karanganyar, Klaten, Magelang, Purworejo, Rembang, Semarang, dan Wonogiri. Lalu, sebagian besar Jawa Timur. 

Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Sleman. Sementara itu, di Bali, yaitu di Buleleng. Di Nusa Tenggara Timur meliputi Sikka, Lembata, Sumba Timur, Rote Ndao, Kota Kupang, dan Belu. Kemudian, Nusa Tenggara Barat, terdiri Bima, Kota Bima, Lombok Timur, Sumbawa, dan Sumbawa Timur. 

Sementara itu, status siaga, yaitu wilayah yang telah mengalami HTH lebih dari 31 hari, serta prakiraan curah hujan rendah kurang 20 mm dalam 10 hari dengan peluang lebih dari 70 persen. Wilayah tersebut di antaranya, Jakarta Utara, Banten, yaitu di Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Tangerang. 

Sedangkan status waspada, yaitu wilayah yang telah mengalami HTH lebih dari 21 hari, serta prakiraan curah hujan rendah kurang 20 mm dalam 10 hari dengan peluang lebih dari 70 persen. Wilayah itu terdiri dari Aceh, meliputi Aceh Besar, Pidie, Bireuen. 

Kemudian Jambi di Merangin, Batanghari, dan Bengkayang, Lampung, yaitu di Way Kanan; Kalimantan Tengah, yaitu di Pulangpisau; Kalimantan Barat, yaitu di Bengkayang; Sulawesi Selatan meliputi Bantaeng, Selayar, dan Takalar.

Ribuan Desa Kekeringan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga 15 Juli 2019, terdapat sebanyak 1.963 desa, 556 kecamatan dan 79 Kabupaten terdampak kekeringan. Ribuan desa itu berada di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bahkan, sejumlah wilayah kabupaten dan kota telah menetapkan status siaga darurat kekeringan. Hingga Senin 22 Juli 2019, BNPB mengidentifikasi sebanyak 55 kepala daerah telah mengeluarkan surat keputusan bupati dan wali kota tentang siaga darurat bencana kekeringan. 

"Data BNPB per 22 Juli 2019, 75 kabupaten dan kota terdampak kekeringan, yaitu Jawa Barat 21 kabupaten, Banten satu kabupaten, Jawa Tengah 21, DI Yogyakarta dua, Jawa Timur 10, Bali dua, NTT 15, dan NTB sembilan," ujar Pelaksana Harian (Plh) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo.

Provinsi yang menetapkan status siaga darurat kekeringan antara lain Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan NTT. 

Untuk Provinsi NTT yang menyatakan status siaga kekeringan terdapat  lima kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Manggarai, Rote Ndao,  Flores Timur,  Kota Kupang. Sementara itu, NTB, wilayah yang telah menetapkan status tersebut, yaitu Kabupaten Bima, Dompu, dan Sumbawa.

Sedangkan wilayah terbanyak yang menetapkan status siaga darurat kekeringan, yaitu Provinsi Jawa Timur. Sejumlah 25 kabupaten di provinsi tersebut teridentifikasi berpotensi kekeringan. Sementara Provinsi Banten hanya di Kabupaten Lebak yang telah menetapkan status siaga.

Akibat kekeringan, masyarakat mengalami kesulitan air. Puluhan warga desa di tiga kecamatan wilayah Bogor, Jawa Barat, misalnya. Untuk mendapatkan air bersih, warga mesti menempuh jarak berkilo-kilometer. "Di Desa Weninggalih, sudah krisis air bersih. Ada ratusan kepala keluarga," kata Ketua LPM Desa Weninggalih, Engkos Kosasih kepada VIVAnews, Minggu 21  Juli 2019.

Tak hanya sulit air, lahan sawah yang sudah ditanami padi dipastikan gagal total. Saat ini, tercatat 680 hektare dari 6.849 hektare lahan pertanian terancam gagal panen. “Sudah dipastikan gagal, kami sudah berkoordinasi untuk mencari sumber air dan bantuan ke pemerintah,"  kata Kepala Unit Pelayanan Teknis wilayah Jonggol, Dinas Pertanian Hortukultura dan Perkebunan, Kabupaten Bogor, Akmad.

Adapun se Jawa Barat, hingga 9 Juli 2019, terdapat 1.682 hektare lahan sawah di 12 kabupaten/kota  mengalami puso atau gagal panen pada musim kemarau ini. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Hendi Jatnika menjelaskan, 12 daerah itu di antaranya Kabupaten Kuningan mencapai 654 hektare, Kabupaten Sukabumi 330 hektare, Kabupaten Garut 202 hektare, Cirebon 150 hektare, dan Cianjur 140 hektare.

Hujan Buatan

Untuk mengatasi kekeringan, Presiden Joko Widodo meminta BNPB mengadakan hujan buatan. Kepala BNPB, Doni Monardo mengatakan, instansinya pun telah mendapat permohonan dari para kepala daerah guna membuat hujan buatan. 

Lantaran itu, BNPB perlu kerja sama dengan beberapa lembaga terkait seperti BMKG hingga Markas Besar TNI. "Daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca. Ini juga tergantung dari  keadaan awan, sehingga apabila awannya masih tersedia, sangat mungkin hujan buatan masih bisa dilakukan," ujar Doni di Kantor Presiden di Jakarta, Senin 15 Juli 2019.

Puncak musim kemarau atau curah hujan paling rendah diprediksi terjadi pada Agustus 2019. Doni mengungkapkan, pihaknya mendapat arahan dari Presiden untuk mencegah kebakaran hutan di beberapa wilayah. "Mencegah jauh lebih baik dibandingkan operasi  pemadaman,” katanya. 

Kekeringan dapat memicu spot api. "Penyebabnya disampaikan 99 persen, karena ulah manusia. Ini dibagi dua lagi, sengaja dan tidak sengaja," ujar Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kemenko PMK, Dody Usodo.

Dia menambahkan, "Yang sengaja, ini mungkin cari jalan singkat untuk bersihkan lahan. Ini bisa merembet. Bisa juga yang klasik, karena puntung rokok. Yang tidak sengaja karena cuaca, pancaran sinar bisa jadi titik api."

Pada 2015, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, diketahui tak hanya berdampak pada wilayah itu. Negara tetangga juga terkena imbas asap kebakaran tersebut.

Menurut Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, Tri Handoko Seto, peristiwa 2015, tidak akan terjadi pada 2019. Sebab, pada 2015, ada elnino, sehingga semakin berpengaruh pada kondisi kebakaran hutan dan lahan. Saat ini, kondisi cuaca tidak seperti empat tahun lalu. "2015, ada elnino. Sekarang lemah, sehingga tidak sebesar itu potensi ancamannya," kata Seto.

Peristiwa 2015, menurut Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan, menjadi mimpi buruk. Namun, usai itu, pihaknya berbenah. Koordinasi lintas sektor berjalan dengan baik, sehingga setelah 2015, hampir tidak ada peristiwa serupa lagi. "Sejak itu, jumlah kebakaran hutan makin menurun. Cuaca fluktuasi, tetapi kesiapan lebih dikencangkan. Ini titik balik 2015," ujarnya. (asp)