Menggantung FPI

Massa dari Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi mengawal sidang putusan gugatan praperadilan atas SP3 kasus Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, 24 Oktober 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Novrian Arbi

VIVA - Sebuah petisi muncul di situs change.org pada awal Mei 2019, hampir satu bulan pasca-pemilu. Rupanya, petisi yang diinisiasi oleh seseorang bernama Ira Bisyir itu berisi sesuatu yang kontroversial, dan tentu saja mengundang pro dan kontra yaitu meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar tidak memperpanjang izin Front Pembela Islam alias FPI, sebuah ormas Islam yang kiprahnya selama ini menjadi sorotan publik.

Saat petisi itu muncul, izin FPI memang mau habis. Batasnya 20 Juni 2019. Petisi itu lantas menilai FPI termasuk kelompok radikal. Bahkan mengkategorikan FPI pendukung kekerasan, juga pendukung Hizbut Tahrir Indonesia, yang kini sudah dibubarkan pemerintah.

Baca selengkapnya: Muncul Petisi Ajak Setop Izin FPI. 

Usai petisi itu terbit, sejumlah pihak pun bereaksi termasuk dari kalangan petinggi FPI. Ketua Umum FPI, Sobri Lubis, mengaku tak mau ambil pusing soal petisi itu.

Dia mengatakan tidak ada masalah dengan petisi itu. Dia menilai petisi itu cuma pendapat orang. "Silakan aja," kata Sobri di Kertanegara, Jakarta, Selasa 7 Mei 2019.

Sobri menegaskan bahwa justru yang menjadi harapan masyarakat yang begitu besar adalah agar FPI semakin kuat. Tetap serius untuk mengawal dan mendampingi masyarakat daripada kerusakan-kerusakan yang sekarang terjadi.

Lebih dari itu, Sobri mengemukakan hanya orang-orang maksiatlah yang minta FPI dibubarkan. Sebab, kenyataannya FPI selalu melakukan kegiatan yang tentram dan membawa simpati masyarakat.

Misalnya kegiatan 212. Dia menegaskan kegiatan yang digagas FPI selalu taat jalur hukum juga, serta aman dan damai.

"Nah, itu jadi kalau sebatas, mungkin orang-orang yang doyan maksiat ya biasanya mereka yang minta supaya FPI dibubarkan. Enggak masalah," ujarnya.

Sobri mengatakan FPI sudah menyiapkan daftar ulang kembali ke Kementerian Dalam Negeri soal izin tersebut. Sobri menyebut pihaknya akan mengikuti prosedur yang ada seperti biasa mereka lakukan selama ini.

"Sebelum waktu habis akan kita daftarkan ulang lagi. Jadi santai saja. Jadi FPI semuanya jalurnya prosedural. Insya Allah taala buat FPI normal-normal saja. Karena dari dulu kita di atas jalur hukum," katanya lagi.

Pancasila dan UUD 1945

Tidak lama setelah munculnya petisi itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kemudian angkat bicara. Dia mengatakan setiap ormas yang habis masa berlakunya maka bisa diperpanjang dan mengajukan kembali kepada Kemendagri dan nantinya akan dievaluasi.

Menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengakui setiap masyarakat atau orang boleh mendirikan sebuah ormas atau partai politik karena itu dilindungi oleh undang-undang. Secara prinsip pemerintah tidak mempunyai kewenangan melarang masyarakat membuat perhimpunan atau ormas asal sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu harus menerima Pancasila dan UUD 1945.

Dia juga berjanji akan mempertimbangkan berbagai petisi-petisi yang beredar luas terkait penolakan dan dukungan terhadap FPI. Apalagi yang menandatangani banyak, lebih dari satu orang.

Pada kesempatan lain, Tjahjo mengatakan FPI memang sudah mengajukan permohonan perpanjangan. Namun sedang dievaluasi.

Untuk evaluasi dibentuk tim di Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum). Tidak hanya FPI tapi sejumlah ormas lain yang juga mengajukan ke Kemendagri.

"Kita telaah, kita pelajari dulu AD/ART yang terbaru bagaimana, komitmen terhadap NKRI dan Pancasila, itu yang dilihat," ujarnya.

Tjahjo juga menegaskan tidak ada politisasi dalam kasus perpanjangan izin FPI. Dia menyampaikan Dirjen Polpum Kemendagri tengah mempelajari persyaratan administrasi, AD/ART, track record dan aktivitasnya selama ini.

Waktu kemudian terus berjalan. Sampai batas izin berlakunya FPI sebagai ormas yang terdaftar di Kemendagri yaitu 20 Juni 2019 berakhir. Tapi tak ada indikasi izin mereka diperpanjang.

Apakah ini bentuk sikap pemerintah yang menggantung FPI? Terlebih ormas tersebut pada Pilpres 2019 mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang jadi lawan calon petahana, Jokowi-Ma'ruf Amin.

Sekretaris Umum FPI, Munarman, menyatakan jika dilihat dari sudut pandang politik, maka pendapat yang menyebut organisasinya itu memang di-blocking menjadi sah-sah saja. Sebab, FPI memang mendukung pasangan calon tertentu di pilpres lalu.

Tapi, di samping aspek politik, Munarman menilai ada pihak yang menarik-narik ke aspek ideologi. Untuk masalah ini, mereka bisa menjawab dengan ilmiah karena di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga mereka tertulis bahwa asas, aqidah yang dianut FPI adalah Islam ahlussunah wal jamaah, dan bermazab Imam Syafii.

"Semua sebetulnya tidak ada persoalan karena mazab Syafii, aqidah ahlussunah wal jamaah, itu dianut oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia. Dan itu clear kita sudah diskusi, tidak ada persoalan," kata Munarman saat tampil di tvOne, belum lama ini.

Namun, lanjut Munarman, di Republik Indonesia ini bukan cuma satu elemen atau kelompok. Dia melihat dari sudut pandang FPI, ada kelompok-kelompok yang kategorinya pembenci atau haters organisasi tersebut.

"Itu ada, harus diakui fakta itu. Walaupun ini kelompoknya kecil," kata Munarman lagi.

Meskipun demikian, Munarman mengakui kelompok kecil tersebut menguasai opini. Lalu opini itu dikembangkan, ditarik ke sana kemari, sehingga seolah-olah masalah pendaftaran atau perpanjangan izin FPI jadi persoalan yang krusial. Padahal jika diletakkan dalam persoalan yang normal-normal saja maka masalah itu hanya urusan prosedur administrasi.

Munarman menambahkan di masa izin habis dan perpanjangan belum dikeluarkan pemerintah seperti sekarang ini, FPI masih bisa melakukan kegiatan. Bedanya hanya mereka tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah seperti dana hibah APBN, melakukan kerjsama dengan instansi pemerintah dan lain-lain.

Belum Lengkap

Sekretaris Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Didi Sudiana, mengatakan setelah mereka verifikasi, berkas perpanjangan izin dari FPI masih belum lengkap. Tak ada niat menggantung, tak ada politisasi. Yang ada, persyaratan dari Kemenag yang belum dilengkapi FPI, salah satunya surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai ormas.

"Kalau sesuai UU Ormas, dipersyaratkan yang akan melakukan SKT itu harus lengkap administrasinya. Kita juga menyarankan, agar ya kita asasnya ideologi Pancasila kan, landasan negara," kata Didi di kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin 29 Juli 2019.

Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Polpum) Kemendagri Soedarmo menuturkan FPI belum memenuhi lima syarat administrasi. Pertama, surat permohonan belum diberi nomor dan perihal surat, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf D Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi  Organisasi Kemasyarakatan.

Kedua, anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga belum memuat mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan internal dan dokumen belum ditandatangani, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi  Organisasi Kemasyarakatan.

Ketiga, surat pernyataan kesanggupan untuk melaporkan kegiatan bermaterai, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf g dan Lampiran huruf C Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi  Organisasi Kemasyarakatan.

Keempat, surat pernyataan belum menyatakan bahwa nama, lambang bendera, simbol, atribut belum menjadi hak paten dan/atau hak cipta pihak lain serta bukan merupakan milik pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi  Organisasi Kemasyarakatan;

Dan kelima, rekomendasi Kementerian Agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan.

Dibandingkan OPM

Atas apa yang dialami FPI, sejumlah pihak menyatakan simpatinya. Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, menyatakan dukungan masyarakat terhadap Front Pembela Islam lebih banyak ketimbang mereka yang menyampaikan petisi agar organisisasi tersebut tidak diperpanjang daftar izinnya.

Menurut Hidayat, penolakan bukan kali ini saja terjadi. Justru yang dilihat, makin ke sini organisasi yang bermarkas di Petamburan itu memberikan kontribusi di dalam kehidupan sosial masyarakat.

"Kalaupun ada 100 ribu yang menandatangani petisi semacam itu, akan ada sejuta lebih yang akan mendukung FPI," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Mei 2019.

Hidayat balik mempertanyakan apa kesalahan FPI hingga sekelompok orang menentang kehadirannya. Di sisi lain, ia kemudian membandingkan, keberadaan organisasi FPI dengan Organisasi Papua Merdeka.

"Kok enggak ada yang bikin petisi bubarkan OPM? FPI justru selalu menegaskan tentang dukung NKRI, mendukung pemberantasan korupsi, mendukung penegakan hukum, mendukung pemberantasan narkoba," ujarnya.

Tapi, pendapat berbeda disuarakan Gerakan Pemuda Ansor. Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, semua kebijakan ada pada pemerintah yang mempunyai wewenang untuk memperpanjang atau tidak Ormas FPI.

Jika, dalam salah satu pasal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART Ormas FPI ada keinginan mendirikan khilafah Islamiyah maka kata dia, FPI harus ditutup.

"Kalau menurut saya, lihat lagi AD/ART FPI. Jika di situ ada pasal yang jelas bertentangan dengan aturan-aturan dasar yang disepakati berlaku di negeri ini, misalnya ada pasal di AD/ART-nya yang ingin menegakkan khilafah, pemerintah enggak usah ragu, sikat saja," tuturnya.

Terlepas dari polemik atau pro kontra yang ada, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, menuturkan jika suatu ormas mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) maka mereka akan mendapatkan pelayanan atau fasilitas dari pemerintah baik di tingkat daerah sampai pusat misalnya untuk pembinaan, kerja sama kegiatan, dapat hibah. Namun, apabila ormas itu tidak dapat SKT, mereka tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah. (hd)