Menggapai Haji Mabrur 

Jemaah haji RI jelang khotbah wukuf di Arafah
Sumber :
  • Beno J/VIVA.co.id

VIVA – Syairi baru tergugah dari tidurnya. Masih berpakaian ihram lengkap, berbaring di sudut kamar hotel di wilayah Syiyah Kota Mekah. Syairi tak sendirian. Sekamar sembilan orang dan lakunya sama. Mereka kompak rebahan selepas Dhuha menjelang siang. Syairi sekamar bersama teman satu kampung, Desa Aik Prapa, Aikmal, Lombok Utara.

Tak ada aktivitas mencolok dari kamar yang berada di sudut bangunan. Kamarnya terpisah dari lift yang berada di tengah. Kamarnya cukup luas, tapi siang itu dengan pencahayaan yang redup, meski sudah siang. Mereka baru beristirahat sepulang salat malam dan subuhan di Masjidil Haram. 

Syairi dan sembilan temannya merupakan jemaah haji Kloter 1 Embarkasi Lombok yang berniat ifrad. Sejak tiba di Mekah, 15 Juli 2019 lalu, dari Madinah, Syairi dan teman-temannya tidak pernah melepas ihram sampai selesai proses ibadah haji.

Haji ifrad dimaknai orang yang berhaji dengan cara Ifrad, yakni orang yang berhaji dengan hanya berniat mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umrah. Bisa saja mereka melaksanakan umrah, tapi itu dilakukan setelah selesai berhaji.

Cara haji ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari umrah. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak tercampur dengan ibadah umrah. Yang melaksanakan haji ifrad ini tidak diharuskan membayar dam atau denda. 

Ibadah haji

Berniat haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, itu kenapa dianggap sebagai yang lebih utama. Bayangkan saja, mereka yang berniat haji Ifrad tidak melepas ihramnya hingga prosesi ibadah haji selesai. 

Tak hanya itu, sejak berniat ihram untuk haji Ifrad, otomatis berlaku pula segala yang diharamkan selama berihram. Seperti mencukur rambut, memotong kuku, menikah, bersetubuh atau jima'. Mereka juga mesti menahan diri dari perbuatan sia-sia, berbohong dan berkelahi. 

Umumnya, mereka yang melaksanakan haji Ifrad itu tiba di Tanah Suci pada kloter-kloter akhir pemberangkatan. Sehingga waktu mereka mengenakan ihram tidak terlalu lama. Tapi bagi Syairi dan kawan-kawan, mereka nyaris satu bulan tak melepas ihram.

"Kalau dihitung semua 28 setengah hari (berpakaian ihram), sampai melontar Aqobah nanti, setelah melontar Aqobah kita tahalul terus kita tawaf ifadah hari itu juga pada 10 Zulhijah. Setelah selesai kita buka ihram, setelah tahalul pun kita bisa buka ihram dan kita pergi tawaf ifadahnya," kata Syairi saat ditemui Tim MCH Mekah, Sabtu 3 Agustus 2019.

Laku ibadah haji Syairi dan teman sedesanya ini merupakan wasiat turun temurun dari orangtua mereka ketika berhaji. Syairi bersama 18 orang jemaah haji asal Desa Aik Prapa Lombok Timur,  dipesankan ketika berhaji niatnya adalah haji Ifrad. 

"Kita dikasih di kampung sama orangtua, sejak dulu di kampung saya ambil haji Ifrad semua. Dia bilang kita mengikuti sunahnya Nabi Muhammad. Nabi kita dulu ifrad dulu," ujarnya.

Syairi dan teman sekampungnya sadar betul konsekuensi dari niat berhaji Ifrad bagi jemaah Kloter I Lombok ini. Ia bersama teman-temannya sesama haji Ifrad menjaga betul tingkah laku, perkataan sampai pada urusan mandi sangat hati-hati. Walau cuma bawa dua stel pakaian ihram, Syairi berusaha menjaga kesucian diri.

Tekad para jemaah haji Ifrad ini memang sudah bulat. Sejak mendaftar haji tahun 2010, Syairi dan teman sekampungnya sudah mempelajari laku haji Ifrad yang dipesankan orang tua. Mereka belajar syariatnya, menahan segala yang paling berat dalam laku haji Ifrad dan perbuatan yang bisa merusak ibadah haji. 

"Sejak daftar pun, tekad kita sudah beda dengan yang biasanya," terang Syairi.

Syairi, jemaah haji ifrad asal Lombok

Soal pergaulan di kamar hotel dengan jemaah lain, Syairi mengaku tidak ada yang berubah. Cuma caranya berpakaian saja yang tak biasa, pakai pakaian ihram. Di luar itu, mereka biasa bergaul, makan bersama juga berbaur dengan jemaah haji lainnya.

Bedanya, Syairi dan teman-temannya lebih banyak menghabiskan waktu beribadah, tawaf sunah di Masjidil Haram. Ada yang juga punya tirakat menjaga puasa. Sekalinya pulang ke hotel benar-benar digunakan untuk beristirahat. 

"Tiap hari kami ke Masjid Haram, tak tentu kadang selesai Ashar nanti selesai Isya pulang, kadang pukul 1 ke sana, nanti Subuh pulang," ungkapnya.

Semua laku ibadah haji Ifrad dengan menjaga tingkah laku, jaga perkataan dan menghindari perbuatan sia-sia sudah menjadi tekad Syairi dan teman-teman sejak di Tanah Suci. Apalagi hari-hari ini menjelang wukuf di Arafah. 

"Mudah-mudahan Allah mengasih kita kesehatan, yang penting mendapat ridho dari Allah, dan supaya Allah mengasih kita menjadi haji mabrur," ujar Syairi berharap.

Wukuf di Arafah

Syairi bersama jutaan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia, hari Jumat, 8 Zulhijah 1440 H/ 9 Agustus 2019, bersiap untuk diberangkatkan menuju Arafah. Di padang pasir berbatu itu, jutaan umat muslim melaksanakan wukuf pada tanggal 9 Zulhijah.

"Al Hajj Arafah.." begitu bunyi sabda Nabi Muhammad SAW. Arafah memiliki makna penting dalam prosesi ibadah haji, karena wukuf di padang luas yang terletak di sebelah timur luar Kota Mekah ini merupakan rukun haji.

Wukuf secara harfiah dimaknai berhenti atau berdiam diri di Padang Arafah. Waktunya sesuai syariat hukum Islam, yakni dari mulai tergelincirnya matahari 9 Zulhijah sampai dengan terbenamnya matahari pada tanggal 10 Zulhijah.

Dalam rangkaian ibadah haji, wukuf di padang Arafah merupakan ritual paling penting yang wajib dilakukan oleh setiap jemaah haji sebagai puncak ibadah haji. Tidak sah hajinya bila tidak wukuf di Arafah. 

Tak heran, jemaah haji mengupayakan berbagai cara, sekalipun sakit, harus di safari-wukufkan, bahkan apabila ia meninggal dunia sebelum sempat melaksanakan wukuf di Arafah ini, maka akan dibadal-hajikan.

"Haji itu intinya wukuf di Arafah, barang siapa yang menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji" begitu bunyi sabda Nabi Muhammad SAW.

Ada berbagai pendapat ulama tentang wukuf di Arafah. Ada yang beranggapan wukuf di Arafah itu sah walau hanya sesaat saja. Tapi ada yang berpendapat bahwa wukuf itu harus menggabungkan siang dan malam, artinya dari mulai tergelincir sampai terbenam matahari.

Jemaah haji berada di Jabal Rahmah, di Padang Arafah

Prof Dr Quraish Shihab dalam artikelnya tentang wukuf di Arafah, mengatakan dari segi pandangan hukum Islam, siapa yang berhenti walau sejenak di Padang Arafah setelah tergelincirnya matahari 9 Zulhijjah, maka wukufnya dapat dinilai shahih (sah hajinya).

Walau yang dituntut oleh hukum Islam sebenarnya, demi kesempurnaan wukuf adalah keberadaannya di Arafah dari tergelincir matahari hingga matahari terbenam. Tapi dengan hanya sesaat berada di Arafah bukan berarti tidak berkualitas. 

"Mengapa walau sesaat, karena sesaat atau sedikit dapat menghasilkan atau mengakibatkan banyak dan langgeng, jika itu diberkati atau dikehendaki Allah," tulis Quraish Shihab dalam artikelnya.

Dengan kata lain, wukuf telah sah walau sejenak, karena sejenak pada saat datangnya anugerah Allah itu, bila dimanfaatkan dengan baik, sudah cukup untuk mengubah hidup menjadi jauh lebih baik.

Karena di padang Arafah itulah, Allah menyiapkan situasi dan kondisi dari sebuah kejadian besar yang akan dialami oleh seluruh umat manusia setelah dibangkitkan dari kematian pada hari kiamat nanti, yakni dikumpulkan di padang Mahsyar.

Semua amal ibadah umat manusia selama di dunia akan dipertanggungjawabkan. Wukuf di padang Arafah merupakan refleksi manusia akan hari kebangkitan itu. 

"Maka manfaatkan waktu wukuf itu untuk berdoa, merenung, muhasabah diri. Karena di situ waktu yang paling mustajab kita berdoa, memasrahkan diri, muhasabah menjadi pribadi yang lebih baik," kata Konsultan Ibadah PPIH Mekah, KH Masrur Ainun Najih.

Di luar ritual normal jemaah haji wukuf di Arafah, ada sebagian jemaah yang karena keterbatasan fisik, pertimbangan kondisi kesehatan, atau yang meninggal dunia, maka mereka akan disafariwukufkan atau dibadahlhajikan.

Dalam hal ini, panitia haji telah menyiapkan sejumlah petugas haji yang akan membadalhajikan jemaah yang meninggal dunia atau sakit kronis, serta mengupayakan transportasi khusus untuk mengangkut jemaah haji sakit agar bisa disafariwukufkan di Arafah pada 9 Zulhijjah.

"Dalam keadaan bagaimanapun seseorang sudah berada di Arafah, sudah dianggap cukup. Baik dengan berdiri, duduk, berkendara, disafarikan, tidur atau jaga, bahkan tahu atau tidak tahu jika ini Arafah, semuanya tetap sah (hajinya)," kata Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Denanyar, Jombang, KH Ahmad Wazir kepada tim MCH.

Kesalehan Sosial

Ibadah haji tak semata ritual fisik, pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain, berdiam diri dan berdoa. Lebih dari itu, proses ibadah haji yang tengah dilakukan umat Islam dari penjuru dunia ini punya makna luhur sebagai refleksi kepasrahan Nabi Ibrahim dan keluarganya, atas perintah Allah.

Ketika Nabi Ibrahim diperintah Allah melalui mimpi untuk menyembelih Ismail, anak semata wayangnya dari istrinya Siti Hajar. Saat perjalanan Ibrahim dan keluarganya dari Mekah menuju Arafah. Mimpi itu datang berturut-turut selama tiga malam, yaitu saat di Mina, dan dua malam di Arafah.

Sempat ragu akan mimpi tersebut, di Arafah itulah Nabi Ibrahim melakukan perenungan (wukuf) sambil memohon petunjuk Allah. Beliau berkontemplasi, berzikir, dan berdoa sepanjang siang hari (9 Zulhijah) hingga menjelang matahari tenggelam (masuk 10 Zulhijah).

Di Arafah itulah Nabi Ibrahim mendapat keyakinan bahwa perintah menyembelih Ismail adalah perintah Allah dan ujian bagi kesabaran Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Pada 10 Zulhijah, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah dengan menyembelih Ismail, yang kemudian atas kuasa Allah, digantinya Ismail dengan seekor domba gibas.

Tanggal 10 Dzulhijah itulah yang kemudian dikenal sebagai Hari Nahar alias Hari Berkorban. Pada hari ini, umat Islam disyariatkan menyembelih hewan kurban, sebagai gambaran dari kepasrahan dan kesalehan Ibrahim atas perintah Allah.

Sekelumit kisah Nabi Ibrahim itu menjadi bagian penting dari perjalanan ibadah haji. Tentu, tujuannya bukan mencari titel 'haji' tapi menjadikan manusia mabrur, saleh secara individu dan sosial. 

Wakil Amirul Hajj, M Busyro Muqoddas mengajak para jemaah haji untuk memantapkan niat dalam melaksanakan proses ibadah haji sesuai dengan syariat tuntunan agama. Dengan begitu, jemaah bisa melakukan semua proses ibadah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. 

Di samping esensi haji secara personal yakni menjadi mabrur individual, Ketua PP Muhammadiyah itu mengajak jemaah juga bisa menjadi haji mabrur secara sosial kemasyarakatan, yang bisa dikembangkan baik dalam aspek kesehatan, politik, ekonomi yang ramah yang jujur berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan. 

"Nah, itu pengertian-pengertian mabrur secara sosial itu menjadi sangat penting, ketika Indonesia sedang butuh ketulusan-ketulusan, keikhlasan-keikhlasan sosial, kejujuran sosial yang bisa dikembangkan oleh jemaah haji," kata Busyro Muqoddas di Mekah.

Menurutnya, ketika 231.000 jemaah haji bisa mengembangkan kemabruran hajinya pada aspek yang lebih luas, secara sosial, hukum dan ekonomi, dampaknya akan sangat positif. "Bayangkan saja dampaknya kalau jemaah haji setiap tahun 231.000 bisa mengembangkan mabrur secara sosial secara hukum secara ekonomi," ujarnya.

KH Ahmad Wazir, Konsultan Ibadah PPIH Mekah yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Denayar, Jombang, mengatakan ibadah haji dan umrah, termasuk ibadah yang agung dan mulia. Keduanya bisa punya dampak yang sangat jelas dalam mereformasi aspek hati seorang hamba.

Ibadah haji mampu menginternalisasi diri, berupa perasaan Tauhidullah (mengesakan Allah), menyadari betapa kebesaran Allah, yan pada akhirnya akan mencintai-Nya (mahabbah) dan  merindukan Allah. 

"Sehingga dalam kehidupan kita sehari-hari, tentunya harus tunduk, pasrah, penuh kesabaran serta tawakkal dalam perjalanan akhirat kita (suluk), kesemuanya itu telah disimbolisasikan dalam ritual haji," kata Kiai Wazir.

Melalui haji, Allah memerintahkan para tamu-tamunya (dhuyufurrahman) untuk mempersiapkan bekal. Menurut Kiai Wazir, para sufi mengartikulasikan bekal disini menjadi dua. Materi dan spiritual.

Bekal material tergambar dalam bekal fisik seperti BPIH, harta benda dan keperluan zahir bagi jemaah dan keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan bekal spiritual adalah takwa. Sesuatu yang menyebabkan hajinya diterima Allah, dan terampuni dosa-dosa bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibu.

"Inilah inti spiritualitas haji yang bisa menghantarkan kemabruran kita, dan sekaligus pahala berlipat kita. Alhajjul mabrur laisa lahu jaza' illa aljannah (Tidak ada balasan bagi mereka yang hajinya mabrur, kecuali dimasukan ke dalam surga)." [mus]