Radikalisme Kelas Menengah

Deklarasi Anti Radikalisme Perguruan Tinggi di Jawa Barat' di Aula Graha Sanusi Universitas Padjajaran Kota Bandung, Jumat (14/7/2017).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Adi Suparman

VIVA –  Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menghela napas. Di tengah menyampaikan sambutan Halal Bihalal dengan keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI Cilangkap, Rabu, 19 Juni 2019. Dia menyampaikan hal yang sangat penting dan memprihatinkan. Menguatnya radikalisme di kalangan TNI. 

Ryzmizard mengatakan, sekitar tiga persen TNI terpengaruh radikalisme dan tak setuju Pancasila sebagai dasar negara. Mereka menganggap ideologi khilafah layak ditegakkan di negara ini. "Ini memprihatinkan sekali," katanya. 

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu

Ryamizard juga menyampaikan temuan lainnya. Sebanyak 23,3 persen mahasiswa di seluruh tanah air setuju dengan wacana pendirian negara Islam atau khilafah. Kemudian 23,3 persen siswa SMA setuju dengan hal yang sama. Lalu ada 18,1 persen pegawai tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Kemudian 19,4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Data lain adalah 9,1 persen pegawai BUMN yang menyatakan tidak setuju dengan ideologi negara Pancasila. Bagi Ryamizard, angka-angka tersebut memperlihatkan paham radikalisme terus tumbuh dan menguat.

Ucapan Ryamizard menegaskan radikalisme mulai menguat di berbagai lini. Sebelum Ryamizard, lembaga sosial kemasyarakatan Setara Institute sudah lebih dulu merilis hasil temuan mereka soal merebaknya paham radikalisme di perguruan tinggi negeri. Hasil riset tersebut disampaikan kepada publik pada akhir Mei 2019. 

Riset tersebut dilakukan oleh Setara Institute pada Februari-April di 10 Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Unram), dan Universitas Airlangga (Unair). 

Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, gelombang radikalisme pada 10 PTN tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif yakni dari kelompok salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah. "Corak kegiatan keislaman di kampus itu monolitik. Cenderung dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusif," ujar Halili saat pemaparan hasil riset dalam diskusi 'Membaca Peta Wacana dan Gerakan Keagamaan di PTN', Jakarta Pusat, Jumat, 31 Mei 2019.

Diskusi soal radikalisme di kampus

Tapi ternyata tak hanya orang dewasa yang terpapar geliat radikalisme. Sebuah tulisan di ABC.net.au, bahkan menceritakan seorang anak di Yogyakarta yang tanpa disadari orangtuanya, ternyata telah terpapar radikalisme dari tempat ia bersekolah. Keterkejutan dialami oleh Bagas (bukan nama sebenarnya), ayah dari seorang putri yang berusia 9 tahun. Suatu malam Bagas dikagetkan dengan pertanyaan anaknya yang malam-malam tiba-tiba menangis ketakutan. 

"Pah, nanti kalau Palestina diserang Israel, kita juga ikut mati enggak, Pah?" Cerita Bagas, seperti dikisahkan oleh ABC Indonesia. Berusaha tetap tenang, Bagas lalu menanyai sang putri perihal asal-muasal pertanyaan itu.

Pertanyaan sang putri membuat dirinya terkejut. Anaknya mengetahui informasi soal konflik Israel-Palestina dari gurunya di sekolah A. Bocah ini belajar di sekolah dasar Islam yang berjargon sebagai sekolah pencetak hafiz qur'an. Di situs resminya, sekolah ini mengklaim telah memiliki 80 cabang di belasan provinsi Indonesia.

Kekagetan Bagas malam itu sebenarnya puncak dari segala pertanyaan yang ada di kepalanya. Di sekolah anaknya tak ada bendera merah putih, tak ada upacara bendera, tak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan selalu masuk pada hari libur nasional yang berkaitan dengan perayaan agama lain di luar Islam.

"Saya pernah berkirim pesan dengan salah satu guru. Dan dia pakai logo bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai foto profilnya," ujar Bagas. 

Kampus dan Kelas Menengah

Menurut riset yang dilakukan Setara Institute, ada tiga wacana keagamaan yang dominan di 10 kampus yang mereka teliti. Pertama,  propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap “jalan Islam," yaitu jalan yang mengikuti Alquran dan hadits. Hal ini, menurut Halili adalah sebuah pandangan puritan yang membatasi kebijaksanaan agama ini hanya di dua sumber utama tersebut.