Waspada Benih Radikalisme

Potensi radikalisme di lima provinsi di Indonesia hasil survei BNPT, The Nusa Institute, dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/BNPT

VIVA –  "Kenapa isu ini diangkat lagi."

Demikian Muhammad Anis bertanya kepada wartawan usai pengukuhan dua guru besar di Aula Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu, 31 Juli 2019. Raut wajah Rektor UI itu terlihat kesal. Dengan dahi mengkerut di atas kacamatanya, Anis heran isu radikalisme kembali muncul dan diangkat.

Akademisi senior itu kecewa karena kampus selalu dikaitkan dengan isu penyebaran paham radikalisme. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Anis pun merespons riset yang dikeluarkan Setara Institute bertajuk 'Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di PTN'.

Dalam riset itu, Setara mencantumkan UI sebagai satu dari 10 perguruan tinggi negeri yang terpapar paham radikalisme.  Anis mempertanyakan riset Setara dengan menyeret UI. Ia menekankan kampus yang dipimpinnya terbebas dari paham radikalisme. Namun, mungkin yang ada menurutnya adalah intoleran.

"Jadi menurut saya radikalisme itu enggak ada di dalam kampus. Mungkin yang ada itu adalah intoleran, itu mungkin ada, walaupun jumlahnya sangat kecil,” ujar Anis.

Rektor UI, Muhamad Anis

Penyebaran benih-benih paham radikal ke masyarakat dengan sasaran pertama perguruan tinggi dinilai sudah lama. Dan perguruan tinggi menjadi salah satu muara potensial dengan menyasar calon intelektual seperti mahasiswa.

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ismunandar mengatakan, dari penelitian benih radikal ini sudah muncul sejak 1980-an. Menurut dia, saat itu pemberlakuan normalisasi kehidupan kampus/badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1980-an atau saat Orde Baru menjadi salah satu pemicu.

Luthfi Assyaukanie dalam bukunya, Ideologi Islam dan Utopia (2011:3), era pemerintahan Soeharto menerapkan kebijakan represif terhadap Islam. Hal ini dinilai berdampak pada sikap politik dan mentalitas kaum Muslimin Indonesia. Namun, kebijakan Orba hanya salah satu faktor penyebab.

"Tapi, ini bukanlah satu-satunya faktor yang menjelaskan mengapa terjadi perubahan radikal," demikian dikutip dari buku tersebut.

Radikalisasi Instan?