Target Kita Melayani Bukan Keuntungan

Direktur Utama AirNav Indonesia, Novie Rianto Rahardjo.
Sumber :
  • Raden Jihad Akbar/VIVA.co.id

VIVA – Sebagai negara kepulauan, transportasi udara di Indonesia sangat diandalkan sebagai salah satu penghubung satu daerah ke daerah yang lain. Apalagi, ada sejumlah wilayah di Indonesia yang belum bisa terjangkau dengan moda transportasi lain saat ini. 

Guna memastikan moda transportasi udara aman dan bisa terus berkembang, layanan navigasi udara merupakan salah satu hal hang penting untuk ditingkatkan. Terlebih, area ini juga berkaitan erat dengan kedaulatan NKRI. 

Di Indonesia, layanan navigasi udara dimonopoli oleh Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI) atau AirNav Indonesia. Direktur Utama AirNav Novie Riyanto Rahardjo menuturkan, karena merupakan BUMN, AirNav tidak mencari keuntungan dalam menjalankan bisnisnya, tapi berorientasi pada keselamatan dan peningkatan layanan navigasi udara.

Bagaimana potret layanan navigasi penerbangan dan ruang udara di Indonesia?

Demikian petikan wawancara khusus VIVA dengan orang nomor satu di AirNav ini beberapa waktu lalu. 

Bagaimana gambaran besar navigasi udara di Indonesia saat ini? 

Kondisi navigasi penerbangan Indonesia makin baik saat ini. Apa sih yang mendasari kami bilang makin baik dan tidak? Yang pertama itu dari sisi keselamatan, insiden atau kecelakaan yang disebabkan oleh navigasi makin berkurang. 

Kedua masalah on time performence. OTP kita juga semakin baik, walaupun kalau kita melihat dari traffic dan kapasitas di beberapa bandara besar masih kita tingkatkan. Kami harus siap melayani apapun yang terjadi dengan transportasi udara.

Bagaimana gambaran ruang udara Indonesia saat ini? 

Kalau kita bicara ruang udara sih sebetulnya kami agak tidak terlalu terkoneksi dengan bandara. Betul, Jawa ini padat sekali, karena destinasi Jakarta-Surabaya-Denpasar ini bisa saya katakan, rute yang paling padat juga, termasuk di dunia. 

Ini sangat berbeda kondisinya dengan kita bicara di timur, di ruang udara bawah kita. Banyak sekali pesawat-pesawat kecil ATR atau propeler misalnya, itu mereka sangat banyak sekali beroperasi di Papua, Kalimantan dan Sulawesi. Ini merupakan tantangan tersendiri. 

Beda dengan di Jawa, dengan speed yang tinggi, pesawat besar dan jet, kapasitasnya yang besar. Kalau di timur tantangannya berbeda, pesawat terbangnya rendah, tapi gunungnya tinggi-tinggi. 

Karena itu ini membutuhkan suatu teknik pengontrolan keselamatan yang sangat presisi di situ, jadi pilotnya dituntut ATC nya juga dituntut, termasuk pelayanan navigasi dan komunikasi kita harus dipastikan sampai 100 persen dari ground to air. Jangan sampai ada blank spot, Alhamdulilah sekarang sudah tidak ada. 

Namun, juga jangan lupa, yang ruang udara kita di atas, di timur ini juga banyak sekali. Contoh terbang dari Sydney ke Jepang, yang overflying ini sangat banyak, jadi yang namanya ACC Makassar juga sangat padat, ACC itu pengontrol udara di atas 24 ribu kaki. Ini juga kontribusinya sangat besar untuk keselamatan kita maupun pendapatan kita. 

Direktur Utama AirNav Novie Riyanto Rahardjo

Khusus wilayah timur, bagaimana AirNav meningkatkan pelayanan navigasi di sana?

Terus terang kita sedang giat-giatnya, kita sangat konsisten dan intensif untuk bisa meningkatkan pelayanan navigasi di Papua. Kenapa? Karena setelah kita data, di Papua itu ada 109 titik yang menjadi target perbaikan. 

Di mana titik-titik itu satu-satunya untuk transportasi. Artinya tidak ada ada transportasi darat atau pun sungai, sehingga mereka hanya bergantung dengan udara. 

Nah untuk bisa memperbaiki koneksi ini harus ada navigasi yang baik, Jangan sampai pesawatnya nyasar, gak bisa landing nabrak gunung dan saling tabrakan. Kita konsentrasi ke sana, sehingga investasi kita di Papua kita tingkatkan, orang maupun peralatan. 

Teknologi apa yang dipakai untuk di Papua? 

Untuk peralatan, kemajuannya Alhamdulillah sangat banyak ya. Karena Indonesia sudah bisa memproduksi sendiri Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B). Yaitu radar sintetik yang dibuat BUMN juga, PT Inti dan dulu di riset dengan BPPT. 

Sekarang sudah bisa kita gunakan dengan harga yang murah, dan karena dibuat sendiri kan kita tahu apa saja permasalahannya. Jadi hal ini bisa mudah-mudahan bisa meningkatkan keselamatan penerbangan di Papua.

Kontrol navigasi udara di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia seperti apa? 

Navigasi untuk penerbangan itu universal, standarnya satu di dunia. Kalau di Australia menerapkan standard x, otomatis di kita juga menerapkan standar itu, apalagi kita bertetangga.  Tidak boleh di Australia sangat presisi begitu masuk ke kita tidak. Ibaratnya di sana pakai tol, masuk ke kita gang. Jadi tidak boleh begitu. Jadi peralatannya sama, kemampuan orangnya sama dan prosedurnya juga sama. 

Bagaimana mengenai wilayah udara yang masih dikuasai asing? 

Sekarang bersama-sama ya dengan timnya, ada tim Interdept yang bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Perhubungan, semuanya kita sinergi, sedang berjuang secara diplomasi. Apa yang sekarang ini dikontrol saya tidak katakan dikuasai tapi dikontrol negara lain kita ambil alih. 

Untuk itu kan harus tunjukkan ke internasional bahwa kita mampu dan kita bisa. 

Parameternya apa? 

Sebetulnya dari sisi teknis kita sudah siap 100 persen, tapi harus ada step-nya, itu diplomasi. Kita negosiasi dengan negara lain, meyakinkan negara lain, meyakinkan internasional bahwa kita dari sisi legal dan formal kita bisa. Saat ini masih proses interdept, dan kementerian-kementerian ini sedang negosiasi. 

Air Traffic Services (ATS) adalah salah satu layanan utama AirNav. Bagaimana upaya meningkatkannya?

Jadi ATS itu kan ada dua komponen SDM utama kita, pertama ATC kedua adalah petugas komunikasi. Nah keduanya harus comply dengan standard internasional, otomatis yang jadi tuntutan internasional harus kita penuhi. 

Contoh level untuk bahasa Inggris mereka harus level 4 minimal , yang kurang-kurang ya kita harus latih terus supaya kita bisa memenuhi. Kemudian kemampuan mereka untuk kontrol Pesawat Udara, jadi bagaimana mereka bisa me-utilized ruang udara yang ada secara maksimal. 

Di Jakarta misalnya, itu padatnya minta ampun, mereka harus terbiasa dengan itu, 80 penerbangan per jam, mungkin dengan runway ke tiga mungkin bisa bertambah lagi. 

Untuk memenuhi itu kita tentunya harus mengalokasikan anggaran untuk mereka, termasuk kesejahteraan mereka, tingkat stres mereka harus juga bisa di jaga. Kemudian tools mereka untuk bekerja, misalnya simulator. Itu semua harus bisa kita penuhi. 

Petugas ATC

Selain layanan navigasi udara, bagaimana mengenai Instrument Landing System?

Jadi di Indonesia untuk bandara-bandara besar yang diterbangi jet itu bisa katakan sudah ada hampir 100 persen itu sudah terlengkapi dengan Instrument Landing Sistem (ILS), itu landing kategori 1. 

Di Timur, Jayapura bisa tapi di Wamena tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena ILS kan harus pendaratan lurus, padahal Wamena itu dikelilingi gunung-gunung, tapi tak bisa dipasang ILS. Kita pun cari solusi lain, dengan satelit untuk pendaratan, kita jamin memenuhi persyaratan safety.

Teknologi pendaratan baru ini akan kita bawa ke tempat-tempat lain, di bandara-bandara lain di seluruh Indonesia. 

Bagaimana atasi gangguan penerbangan. Apakah drone menggangu?

Drone itu kita yang atur, ke depan kami bersama-sama regulator membangun aturan yang kondusif, artinya yang tidak berbahaya untuk keselamatan penerbangan. 

Jangan sampai drone terbang di kota untuk kirim barang terus tabrak pesawat. Ini kita atur secara rijit jadi tidak mengganggu keselamatan penerbangan. 

Aturannya bagaimana?

Ada di Kementerian Perhubungan, sekarang ada dan terus berkembang dan kita ikuti standar internasional. Seperti misalnya di Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), di situ tidak boleh ada drone, dan mudah-mudahan masyarakat sudah aware. Penegakan hukumnya juga sudah ada di TNI AU, drone mendekat di jam atau ditembak dan itu sudah diperbolehkan di Indonesia.

Banyak kasus gangguan drone?

Banyak. jangankan di Indonesia, kemarin kita juga tahu di bandara besar di Timur Tengah sana dan di Eropa juga banyak terganggu dengan drone. Di kita ada gangguan itu, tapi karena teman-teman TNI AU dan polisi ini bekerja, begitu kita laporkan mereka langsung turun ke lapangan. 

Sosialisasi pun terus dilakukan, dan Alhamdulillah sudah mulai berkurang lah. Ke depan akan kita tekankan terus lalukan. 

Fokus peningkatan layanan navigasi ke depannya?

Kami akan menekankan memperbanyak simulator dalam segala hal. Dalam pelayanan, keamanan, sumber daya manusia berbahasa Inggris yang baik.

Kami lengkapi semua peralatan untuk menutup ruang udara Indonesia sampai ke bawah, contohnya seperti di Papua sana. Kedua, kami akan lengkapi simulator untuk ATC, supaya human capital kita ter-upgrade dan bisa memenuhi kebutuhan pelanggannya yaitu pesawat udara yang semakin banyak dan teknologinya akan makin tinggi.

Kami kan juga terus disurvei oleh Indonesia National Air Carrier Association (INACA) dan The International Air Transport Association (IATA), ini akan kita terus tingkatkan. Alhamdulilah, kemarin 2018 keduanya bagus. 

Dari sisi anggaran?

Tahun ini anggaran kami Rp2,6 triliun, jadi ada beberapa yang kita perbaiki dan bangun baru. Papua juga jadi fokus kita. Termasuk Bandara Yogyakarta baru itu kita harus siapkan peralatan yang paling canggih di sana, Insya Allah April.

AirNav ini BUMN tapi kita tidak berorientasi pada keuntungan, orientasi kita melayani dan keselamatan. AirNav juga tidak boleh disaingi kita itu monopoli, karena itu orientasinya bukan pada keuntungan tapi keselamatan. Di mana pun ada bandara baru AirNav harus hadir. (mus)