Tarik-menarik Kewenangan Hambat Pertumbuhan Batam

Kepala Otoritas Batam, Edy Putra Irawady
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Pemerintah akhirnya menunjuk Edy Putra Irawady sebagai kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam. Staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian ini diberi mandat untuk menyelesaikan ‘kisruh’ dualisme di Batam.

Pria kelahiran Kualatungkal, 5 Oktober 1957 ini akan mengelola BP Batam sebelum diserahkan kepada wali kota Batam. Pemerintah tengah menyiapkan amendemen aturan baru, agar penyerahan BP Batam kepada wali kota Batam segera dapat dilakukan.

Pemerintah akan mengalihkan kewenangan BP Batam ke Pemerintah Kota Batam. Hal ini dilakukan usai pemerintah mendapat laporan dari dunia usaha dan pernyataan dari Kementerian Luar Negeri terkait dualisme di Batam.

Kepada VIVA, jebolan George Mason University, Amerika Serikat ini menuturkan bahwa saat ini terjadi tarik-menarik kewenangan di Batam. Hal ini membuat iklim investasi di wilayah perdagangan bebas itu terganggu.

Kondisi itu diperparah dengan regulasi yang tumpang tindih. Akibatnya banyak investor yang kabur dari pulau yang ditetapkan sebagai Free Trade Zone (FTZ) tersebut.

Berikut penuturan pria yang hobi main musik dan menciptakan lagu ini di sela rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta beberapa waktu lalu. 

Bisa dijelaskan sejarah didirikannya Otorita Batam?

Tahun 1971 itu sebenarnya sudah mulai pengembangan Pulau Batam untuk mendukung kegiatan offshore Pertamina. Waktu itu Pulau Batam masih sekitar 6.000-an hektare dan sekitar 21 dusun. Nah, baru pada tahun 1974 menjadi kawasan industri. Sudah mulai banyak masuk investasi.

Lalu?

Lama kelamaan Batam berkembang dan menjadi kawasan otorita. Investasi dan pembangunan di sana terus berkembang. Pada tahun 2000-an mulailah dibentuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Jadi tahun 1971-1974 itu perkembangan Pulau Batam menjadi kawasan industri. Kemudian tahun 1978 sebagai Bondet. Itu sudah ada kawasan industri, pergudangan, ada pelelangan dan lain sebagainya. Jadi berubah-ubah memang, dari satu pulau kemudian bertambah-bertambah. Nah tahun 2000 baru masuk menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas itu atau otorita. 

Perubahan itu berdasarkan apa?

Berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2000 dan ditegaskan dengan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2000, sehingga Batam menjadi salah satu kawasan perdagangan bebas. Kemudian pada tahun 2007 otorita itu berubah menjadi Badan Pengusahaan Batam. 

Kepala BP Batam, Edy Putra Irawady

Apa perbedaan antara otorita dan Badan Pengusahaan Batam?

Sebenarnya tugasnya sama pengembangan investasi. Kemudian pengembangan pelabuhan bebas. Sejak awal memang semua tanah itu dikuasakan oleh negara untuk dikelola oleh otorita. Waktu itu ada 8 pulau tahun 2007 itu.

Delapan pulau itu menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas?

Iya. Luasnya sekitar 72 ribu hektare. Kalau Batamnya sendiri hanya sekitar 45 ribuan hektare. Itu semua masuk ke dalam pengelolaan BP Batam. Tapi sempat ada yang keluar masuk, tadinya Pulau Tanjung Saur dan Pulau Berias itu keluar, tahun 2007 masuk sebagai kawasan BP Batam, kemudian tahun 2009 keluar dari wilayah kerja BP Batam. Kemudian di tahun 2011/2012 balik lagi Pulau Berias, tapi Tanjung Saur tidak lagi. Tapi kita dikasih lagi Pulau Galang Baru, jadi tetap ada 8 pulau sampai sekarang.

Bagaimana perkembangannya?

Perkembangannya maju banget, sejak Pertamina pegang. Kemudian jadi kawasan otorita. Sampai 2007 menjadi BP Batam, itu pertumbuhannya sampai di atas 17 persen rata-rata. Artinya dulu itu urusan penduduk pun dilakukan oleh otorita. KTP itu dulu otorita yang keluarkan.

Nah, masuklah administratif itu sekitar tahun 2000-an. Administrasi itu hanya mengurusi pemerintahan sama kependudukan atau kemasyarakatan. Maka masuklah aparatur lainnya, misalnya ada polisi, tentara dan yang lain. Artinya otorita itu dulu hanya urusin ekonomi saja. Tapi karena perkembangan penduduk kita butuh dukungan pemerintahan. Maka perkembangannya jadilah pemerintahan Kotamadya Batam itu yang mengurusi kependudukan, kemasyarakatan, administratif lah. Nah BP Batam tetap mengurusi investasi karena sudah FTZ. 

Sesuai peraturan, BP Batam itu melaksanakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat. Semua urusan investasi itu dilimpahkan atau didelegasikan kepada BP Batam. Nah ini yang tidak berjalan mulus.

Kenapa?

Karena pelimpahannya tidak penuh, tidak diserahkan full kepada kita. Sehingga investasi jadi terhambat. Karena kebutuhan perizinan, masuknya barang modal dan yang lain itu karena tidak dilimpahkan secara penuh, akhirnya banyak yang menunggu, jadi terhambat. Eksekusi investasi itu jadi terhalang. Nah, karena itulah kita mulai turun.

Sejak kapan pemerintah secara administratif masuk atau terlibat dalam investasi di sana?

Sekitar 2008. Ketika pertumbuhan ekonomi di Batam mulai besar, mulai ribut-ribut itu. Artinya kalau dulu perkembangan ekonomi kita itu benar-benar ditopang oleh investasi. Kalau nasional kan pertumbuhannya ditopang oleh konsumsi. Kalau kita benar ditopang oleh investasi.

Artinya ada yang salah dalam otonomi ini?

Bukan kita menyalahkan otonomi. Artinya ketika kita menunggu pelimpahan (kewenangan) itu kan jadi agak terhambat, akhirnya orang mengurus perizinan, fasilitas itu ada di Jakarta. Fungsi investasi mulai terhambat. Itu mulai turun, 7 persen per tahun, sampai di tahun 2016 itu kita melakukan pembenahan lahan. Melakukan konsolidasi tata kelola baru. Di situ akhirnya kita setop kegiatan pemberian fasilitas tanah. Di situ mulai tumbuh sekitar 2 persen. Nah, setelah itu baru kita mulai lakukan pelonggaran, baru mulai naik lagi tuh, naik 4-5 persen pertumbuhannya.

Itu kira-kira kalau saya mengartikannya pengaruh perilaku kebijakan. Kalau saya selalu mengatakan, ada tiga perilaku, perilaku policy, perilaku korporasinya sendiri, dan perilaku komoditi. Kalau Batam itu lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku policy atau kebijakan dan perilaku korporasi. 

Maksudnya?

Korporasi itu misalnya gini. Perusahaan Jepang invest di Batam, dia maunya semuanya dari Jepang. Nggak bisa kita atur-atur. Jadi dia menempatkan Batam itu memang sebagai tempat merakit saja. Karena mereka tidak mau pusing, maunya cari tenaga kerja murah dan yang lain. Jadi sulit mengaturnya, nggak bisa kita mengatakan ini harus local content dan sebagainya, sulit. Karena korporasi.

Jadi kalau dibandingkan pengaruh policy itu, tampaknya cukup signifikan terhadap pergerakan ekonomi Batam. Saya hanya melihatnya yang tadinya investasi di Batam itu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi 17 persen per tahun, itu adalah angka tertinggi di Indonesia ya, dan sekarang mulai menurun.

Menurun?

Iya. Belakangan memang sempat terjadi penurunan. Tapi akhir-akhir ini sudah mulai reborn. 

Apa yang menyebabkan?

Saya melihat ada pada policy. Policy yang tadinya Batam ini sebagai wilayah perdagangan bebas itu tergerogoti dengan perilaku policy. Perilaku regulasi dari pusat yang memengaruhi.

Kenapa?

Kalau kawasan perdagangan bebas itu saya mengibaratkan 'hanya malaikat dan iblis' saja yang menjaganya, karena bebas saja orang mau keluar masuk barang itu. Nah, regulasi mulai 'mengganggu' kalau ingin memasukkan ini harus izin impor, rekomendasi, harus dibatasi, dan lain sebagainya. Nah itu akhirnya mengganggu. Orang butuh bahan baku industri di sini kan tergantung pemerintah pusat akhirnya. Akibatnya tidak ada kepastian usaha. Seharusnya itu ketika kita menjadikan Batam ini wilayah FTZ kita tidak bisa impor. Karena kita berada di luar wilayah kepabeanan. Jadi sekarang banyak peraturan itu memengaruhi wilayah itu masuk. 

Kepala BP Batam, Edy Putra Irawady 

Peraturan apa misalnya?

Misalnya sebagai contoh, ada peraturan Surat Izin Usaha Perdagangan atau Surat Izin Usaha Industri. Ini kan tadinya ada di Otorita Batam. Sejak itu kan dibagi, Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha industri itu dilimpahkan ke pemda sebagai Sub Otorita. Kemudian investasi yang diatur oleh UU 23 Tahun 2014 itu di pemda, untuk PMA antarprovinsi, yang strategis itu PB dilimpahkan oleh BKPM karena itu punya pemerintah pusat. Kemudian ditambah lagi policy kita sendiri, bukan hanya di Batam, tapi di nasional. Di nasional itu membuat di bawah itu menjadi 'galau'.

Selain itu?

Peraturan turunan. Peraturan turunan ini menimbulkan friksi. Misalnya sekarang, surat keterangan asal, itu kan kewenangan sub-urusan pemda. Itu yang saya bilang tadi ada perubahan formulasi kebijakan yang tidak cocok. Dan itu terasa banget di sana. Itu berlaku seluruhnya, padahal Batam itu bukan wilayah kepabeanan. Batam itu tadinya nggak kenal importir, siapa pun yang ingin investasi atau usaha di Batam itu harus ada izin usaha di kawasan bebas. Tandanya itu aja, karena dia hanya keluar masuk, bukan ekspor impor.

Artinya memang awalnya itu barang masuk di sana itu tidak dikenakan pajak?

Iya. Itu kan kawasan FTZ. Kalau FTZ itu barang yang masuk dan keluar dari Batam itu bebas PPN, kalau dari luar tidak kena biaya masuk, dia tidak berlaku pajak barang mewah, tidak berlaku cukai.