Gundala Beda dari Film Marvel dan DC

Sutradara film Gundala, Joko Anwar
Sumber :
  • VIVA/Yasmin Karnita

VIVA – Suatu hari di pertengahan April 2019, VIVA menjadi media online pertama yang bertemu dengan sutradara dan para bintang Gundala, sebuah film yang diadaptasi dari komik Hasmi, bertema jagoan Indonesia. Tentu saja sangat spesial, karena film ini digadang-gadang akan jadi pembuka untuk jagat sinematik jagoan lain yang bernaung di bawah BumiLangit, menambah seru persaingan industri di tengah gempuran superhero Hollywood, seperti Marvel dan DC. 

Kehadiran Joko Anwar (sutradara), Abimana Aryasatya (Sancaka/Gundala), Tara Basro (Wulan), dan Marissa Anita (ibunda Gundala) di gedung ANTV hari itu membuat suasana lebih ceria. Mereka juga sedang bersemangat, sebab belum lama, teaser perdana diluncurkan. Responsnya positif, bahkan sempat merajai daftar trending di jagat maya.

Kala itu, kami bicara banyak hal, mengupas lebih dalam soal teaser dan apa yang terjadi di belakang layar. Dari soal keseruan syuting, sampai urusan kostum, yang belakangan terungkap dibuat di Amerika oleh perusahaan yang juga membuat kostum untuk Marvel's Daredevil di Netflix, sampai urusan efek visual, serta komentar Joko Anwar soal persaingan dengan Marvel dan DC.

Joko Anwar, sutradara asal Medan ini bukan sembarang orang yang akhirnya dipilih studio, Screenplay dan BumiLangit, untuk menggarap Gundala. Pria ini adalah orang di balik kesuksesan Pengabdi Setan, film terlaris pada 2017.

Joko Anwar kerap dikenal sebagai sosok sutradara yang sangat memperhatikan kekuatan skenario dan karakter di dalam filmnya. Gundala pun jadi film dengan proses penulisan skenario tersulit sepanjang kariernya. Seperti apa cerita Joko Anwar dan Abimana tentang film ini? Simak wawancara lengkapnya berikut ini:

Film Gundala diangkat dari komik Hasmi. Seberapa mirip sebenarnya dengan komik aslinya?

Joko Anwar: Kita berusaha menjaga visi dari Pak Hasmi. Kita menggali banyak sekali sumber bukan hanya dari komik tapi juga dari catatan-catatan kecil yang dia tulis dan dia share ke temen-temennya. Jadi kita riset lama sekali. Kita nulis cerita berdasarkan komik dan catatan-catatan kecilnya yang disesuaikan dengan sensibilitas penonton Indonesia sekarang.

Di komik, Sancaka diceritakan sebagai seorang ilmuwan, sedangkan di film, sepertinya seorang petugas keamanan?

Belum tahu lho. Sebenarnya kalau dari sinopsisnya ini kita belum mengungkap si Sancaka ini pekerjaannya apa. Yang namanya teaser kemarin kan tujuannya untuk men-tease penonton untuk mengetahui lebih lanjut tentang filmnya.

Kemarin di teaser kita udah lihat Gundala pakai kostum yang kita samarkan biar kalau di trailer, orang, 'oh ini kostumnya', ada Sancaka kecil dan ada beberapa Easter Eggs. Ada beberapa orang di Twitter yang mencoba untuk mengulik ini apa artinya, jalan ceritanya, dan segala macam, tapi sebagian benar, sebagian masih kurang. Lihat aja deh.

Beberapa penonton masih awam nih soal Easter Eggs.

Easter Eggs itu hal-hal yang disembunyikan. Misalnya kalau lihat teaser-nya jangan cuma lihat ke tengah frame tapi juga mungkin ke atas pinggir-pinggir, kecil-kecil mungkin ada apa, tulisan apa.

Awang? Godam? 

Enggak tahu ya, hehehe.

Abimana Aryasatya: Saya kejar kereta enggak ada siapa-siapa di situ, hehe.

Lalu, bagaimana dengan rencana untuk membuat cinematic universe? Kabarnya Gundala jadi pembuka untuk jagoan-jagoan BumiLangit selanjutnya.

Akan ada. Seperti yang sering kita sebut, Gundala akan jadi pembuka untuk jagat sinema dari BumiLangit.

Ada beberapa nama sutradara yang sebelumnya dikabarkan akan menggarap Gundala. Lalu, akhirnya jatuh ke Joko Anwar, bagaimana ceritanya? 

Jadi sebelumnya memang ada sutradara lain, memang kalau kita sering denger di luar negeri, sutradara siapa, penulis siapa, dalam perjalanannya diganti itu biasa.

Kalau saya sendiri dihubungi oleh BumiLangit dan Screenplay sekitar tahun 2007 akhir-akhir. Mereka ajak ketemu karena dulu saya sering nge-tweet, saya pengin banget bikin film Gundala, karena saya waktu kecil dulu tumbuh berkembang dengan komik-komik Indonesia seperti Gundala. 

Mungkin mereka baca itu, lalu ditanya, kamu masih tertarik enggak kalau misal ditawari bikin film dari komik Gundala? Aku langsung oke. Ditanya ceritanya kayak gimana, lalu saya ceritain, saya bikin sinopsis, besoknya saya langsung kasih mereka, dan kebetulan mereka langsung ajak meeting lagi dan mereka suka.

Tapi, apa chemistry yang membuat BumiLangit, studio, dan Joko Anwar klik?

Nah, ini yang aneh banget, karena saya ketemu Pak Wiki karena dia produser, dan saya udah pernah nulis beberapa kali untuk Screenplay. Kalau Pak Koko baru sekali, bertiga ketemu tuh ngobrolnya lancar banget, visinya sama, karena kita mau bikin Gundala yang masih memiliki akar yang diciptakan Pak Hasmi, tapi memiliki sensibilitas yang cocok untuk penonton Indonesia sekarang. 

Kalau zaman dulu kita enggak bisa ngomong langsung, misalnya sebagai seorang penulis kalau kita mau bikin kritik sosial atau terhadap pemerintah dulu enggak mungkin, makanya dilampiaskan ke hal lain, misalnya makhluk luar angkasa.

Tapi karena kita sekarang di zaman keterbukaan, kita bisa meng-address masalah yang relevan dengan situasi Indonesia sekarang, sosial dan politik. Di Gundala kita punya kesempatan untuk itu. Bikin sebuah cerita jagoan yang karakternya masih sesuai dengan komik tapi dengan permasalahan yang relevan dengan Indonesia zaman sekarang, lebih membumi.

Proses pembuatan skenario kabarnya alot banget?

Oh ya, skenario Gundala adalah skenario paling susah yang pernah saya tulis. Berbulan-bulan. Dua tempat yang paling menarik buat saya itu karena sangat damai itu ada dua, museum dan kuburan. Jadi saya menulis di museum dan kuburan. Dan penulisan skenario ini terakhir di museum di Amsterdam. Jadi selama dua hari tuh saya ngetik tuh terakhir di sana. 

Kuburannya di mana?

Di Indonesia susah karena panas. Ngetiknya susah. Tapi ada kuburan di Indonesia yang enak banget itu deket Tanah Kusir. Ada tamannya banyak anak-anak jalan, main-main, di taman tapi ada rel kereta api. Unik, ada yang stay, ada yang pergi.

Lalu Abimana, Sejak pertama kali diperkenalkan sebagai Gundala, reaksi publik cukup positif. Respons Abimana sendiri bagaimana?

Ya senenglah pasti, karena berarti hasil kerja kita dampaknya positif bagi banyak orang. Pertama kali langsung nanya ke Bung Joko, satu kata dari dia sih, 'Berasa bikin film ya kita. Seneng ya, bahagia.' Rasa itu yang udah lama saya kejar. 

Di Gundala, rasa itu yang saya dapat. Bareng-bareng bikin film, temen fokusnya bikin film bersama, bukan lagi mengenai apa yang kita dapet situ, tapi hasil akhirnya ya dampaknya pasti positif dari situ.

Bicara soal film superhero, jagoan, pasti pakai efek visual dong?

Bikinnya juga susah banget ya. Kalau ada yang bilang bikin film itu dengan darah dan air mata, ya ini. Krunya sampai ada yang nangis. Saya juga beberapa kali sampai, 'Oh susah banget ni bikin filmnya.' Tapi emang worth it banget.

Kalau ditanya soal CGI ya, visual effect kita porsinya tidak begitu banyak, karena banyakan kita organik. Kalaupun ada visual effect biasanya kita lebih practical

Karena apa? Karena memang film-film yang lebih menarik justru yang efeknya practical, yang enggak terlalu banyak CGI. Tapi kita ada CGI-nya. Di teaser itu CGI-nya banyak banget. Orang-orang enggak nyangka kalau itu CGI. 

Persentase CGI dalam film ini berapa?

Kita ada 600 shot untuk CGI.

Bagaimana proses syuting untuk efek visual itu?

Abimana: Ya kayak orang gila aja. Enggak ada itunya (petir). Sendirian aja. Tapi gak banyak. Joko yang, 'Petir datang', 'Disambaar'. 

Joko Anwar: Enggak gitu, enggak gitu

Abimana: Dia pakai toa teriak-teriak, 'Oke Sancaka datang di tengah, petirnya datang, nyambar di tengah.' Galak banget, hahaha.

Abi, gimana rasanya pakai kostum Gundala?

Panas. Kalau bahan, enggak tahu namanya.

Ketat?

Nonton aja. Yang pasti, panas. Kalau di Hollywood syuting di studio, kalau kita kan enggak. Asli kita mah (lokasinya). 

Joko Anwar: Berendam di keringat.

Bagaimana caranya konsentrasi?

Abimana: Enggak konsen. Joko itu membuat semua orang nyaman. Semua orang harus nyaman. Kalau sutradaranya Joko itu, kita enggak merasa punya masalah, pokoknya fokus sama apa yang harus kita lakuin aja, sesuai dengan job desk-nya ya. 

Sebagai pemain, apa baca komik sebelumnya?

Abimana: Baca, kalau saya ada yang baca, tapi memang tetep sebagai aktor pengin punya interpretasi sendiri, warna sendiri, tapi tetep didiskusikan dengan Joko.

Bang Joko. Banyak yang bilang, sutradara horor akan bagus kalau buat film superhero, kayak James Wan (Conjuring-Aquaman) dan David Sanberg (Lights Out-Shazam!). Bagaimana tanggapan Anda?

Kebetulan satu agensi semua ya, haha. Aquaman bagus banget, Shazam! juga bagus banget. Kalau ada generalisasi bikin film horor bagus, pas bikin superhero belum tahu, tapi gini. Bikin horor itu kan sangat berbeda dengan film drama. Bikin film horor itu dari shot satu ke duanya itu harus memenuhi antisipasi penonton, apakah kita akan membuat sesuatu yang diinginkan penonton atau sebaliknya.

Mungkin ada kesamaan film superhero dengan film horor, karena shot per shot-nya harus sangat dipikirkan banget. Kalau kita bikin drama, mungkin kita bisa bikin satu shot doang mungkin tidak presisi mengikuti aktor juga ada kan. 

Kayak pernah bikin A Copy of My Mind. Kita menciptakan ruang untuk aktor, jadi kamera mengikuti aja. Tapi kalau horor dan superhero, shot per shot harus dipikirin banget. 

Abimana, apa ada persiapan khusus untuk jadi seorang jagoan?

Satu-dua bulan sebelum, saya udah training. Jujurnya, dari empat tahun lalu saya sudah mempersiapkan diri. Ada insting aja

Insting bagaimana?

Ada insting kalau Indonesia akan bergerak ke arah ini (action, superhero). Coba nyicil aja, ngobrol aja ama trainer, karena gue yakin industri film Indonesia akan terus maju, bergerak ke arah itu.

Training, kalau fisik tuh banyak ada strength training, movement, bela diri. Jadi gabung-gabung, beda-beda ya latihannya. Sama Kang Cecep berlatih silat, terus latihan sama beberapa temen nyoba capoeira, nyoba ini nyoba itu, karena kan kita belum tahu nih film akan seperti apa.

Adegan action yang dilakukan sendiri banyak?

Abimana: Kalau yang saya enggak pakai kostum, enggak (enggak pakai stuntman), tapi yang pakai kostum gantian. Ya, kalau saya pakai kostum gantian, saya angkat bendera kadang-kadang. Gue kadang kalau udah capek, angkat bendera, saya menyerah.

Joko Anwar: Semua stunt dikerjakan sama Abimana bisa dibilang 98 persen.

Abimana: Enggak, jangan lebay.

Joko Anwar: 97 persen, kan aku yang edit. Saya sempet diskusi sama Abi, bahkan ketika dalam kostum harus akting, karena gerakannya, harus sesuai. Nah itu yang membuat akhirnya pas editing yang dipakai shot-nya Abi. 

Abimana: Kan mau dibikin manusia kan, bukan tiba-tiba jadi superhero tidak terkalahkan. Tetep takut. Maksudnya ada takut kehilangan, capek, kan tetep harus kelihatan di badan. Walaupun kadang-kadang enggak kelihatan juga (pakai topeng).

Boleh diceritakan secara umum proses syutingnya bagaimana?

Lokasinya semua daerah Jawa. 54 hari 74 lokasi syuting. Jadi dalam satu hari bisa dua-tiga kali pindah lokasi syuting. Ada satu pasar di Bogor, Tangerang. Kita memang ingin bikin yang serius banget jadi sampai ada beberapa lokasi kita bikin, dalam sama luarnya itu beda lokasi.

Jadi sampai kita syuting masih cari lokasi. Karena kita ingin banget dapat yang terbaik. Dan banyak orang-orang situ ngebantu banget.

Biasanya film bakal jagat sinematik punya post-credit scene, bagaimana dengan Gundala?

Mau berapa? Hahaha. Entar dicoba deh. Post-credit scene-nya akan very very nice. Banyak kejutan di film ini makanya kita rahasiain banget.

Di tengah gempuran superhero Hollywood, apa tanggapan Bang Joko kalau Gundala dibanding-bandingkan dengan film Marvel dan DC?

Alhamdulillah kalau dibandingin sama Marvel atau DC. Kalau dibandingin sama Nollywood-nya Nigeria ya... enggak sama yang jelek maksudnya.

Lalu apa ada rencana Gundala jalan-jalan ke luar negeri seperti Pengabdi Setan?

Pengabdi Setan dulu setelah tayang, beritanya banyak, masuk festival. Kita juga berharap gitu pada Gundala. Karena nanti kalau temen-temen tonton kita beda sama Marvel, DC.

Kalau mau bersaing secara visual effect enggak mungkin ya, mustahil dan sia-sia. Karena bujet mereka itu sampai Rp1,3 triliun. Enggak apple to apple.

Kita sangat-sangat jauh dari itu, jadi kita mengedepankan karakter dan cerita. Dan memang kita bikin penonton ada yang tertawa, ada yang nangis, takut karena ada elemen horor juga. Eh, aku salah ngomong ya. Supaya kedengeran keren, salah ya haha.

Kita sudah bikin beberapa kali test screening dan orang-orang yang ikut, tapi Alhamdulillah semua yang keluar dari screening Gundala senang dan semoga temen-temen nanti yang melihat film ini juga akan merasakan yang sama. (art)