Soal Kampanye Negatif, Polisi Bisa Proses Hukum

Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A

VIVA – Polemik penggunaan metode kampanye negatif sempat mencuat. Hal ini dikatakan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman yang mengakui turut menggunakan metode kampanye positif dan negatif untuk pemenangan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto mengatakan, kampanye negatif merupakan kampanye yang berisi kelemahan seseorang. Hal ini bisa saja dilakukan apabila seseorang tersebut merasa tidak masalah jika menjadi objek kampanye negatif.

"Kalau negatif campaign kan kelemahan-kelemahan seseorang kemudian di ekspose. Kalau yang bersangkutan merasa nyaman tidak apa," kata Setyo di kawasan Jakarta Pusat, Rabu 17 Oktober 2018.

Namun, kata Setyo, jika seseorang tersebut merasa tak nyaman lantaran aib dan kejelekannya di-ekspose maka hal tersebut tak boleh dilakukan. Bahkan, jika seseorang tersebut menjadi korban kampanye negatif dan melaporkan ke polisi maka penegakan hukum harus dilakukan.

"Kalau yang bersangkutan tidak nyaman dan merupakan katakan aib orang yang di-eskpose tidak boleh. Kalau ada komplen harus ditegakan hukumnya," ucapnya.

Berbeda dengan kampanye negatif, Setyo menegaskan, pihaknya akan melarang black campaign atau kampanye hitam. Sebab kampanye hitam merupakan kampanye yang bersifat kebohongan.

"Kalau black campaign pasti tidak boleh 0 persen," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sohibul Iman, mengakui pihaknya menggunakan kampanye positif dan negatif untuk pemenangan Pileg dan Pilpres 2019. Hal itu diungkapkannya usai menghadiri konsolidasi akbar tingkat nasional di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat pada Minggu 14 Oktober 2018

"Kampanye itu ada tiga jenis, yang pertama adalah kampanye positif, ini harus harus dominan 80 persen. Karena dengan itu kita punya kelebihan dibanding calon lain," katanya.

Namun juga, kata Sohibul, dibutuhkan kampanye negatif, yang porsinya sekitar 20 persen. Kampanye negatif, tegas Sohibul, berbeda dengan black campaign atau yang disebut kampanye hitam berisi fitnah.

"Kampanye negatif kita butuh, itu porsinya 20 persen. Kampanye negatif, kita mengungkapkan kelemahan yang dimiliki lawan, tapi berdasarkan fakta. Misalnya lawan kita pernah korupsi, kita ungkap dengan data dan fakta. Itu yang disebut kampanye negatif," ujarnya.

"Tapi kita zero toleran dengan fitnah atau menjelekkan lawan, yang tidak ada data faktanya," katanya menambahkan. (ren)