Tujuh Lembaga Survei Tantang ‘Duel’ Data Quick Count Jokowi vs Prabowo

Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) menyusun kotak suara yang berisi surat suara hasil Pemilu Serentak 2019 sebelum dilakukan rekapitulasi surat suara di GOR Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA – Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengklarifikasi tudingan sebagian kalangan yang menyebut metode hitung cepat atau quick count pemilu 2019 penuh kobohongan.

Mereka menggelar forum bertajuk “Ekspos Data Hasil Quick Count” di kawasan Jakarta, Sabtu, 20 April 2019. Di antaranya yang hadir ialah Charta Politika, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator, Cyrus Network, Indo Barometer, Konsepindo, Populi Center, dan Poltracking.

Direktur Charta Politika, Yunarto, misalnya, mengatakan bahwa isu penggiringan opini KPU pada akhirnya akan menyamakan hasil hitungnya dengan quick count adalah tidak bisa dipertanggungjawabkan dan jauh dari keilmiahan.

Yunarto mengingatkan, jika semua lembaga survei menerapkan metodologi riset yang benar, tentu hasil survei mereka dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula sejumlah lembaga survei yang mengunggulkan persentase suara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Pihak yang sudah berani menyebutkan angka ke publik, kami juga mengimbau keterbukaan informasi, sehingga publik tidak dibingungkan oleh klaim. Ini transparansi agar publik bisa melihat apakah kami sudah menjalankan sesuai prosedur. Semoga kita bisa mendapatkan hal yang lebih terang di sini," ujar Yunarto.

Menurut Direktur Eksekutif SMRC Jayadi Hanan, quick count merupakan bentuk partisipasi masyarakat demi pemilu yang berjalan demokratis. Tentunya quick count menjadi alat referensi menilai hasil resmi Komisi Pemilihan Umum.

Dia mengingatkan, quick count di Indonesia diterapkan sejak pemilu tahun 2004, termasuk tujuh kali pemilu legislatif. Metode hitung cepat itu pun dipakai sepanjang tiga kali siklus pemilihan kepala daerah. Artinya, quick count sudah dipakai sedikitnya 1.500 kali, dan sejauh ini tidak pernah ada masalah.
 
“Politisi pun sebenarnya sudah terbiasa dengan quick count ini. Jelas, quick count itu persoalan pengetahuan, bukan politik," kata Jayadi.

Secara historis, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi, quick count adalah kontrol kecurangan. Hasil resmi pemilu dihitung secara ketat dan berjenjang dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga pusat. Karena itulah prosesnya cukup lama. Begitu pula hasil pemilu 2019 yang dijadwalkan diumumkan pada 22 Mei.
 
“Di situlah quick count berguna, supaya ada data pembanding KPU, sehingga KPU bisa menangani adanya pencurian suara," ucapnya.

Peneliti senior Indo Barometer, Asep Saefudin, meminta masyarakat, bahkan elite politik sekalipun, untuk paham perbedaan survei, exit poll, dan quick count. Untuk survei dan exit poll biasa dilakukan sebelum perhitungan Pemilu dan bentuknya menjadi opini. 

Sementara quick count menggunakan sampel data hasil penghitungan dari TPS dan menggunakan metodologi yang sesuai. Atas tuduhan mengenai hasil quick count adalah kebohongan publik, ia mengaku sangat sedih. Sebab lembaga survei yang merancang quick count butuh waktu yang cukup lama.

"Kita siap transparan buka-bukaan data. Siap di audit. Quick count ini kegiatan yang sudah sangat panjang dipersiapkan, sudah matang berbulan-berbulan. Rasanya tidak ada harganya sama sekali, sudah susah payah, dihargai dengan [disebut] tukang bohong, hoaks. Rasanya gimana, gitu," kata Asep.

"Perlu diketahui bagaimana kita merancang quick count ini. Buat sampel saja berminggu-minggu. Di KPU saja DKPP berubah-ubah setiap waktu dan kita harus sesuaikan. Belum lagi menyiapkan instrumen, dan seterusnya. Quick count ini bukan hasil final. Hasil final itu ada di KPU," ujarnya menambahkan.